Warga Negara Surga
Anda mungkin pernah mendengar bahwa ada sebuah kutukan kuno dari Tiongkok: "Semoga Anda hidup di masa-masa yang menarik." Entah benar atau salah, "kutukan" ini mengatakan sesuatu tentang sifat dan keinginan manusia. Hal-hal yang menjadi berita utama, hal-hal yang "menarik", sering kali tidak menyenangkan atau benar-benar mengerikan. Peperangan itu "menarik." Bencana alam itu "menarik." Wabah ebola itu "menarik." ISIS itu "menarik." Mengingat sifat dari sesuatu yang menarik, saya pikir aman untuk mengatakan bahwa sebagian besar dari kita lebih suka hidup pada masa-masa yang membosankan.
Musim pemilihan presiden AS tahun 2016 tentu saja "menarik" juga. Kemarahan banyak warga Amerika telah mendorong para kandidat nontradisional ke garis depan dalam perdebatan dan diskusi di kedua partai besar. Semua ini memaksa orang-orang Kristen di Amerika, sekali lagi, untuk memikirkan beberapa pertanyaan penting. Dan, pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya relevan bagi umat Kristen di Amerika, tetapi juga bagi umat Kristen di setiap negara. Bagaimana kita sebagai pengikut Sang Raja di atas segala raja berhubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia ini? Bagaimana kita merespons jika negara tempat kita tinggal adalah atau menjadi tirani dan menindas orang-orang Kristen?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, salah satu hal pertama yang harus kita lakukan adalah memiliki pemahaman yang realistis tentang situasi kita saat ini. Kita harus memahami, misalnya, bahwa orang Kristen di tahun 2016 bukanlah orang pertama yang hidup pada "masa-masa yang menarik". Penyerangan Roma oleh orang-orang barbar memang menarik. Wabah Hitam juga menarik. Perang Dunia I dan Perang Dunia II juga menarik. Setiap generasi telah hidup di dalam "masa-masa yang menarik."
Lebih jauh lagi, umat Allah, baik sebelum maupun sesudah inkarnasi, telah berulang kali menderita di bawah pemerintahan yang tirani dan menindas. Jika kita akrab dengan Alkitab, hal ini seharusnya tidak mengejutkan. Yesus dengan jelas memberi tahu para pengikut-Nya: "Jika dunia membencimu, kamu tahu bahwa dunia telah membenci Aku sebelum membencimu. Jika kamu dari dunia, tentulah dunia akan mengasihi milik kepunyaannya. Akan tetapi, karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu untuk keluar dari dunia, karena itulah dunia membenci kamu" (Yohanes 15:18-19, AYT). Ketika umat Allah dengan setia mengikuti Dia, berjalan dalam kekudusan, musuh-musuh Allah akan membenci mereka.
Dalam Perjanjian Lama, umat Allah menderita di Mesir di bawah pemerintahan Firaun. Hal ini seharusnya tidak mengejutkan karena Allah telah mengatakan kepada Abraham bahwa inilah yang akan terjadi: "Ketahuilah dengan sungguh-sungguh bahwa keturunanmu akan menjadi pendatang di negeri yang bukan milik mereka. Di sana, mereka akan diperbudak dan ditindas selama 400 tahun" (Kej. 15:13).
Perhatikan kata "pendatang". Beberapa kali dalam Taurat, Musa memerintahkan Israel untuk memperlakukan orang asing dengan adil karena mereka juga pernah menjadi "pendatang" di tanah Mesir (Kel. 22:21; Im. 19:34; Ul. 10:19). Kata yang sama juga digunakan untuk menggambarkan Israel di negerinya sendiri (Im. 25:23; 1 Taw. 29:10-15). Bahkan bagi Israel, sebidang tanah di tepi timur Laut Tengah tidak pernah menjadi rumah utamanya. Umat beriman selalu mencari negeri yang lebih baik, sebuah negeri surgawi (bdk. Ibr. 11:13-16).
Orang Israel yang setia juga menderita dalam pembuangan di Babel. Sebagai akibat dari kemurtadan dan penyembahan berhala yang parah, kutukan perjanjian yang paling berat menimpa Israel (bdk. Im. 26:33; Ul. 28:64). Kita dapat belajar banyak dari orang Israel yang setia seperti Daniel, yang hidup di bawah pemerintahan Babel. Ia dan orang-orang Yahudi yang takut akan Allah lainnya tunduk kepada para penguasa dengan penuh hormat, dan menaati mereka selama perintah yang diberikan kepada mereka tidak mengharuskan mereka untuk berbuat dosa (Dan. 3; 6).
