Apa yang Dilakukan Pendeta dengan Kekuasaan?

Memiliki dan Menggunakan Karunia yang Sulit

Bagaimana pendeta Anda menggunakan kekuasaan mereka? Itu benar, kekuasaan mereka. Apakah memikirkan pendeta yang memiliki kekuasaan membuat Anda merasa ngeri?

Jika ya, itu bisa dimengerti. Ketika kita berbicara tentang kekuasaan hari ini, kita melakukannya dalam iklim sosial tertentu. Bahkan orang awam, yang tidak terbiasa dengan nama asing seperti Nietzsche dan Foucault, telah menangkap kecenderungan, dan konotasi negatif dari kekuasaan. Itulah sebabnya mungkin terdengar mengejutkan di banyak telinga saat mendengar tentang kekuasaan pastoral.

pendeta dan kekuasaan

Kekuasaan, bagaimanapun, didefinisikan dengan benar, pertama-tama adalah karunia dan berkat dari Allah, bukan kejahatan yang harus dihindari. Kekuasaan, tulis Andy Crouch, adalah "kemampuan kita untuk memahami arti penting dari dunia" dalam memenuhi tugas yang Allah berikan kepada umat manusia untuk berkembang biak dan berlipat ganda dan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan memiliki kekuasaan ("Playing God: Redeeming the Gift of Power", 17). Menjadi manusia berarti memiliki kekuasaan. Dengan otak dan tangan, pikiran dan otot -- dan suara -- Allah memampukan kita untuk memenuhi panggilan-Nya, dan menambah kekuasaan kita saat kita menggunakannya secara efektif, terutama saat kita mengkonsolidasikan kekuasaan manusia kita dengan bekerja sama.

Jadi, jangan salah memahami, para gembala memiliki kekuasaan -- ada yang banyak, ada yang sedikit -- tergantung konteks khusus mereka di gereja lokal. Pertanyaannya bukan apakah mereka memiliki kekuasaan, tetapi seperti apa, berapa banyak, dan bagaimana mereka menggunakannya.

Kekuasaan Jabatan

Baik di dalam gereja maupun di luar, kita mungkin berbicara tentang dua jenis kekuasaan. Yang pertama adalah kekuasaan resmi, kekuasaan yang terikat pada jabatan.

Dalam Perjanjian Baru, jabatan rasul menggunakan kuasa Kristus sendiri, sebagai juru bicara-Nya yang resmi. Para rasul adalah satu generasi yang tak tergantikan, orang-orang yang dimuridkan oleh Kristus sendiri, ditambah Paulus, kepada siapa Kristus menampakkan diri di jalan menuju Damsyik. Dalam kata-kata dan tulisan mereka, para rasul berbicara mewakili Kristus yang bangkit. Kata-kata yang hidup dan jabatan mereka mati bersama mereka, tetapi bagi kita tulisan-tulisan mereka tetap menjadi sabda yang hidup dari Kitab Suci yang diilhami, agar gereja menerima, bersama dengan Perjanjian Lama, sebagai sabda Kristus, Kepala kita. Otoritas pertama dan terbesar dalam gereja, yang harusnya tidak tertandingi, adalah otoritas Kristus, melalui tulisan-tulisan para rasul-Nya.

Selain rasul-rasul, Kitab Suci menetapkan dua jabatan yang terus ada dalam kehidupan gereja: jabatan utama, yang disebut sebagai pendeta (atau gembala, Efesus 4:11; 1 Petrus 2:25; 5:2), penatua (Kisah 20:17; Yakobus 5:14; 1 Petrus 5:1), dan pengawas (Kisah 20:28; Filipi 1:1; 1 Timotius 3:1-2; Titus 1:7); bersama dengan jabatan pendamping, yang disebut diaken (Filipi 1:1; 1 Timotius 3:8-13). Menjadi pendeta-penatua atau diaken hari ini di gereja -- untuk memegang jabatan gereja -- berarti memiliki, dalam arti tertentu, kekuasaan sebagai perwakilan formal dari gereja lokal tertentu.

Bergantung pada kebijakan gereja, menjadi anggota berarti juga memiliki kekuasaan nyata yang tidak boleh diabaikan. Dan, apa pun kebijakan kita, kita selalu memilih dengan dasar finansial dan kemampuan kita. Namun, seperti yang kita semua pahami, para pejabat di gereja dipercayakan dengan kekuasaan tambahan, setidaknya secara formal. Sebagai para pejabat, mereka resmi.