Ketika kita beralih ke Perjanjian Baru, kita melihat prinsip-prinsip dasar yang sama diterapkan pada situasi orang Kristen. Yesus dan orang-orang Kristen abad pertama hidup di bawah pemerintahan Romawi yang menyembah berhala dan menindas. Hukum-hukumnya tidak sepenuhnya sesuai dengan hukum-hukum Allah. Penyembahan kepada kaisar sangat diharuskan. Orang-orang yang korup dan jahat ditemukan di setiap tingkat kepemimpinan. Karena itu, banyak orang Yahudi pada saat itu menyerukan pemberontakan bersenjata melawan Roma, tetapi setiap upaya pemberontakan berujung pada penindasan dan pembantaian yang brutal.
Bagaimana dengan Yesus? Bagaimana Dia memerintahkan para pengikut-Nya terkait dengan hubungan mereka dengan para hakim sipil Romawi? Apakah Ia menyerukan pemberontakan? Untuk pemberontakan pajak? Tidak, ketika orang-orang Farisi dan Herodian berusaha menjebak-Nya, dengan bertanya, "Apakah dibenarkan untuk membayar pajak kepada kaisar atau tidak?" Ia membingungkan mereka dengan mengatakan, "Bayarlah kepada kaisar hal-hal milik kaisar, dan kepada Allah hal-hal yang adalah milik Allah" (Matius 22:15-23, AYT). Paulus menginstruksikan orang-orang percaya dengan cara yang sama, dengan mengatakan, "Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar; pajak kepada yang berhak menerima pajak, cukai kepada yang berhak menerima cukai, rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut, dan hormat kepada yang berhak menerima hormat" (Rm. 13:7, AYT).
Paulus dan para penulis Perjanjian Baru lainnya memberi kita beberapa prinsip dasar yang membantu kita menjawab pertanyaan tersebut dan membantu kita memahami hubungan kita sebagai orang percaya dengan para penguasa sipil di dunia. Pertama, kita diberitahu dengan jelas tentang diri kita. Sebagai orang yang percaya kepada Kristus, kita adalah warga negara surga. Seperti yang dikatakan Paulus: "Kewarganegaraan kita adalah di surga, dimana kita dengan penuh semangat menanti-nantikan Juru Selamat, yaitu Tuhan Yesus Kristus" (Filipi 3:20, AYT). Petrus menggunakan bahasa yang kita temui dalam Perjanjian Lama dan menyebut kita sebagai "pendatang dan orang buangan" (1 Petrus 2:13). Yesus Kristus adalah Raja kita. Kita, pertama dan terutama, adalah warga negara kerajaan-Nya. Maka, hubungan kita dengan tanah tempat kita dilahirkan dapat disamakan dengan hubungan seorang duta besar yang tinggal di negeri asing. Kita mungkin memiliki kecintaan pada tanah tempat kita tinggal sementara, tetapi selalu ada rasa rindu. Kita merindukan untuk bertemu dengan Raja kita yang sejati.
Kedua, Alkitab dengan jelas memberitahukan kepada kita mengenai hakim-hakim sipil duniawi itu. Menurut Paulus, mereka adalah hamba-hamba Allah (Rm. 13:4). Mereka adalah "pelayan-pelayan Allah" (ay. 6). Otoritas mereka telah diberikan oleh Allah kita yang berdaulat sehingga kita harus memahami bahwa mereka telah "ditetapkan oleh Allah" (ay. 1). Dari raja yang paling baik hati hingga kaisar yang paling jahat, dari senator yang paling bijaksana hingga presiden yang paling bodoh, semuanya telah ditempatkan pada posisi otoritas mereka oleh Allah kita yang berdaulat.
Ini berarti, ketiga, sebagai orang Kristen kita harus tunduk kepada otoritas duniawi. Paulus menulis, "Hendaklah setiap orang tunduk kepada pemerintah yang berkuasa" (Rm. 13:1, bdk. ay. 5). Kita harus "tunduk kepada setiap lembaga pemerintahan yang ditetapkan oleh manusia" (1 Petrus 2:13). Lebih jauh lagi, karena kita tahu bahwa Allah telah menempatkan kita di bawah otoritas-otoritas ini, kita harus tunduk kepada mereka. Bukan dengan cara yang tidak sopan, melainkan dengan cara yang menunjukkan rasa hormat (Rm. 13:7; 1 Ptr. 2:18). Petrus mengatakan kepada orang-orang Kristen yang ia tulis, misalnya, untuk "menghormati raja" (1 Petrus 2:17).
Keempat, orang Kristen berulang kali diperintahkan untuk melakukan segala sesuatu yang baik (Roma 13:3; 1 Petrus 2:15; 3:8-17). Petrus menulis, "Jagalah tingkah lakumu yang baik di antara orang-orang yang belum percaya" (1 Petrus 2:12, AYT). Tentu saja, berbuat baik berarti bahwa jika hakim sipil memerintahkan kita untuk berbuat dosa, kita harus taat kepada Allah dan bukan kepada manusia (Kisah Para Rasul 5:27-32).
Apa arti semua ini bagi orang Kristen saat ini? Mengenali diri kita dan di letak kewarganegaraan kita yang sejati seharusnya menolong kita untuk melihat berbagai bangsa di mana kita hidup sekarang ini dari sudut pandang yang sungguh-sungguh alkitabiah. Bersandar pada kedaulatan Allah berarti kita tidak membiarkan diri kita diombang-ambingkan oleh politik yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan. Kita tidak menyerah pada histeria karena kita tahu bahwa Tuhan kita memerintah bahkan ketika bangsa-bangsa mengamuk (Mzm. 2). Karena kewarganegaraan kita ada di surga, harapan kita tidak bergantung pada hasil pemilu duniawi. Kita tidak berharap pada para kandidat yang memiliki "kompleksitas Mesias". Kita sudah memiliki Mesias. Kita bekerja untuk kebenaran, dan kita memilih kandidat yang kita percaya akan berusaha untuk mendukung kebenaran. Akan tetapi, dunia kita tidak akan berakhir jika kandidat yang kita pilih tidak menang. Bapa kita di surga berdaulat, bijaksana, dan memegang kendali. Pengharapan utama kita bukanlah pada pemilihan umum. Pengharapan kita ada di dalam Bapa kita di surga.
Lebih jauh lagi, memahami ajaran Alkitab berarti bahwa kita tidak membiarkan kecintaan yang tepat terhadap tanah air (patriotisme) berubah menjadi penyembahan berhala. Kita tidak berkata, "Negara saya benar atau salah," karena dosa tetaplah dosa, siapa pun yang melakukannya. Namun, kita juga tidak membiarkan kekecewaan terhadap kesalahan dan kebodohan bangsa kita membuat kita putus asa atau sinis. Kita tidak putus asa dan berhenti menyuarakan kebenaran ketika keputusan Mahkamah Agung tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita juga tidak menyebut yang jahat sebagai baik atau yang baik sebagai jahat untuk mendapatkan cinta dunia. Tujuan kita bukanlah untuk membuat dunia mengasihi kita, melainkan untuk memberitakan Injil agar Allah dapat memanggil lebih banyak lagi musuh-musuh-Nya keluar dari kegelapan dunia (Roma 5:8-10).
Mengetahui bahwa para penguasa duniawi adalah hamba-hamba Allah juga berarti bahwa orang Kristen tidak boleh menghina dan merendahkan mereka yang telah Allah tempatkan dalam posisi otoritas. Allah kita yang berdaulat menempatkan George W. Bush sebagai presiden Amerika Serikat selama delapan tahun, dan baru-baru ini Ia menempatkan Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat. Dalam kedua kasus tersebut, Ia melakukannya demi kebaikan dan alasan yang bijaksana.
Pada akhirnya, jika kita memahami ajaran Alkitab tentang hal-hal ini, kita tahu bahwa Allah kita berdaulat dan kita percaya sepenuhnya kepada-Nya. Oleh karena itu, kita harus hidup dengan pengharapan yang bersandar pada Raja Yesus yang berdaulat. Bagi Dialah segala kemuliaan dan hormat.
(t/Jing-jing)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Ligonier |
Alamat situs | : | https://www.ligonier.org/learn/articles/citizens-heaven |
Judul asli artikel | : | Citizens of Heaven |
Penulis artikel | : | Keith Mathison |
Tanggal akses | : | 10 Juni 2024 |