Kekuasaan dari Pengaruh

Akan tetapi, kekuasaan di dalam gereja tidak hanya resmi memanfaatkan kekuasaan lembaga dan jabatan, tetapi juga tidak resmi atau informal -- yang bisa kita sebut pengaruh. Dan, di gereja-gereja yang sehat, pengajaran sangat berpengaruh. Pendeta adalah pengajar (Efesus 4:11), memang pemimpin di gereja adalah pengajar (Ibrani 13:7), dan mengingat esensi pengajaran dalam iman Kristen, sudah sepatutnya hal itu terjadi. Kita sedang membuat masalah jika "para pendeta" dan "pengajar" adalah dua kelompok yang berbeda, dan pada dasarnya tidak sama.

Yesus sendiri, bahkan sebelum murid-murid-Nya mengenali jabatan-Nya sebagai Mesias, menyusun pengaruh besar melalui pengajaran-Nya. Demikian pula, sepanjang sejarah gereja, mereka yang paling berpengaruh di gereja, meskipun biasanya pejabat, menjadi demikian bukan karena mereka memiliki jabatan tetapi karena mereka mendapatkan kepercayaan dan memperluas pengaruh mereka dengan membuktikan diri mereka sebagai pengajar firman Allah yang setia dan efektif.

Bagaimanapun, Injil itu sendiri adalah "kuasa Allah untuk keselamatan" (Roma 1:16, AYT), digabungkan dalam pemberitaan yang berbuah dengan kuasa Roh Kudus. Mereka yang mengkhotbahkan Injil, dan mengkhotbahkannya dengan baik, dengan pertolongan Roh, dapat memperoleh sejumlah besar "kuasa" dalam istilah Kristen. Memiliki kekuasaan itu bukanlah kejahatan. Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan pendeta dengan kekuasaan seperti itu.

Kekuasaan Tim

Namun, satu lagi dinamika yang perlu dipertimbangkan adalah penyatuan (atau konsolidasi) kekuasaan -- apa yang terjadi terutama ketika orang-orang berteman dan bekerja sama. Ini sangat relevan dengan pluralitas pendeta-penatua, yang bekerja sebagai tim di gereja lokal, yang menjadi fokus buku baru Dave Harvey, "The Plurality Principle". Harvey berulang kali kembali ke tesis utama: "Kualitas pluralitas penatua Anda menentukan kesehatan gereja Anda."

Tim pendeta-penatua yang mengetahui dan mengajarkan Kitab Suci dengan baik, dan benar-benar saling menghargai dan membuat kemajuan, tentu menjadi pusat kekuasaan yang tangguh di gereja lokal. Mereka tidak hanya memiliki jabatan, dan secara teori adalah pengajar gereja yang paling cakap, tetapi pengaruh mereka diintensifkan oleh kesatuan dan kerja keras mereka sebagai sebuah tim. Konsolidasi itu bisa menakutkan bagi mereka yang merasa lemah dan tidak aman dan mendatangkan kecurigaan terhadap motif tim.

Namun, pertanyaannya bukanlah apakah pluralitas semacam itu memiliki kekuasaan, tetapi apa yang akan mereka lakukan dengannya. Akankah mereka menggunakannya untuk melayani kebaikan seluruh gereja, atau menggunakannya untuk melayani diri mereka sendiri? Akankah mereka memberikan diri mereka untuk memperkaya jemaat, atau mengambil dengan egois untuk keuntungan pribadi mereka sendiri? Akankah mereka menjadi sebuah energi untuk kebaikan, atau memperbesar keuntungan mereka sendiri?

Memahami Kekuasaan

Pendeta yang baik, untuk alasan yang baik, tidak tertarik untuk berbicara banyak di depan umum tentang kekuasaan mereka sendiri. Namun, menghadapi dan memahami masalah ini (kekuasaan mereka sendiri) dengan baik, setidaknya secara pribadi, bisa bermanfaat bagi mereka dan juga jemaat mereka. Harvey menulis, "Pemimpin yang bijaksana memahami kekuasaannya dan memanfaatkannya dengan bijaksana" (108). Dan di sini petunjuk Perjanjian Baru tentang pluralitas pendeta -- sebuah tim yang bekerja bersama -- bersinar dengan salah satu dari banyaknya pancaran kemuliaannya. Pendeta yang bijaksana mengenali kekuatan mereka dalam konteks tim, dan saling mengingatkan tentang hal itu. "Pluralitas yang bijaksana memiliki dinamika kekuasaan sebagai kategori fungsional untuk bagaimana kepemimpinan mereka mempengaruhi gereja" (110). Di dalam tim ada lebih banyak kekuasaan (untuk digunakan demi kebaikan), dan sekaligus lebih aman bagi jemaat, karena masing-masing pendeta dimintai pertanggungjawaban oleh sesama saudara-saudara Kristen yang matang, bukan orang yang penjilat tetapi yang berperilaku secara independen di hadapan Allah.

Tidak diragukan lagi, Anda dapat menemukan beberapa penatua dan majelis yang sombong, yang dipenuhi dengan keangkuhan dan motif egois, yang sering memikirkan tentang kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki di gereja, kerajaan kecil mereka. Mereka menikmatinya, mempertahankannya, dan pada akhirnya, tidak sekuat yang mereka kira. Akan tetapi, saya menduga bahwa dalam sebagian besar gereja yang sehat dan setia, para penatua relatif rendah hati ("tidak sombong," Titus 1:7; juga 1 Timotius 3:6) dan sering tidak menyadari betapa berkuasanya mereka (sebagai pejabat, pengajar, dan rekan satu tim) dalam konteks gereja lokal tertentu itu.

Pendeta dan majelis yang rendah hati tidak sering memikirkan tentang kekuasaan mereka, tetapi kadang-kadang mereka saling jujur tentang hal itu. Dan, dari waktu ke waktu, ada baiknya seorang saudara melihat ke sekeliling lingkaran dan mengingatkan tim, "Kalian tahu, teman-teman, sebagai penatua dan pengajar gereja ini, kita mungkin memiliki lebih banyak kekuasaan dan pengaruh daripada yang biasanya kita sadari." Itu seharusnya tidak memperbesar kesombongan kita. Sebaliknya, itu harus memberi kita ketakutan yang kudus, dan menuntun kita untuk secara berkala berlutut dan meminta Allah untuk merendahkan kita, dan menjaga kita tetap rendah hati, bahwa kita mengelola kekuasaan yang kita miliki sebagai pinjaman dari-Nya untuk memuji Kristus dan melayani gereja ini, bukan meninggikan diri kita sendiri dan melayani kenyamanan dan keinginan kita sendiri.

Memanfaatkan Kekuasaan

Kepemimpinan di gereja lokal bukanlah banyaknya kemudahan, tetapi justru sebaliknya. Penatua, dari antara semua orang, harus menjadi yang paling membumi dan dewasa, dan paling bersedia untuk meninggalkan kenyamanan pribadi dan kepuasan pribadi demi kebaikan seluruh gereja. Penatua yang baik melihat kepemimpinan bukan sebagai penghargaan/kompensasi untuk kinerja masa lalu mereka, tetapi sebagai tanggung jawab, yang dipikul dengan senang hati, untuk kebaikan jemaat. Pendeta yang baik tahu bahwa Allah telah memberi mereka kekuasaan untuk melayani gereja, bukan diri sendiri. Untuk meninggikan Kristus, bukan diri sendiri.

Berkali-kali, pendeta-penatua berdiri di persimpangan ini ketika mereka menggembalakan gereja: apa yang paling mudah bagi kita versus apa yang terbaik bagi jemaat kita. Dalam menggembalakan gereja, banyak keputusan datang ke momen kunci ini untuk tim pendeta mana pun: Akankah kita menggunakan kekuasaan kita -- entah itu mengajar atau membuat keputusan -- untuk melayani kita atau gereja ini?

Pada saat seperti itu, pendeta yang baik ingat bahwa, seperti yang ditulis John Piper,

Jalan penderitaan dan pengorbanan benar-benar mengarah pada kemuliaan. . . . Ini adalah kemuliaan khusus [Kristus] -- bahwa Dia merendahkan diri dari tingginya keilahian, kekuasaan, ke rendahnya ditelanjangi, dipukuli, diejek, diludahi, penghinaan disalibkan -- bahwa Dia melakukan itu tanpa mencerca adalah kemuliaan yang tak terkatakan. ("Money, Sex, and Power", 98-99)

Pendeta seperti ini memanfaatkan kekuasaan tidak seperti dunia, tetapi seperti Kristus -- dan seperti Rasul Paulus yang berkata, "Dan aku akan dengan senang mengorbankan milikku dan diriku untuk kamu" (2 Korintus 12:15, AYT). Para pemimpin seperti itu "menyebarkan kekuasaan" (104), kata Harvey, dan "mengeluarkan kekuasaan" (111) saat mereka mengambil jalan kasih, yang seringkali merupakan jalan yang lebih sulit.

Memberi Tanpa Menyerah

Menyebarkan kekuasaan, dan mengeluarkannya, sangat berbeda dengan melepaskan kendali. Kekuasaan, seperti uang, dapat diperoleh secara sah atau tidak sah. Itu bisa diperoleh atau disita. Itu dapat diberikan atau diambil, baik secara langsung atau melalui manipulasi.

Pendeta, dan jemaat yang dewasa, mengetahui hal ini. Gereja-gereja yang sehat memberikan ruang kepada pendeta mereka untuk mengambil langkah proaktif dalam menyebarkan kekuasaan dan mengeluarkannya, daripada mengklaim itu. Pendeta yang bodoh menyetujui lobi semacam itu, dan dengan melakukan itu, mereka menetapkan contoh otoritatif dan harapan yang negatif. Mereka memberi makan binatang yang tak pernah puas. Efek dari membangun sikap/kecenderungan tersebut akan terbukti menghancurkan bagi gereja (dan bagi individu-individu itu) dalam jangka panjang.

Pendeta yang bijaksana mengendus perebutan kekuasaan, dan berhati-hati untuk tidak menyerah, tetapi mereka tidak berhenti begitu saja. Mereka melakukan lebih banyak. Mereka mengambil jalan yang lebih sulit. Mereka menganggap upaya tersebut sebagai indikator bahwa mereka memiliki pekerjaan yang harus dilakukan, jauh dari sekadar mengabaikan para aktivis yang berpengaruh. Kita memiliki pekerjaan yang harus dilakukan -- pekerjaan yang membutuhkan kekuasaan di 2 Timotius 2:24-25, AYT: "Pelayan Tuhan haruslah tidak bertengkar, tetapi ramah dengan semua orang, terampil mengajar, dan sabar, dengan lembut mengoreksi lawannya."

'Di antara kamu, seharusnya tidaklah seperti itu'

Pendeta yang setia dan sehat, dan gereja mereka, menggunakan kekuasaan dengan cara yang berbeda dari dunia.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Pendeta yang setia dan sehat, dan gereja mereka, menggunakan kekuasaan dengan cara yang berbeda dari dunia. Bukan hanya dalam cara kita mengajar di depan, tetapi dalam apa yang kita katakan melalui tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari, dan terutama dalam cara kita memimpin. Kita bertumbuh ke arah, bukan menjauh dari, Dia yang datang dengan kekuasaan tak tertandingi bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani:

"Kamu tahu bahwa mereka yang dianggap sebagai pemerintah bangsa-bangsa lain berbuat seolah-olah mereka berkuasa atasnya. Dan petinggi-petinggi itu menggunakan kekuasaannya atas mereka. Namun, di antara kamu, seharusnya tidaklah seperti itu. Sebaliknya, siapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, harus menjadi pelayanmu, dan siapa yang ingin menjadi yang pertama di antara kamu, harus menjadi pelayan dari semuanya. Sebab, bahkan Anak Manusia pun datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:42-45, AYT)

Kita menunjukkan kepada masyarakat kita bahwa, meskipun Nietzsche dan Foucault mungkin benar tentang aspek kemanusiaan yang bejat, gereja kita dipimpin dan diisi dengan orang-orang baru, dengan hati baru, yang mengelola kekuasaan dengan anugerah dan kerendahan hati tanpa pamrih. Gereja, dengan demikian, adalah suatu komunitas perjanjian di mana kekuasaan, baik dalam jabatan maupun pengaruh, dapat diterima sebagai karunia apa adanya, dan dimanfaatkan untuk sukacita gereja, bagi kemuliaan Kristus. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
Alamat situs : https://www.desiringgod.org/articles/what-do-pastors-do-with-power
Judul asli artikel : What Do Pastors Do with Power? Owning and Using the Uncomfortable Gift
Penulis artikel : David Mathis
Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar