Sikap Praktis Pemimpin Kristen (I)

Salah satu kalimat yang menarik perhatian saya tentang kepemimpinan ialah bahwa "setiap pemimpin akan menghadapi banyak kesulitan". Pernyataan ini memancing bermacam-macam reaksi untuk menentukan sikap dalam mengelola satu pekerjaan. Kesulitan selalu menyajikan alternatif baru bagi tiap pemimpin, yakni "maju" atau "mundur". Maju tidaknya seorang pemimpin, tergantung bagaimana ia memandang situasi itu, agar dari kesulitan yang datang menghasilkan perkara-perkara yang baru.

A. Memandang Positif Kesulitan yang Ada.

Bagi seseorang yang berpandangan luas, tidak terlalu sulit untuk menganalisis suatu perkara dengan positif. Umumnya, kesulitan yang timbul itu memungkinkan seseorang pemimpin mulai membuat sejarah baru dalam kepemimpinannya. Sisi lain dari setiap kesulitan ialah bahwa kesulitan dapat membawa kita kepada ketidakmampuan, yang akhirnya frustasi. Tetapi, pemimpin yang sesungguhnya ialah yang senantiasa melihat kesulitan, sebagai kesempatan untuk menemukan perkara yang baru dalam membuat satu sejarah. Sedang pemimpin yang melihat kesulitan sebagai "satu kesulitan" ialah pemimpin yang pesimis.

Alkitab memberikan banyak janji indah yang sangat tepat untuk tiap pemimpin, antara lain dalam 2 Korintus 4:7-13, "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu. Namun karena kami memiliki roh iman yang sama, seperti ada tertulis: 'Aku percaya, sebab itu aku berkata-kata', maka kami juga percaya dan sebab itu kami juga berkata-kata."

Seorang pendeta yang dipakai Tuhan dalam kebangunan rohani di Inggris, telah mengalami suatu kemenangan besar, melalui ayat di atas. Inilah firman Tuhan, yang membuat dia bergairah selama melayani Tuhan untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Itulah John Wesley; "Aku percaya sebab itu aku berkata-kata". Bagian wahyu Allah yang dikutip dari ayat di atas, mengemukakan satu kesaksian menarik yang sangat diperlukan seorang pemimpin yakni, "Bahwa beriman kepada Yesus Kristus merupakan kekuatan yang luar biasa untuk mengatasi setiap kesulitan dan menghadapi setiap masalah". Mau tidak mau, setiap pemimpin harus masuk dalam dilema ini. Oleh sebab itu, pandangan positif sangat menolong untuk menembus rahasia-rahasia yang terdapat di dalam kesulitan yang ada.

B. Menghindari Ketegangan.

Di dalam kepemimpinan -- yang besar maupun kecil, hal-hal yang sering menganggu kelancaran kerja ialah "ketegangan" dalam berpikir. Banyak pemimpin menempuh cara yang salah untuk menghindari penyakit ini, dengan alasan "mengendurkan saraf". Cara yang tepat untuk menghindari ketegangan ialah "humor". Kedengarannya istilah ini terlalu sepele, tapi jangan keliru. Humor merupakan pemberian Tuhan. Humor yang dimaksudkan di sini ialah humor yang dapat dikendalikan, sebab humor yang tidak dapat dikendalikan akan merusak nilai kepemimpinan.

Dalam membaca karangan-karangan Spurgeon yang terkenal dari Gereja Baptis Inggris itu, saya menemukan bahwa di dalam khotbah-khotbahnya, ia juga menyelipkan humor yang dapat menggairahkan para pendengarnya. Ia berusaha menempatkan paling sedikit satu humor dalam khotbahnya. Ia memang dikritik oleh sebagian pendengar, tetapi ia menjawab: "Masih lebih baik humor, supaya orang terus tersenyum dan tertawa sementara waktu, daripada tidur pulas selama setengah jam". Jadi, humor dibutuhkan dalam kehidupan seorang pemimpin untuk mengubah suasana. Pemimpin harus dapat menguasai suasana. Pada saat suasana tegang, betapa indahnya kalau pemimpin itu dapat mengubah suasana menjadi rileks.

Pengalaman saya dalam menghadapi ketegangan, sering sekali menemui kesulitan untuk mendapatkan jalan keluar. Pada saat demikian, saya berdoa supaya Tuhan memberi cara untuk mengubah situasi yang tegang itu menjadi satu suasana yang rileks, wajar, dan menyegarkan kembali. Perubahan suasana hanya mungkin kalau pada saat itu, pemimpin dapat mengemukakan sesuatu yang membuat orang senyum atau tertawa, sehingga melupakan ketegangan itu untuk sementara. Bayangkan kalau seorang pemimpin dari pagi sampai malam terus tegang seperti seorang yang lari kencang 100 meter. Apa yang terjadi? Orang-orang sekitarnya pun akan ketularan tegang. Sebaliknya, seorang pemimpin yang humoris bukan pelari 100 meter, melainkan pelari maraton. Pelari maraton harus dapat mengatur, supaya di antara jarak itu, ada waktu untuk dia mengambil napas dan waktu untuk mengatur kecepatan. Oleh karena itu, setiap pemimpin adalah seumpama pelari maraton.

Di dalam garis kepemimpinan humor itu diperlukan, tetapi tidak berarti setiap kali memimpin harus keluar humor. Pemimpin yang terlalu banyak humor, juga salah. Dia seumpama orang yang memakan kuah, yang hanya banyak airnya, tetapi tidak ada isinya. Karena itu, humor hanya perlu untuk membuat isi yang terlalu padat itu, dapat dicerna dengan baik.

C. Mengontrol Amarah.

Membaca kata "marah" mungkin Saudara terus merasa bahwa itu sesuatu dosa. Tetapi seorang pemimpin perlu juga marah. Dalam Alkitab terdapat dua macam kemarahan -- kemarahan yang adalah dosa dan kemarahan yang suci. Dosa marah yang dimaksud adalah kemarahan yang hanya berpusat pada diri sendiri, nafsu, daging -- semuanya berpusat pada kepentingan diri sendiri. Kebanyakan para pemimpin gagal dalam dosa marah. Marah karena perasaan, karena pendapat, dan hal lain yang berhubungan dengan gengsi. Ada juga marah karena kedudukan, penghargaan, dan kecongkakan. Dalam setiap bentuk dan sifat marah inilah, perlu pengontrolan yang waspada.

Kemarahan yang suci ialah kemarahan yang berpusat kepada kemuliaan Allah. Alkitab berbicara tentang Tuhan Yesus marah dua kali. Tapi dua-duanya memunyai nilai untuk kemuliaan Bapa. Pertama kali Tuhan Yesus marah karena melihat orang-orang degil (Yohanes 2:15-17 -- Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: "Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan." Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: "Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku."). Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti perkara yang diperbuat oleh Tuhan Yesus. Ia marah karena murid-murid tidak mengerti terhadap perkara-perkara Allah.

Inilah pertama kali Tuhan Yesus marah. Ketika Ia mengunjungi Bait Allah, sebab orang-orang degil itu menyalahgunakan Bait Allah menjadi pasar. Jadi, marah yang berpusat pada diri sendiri, marah yang berpusat pada keakuan adalah dosa. Sebaliknya marah yang kita baca di dalam Yohanes 2:13-24 dan Matius 21:12-17 berakhir untuk kemuliaan Tuhan.

Tuhan Yesus juga marah karena murid-murid-Nya tidak beriman. Baik dalam Matius 8:23-27, Markus 4:35-41, Lukas 8:22-25. Ketika mereka berlayar bersama-sama dan angin ribut datang, mereka takut, iman mereka pupus untuk menghadapi angin ribut dan topan itu. Oleh sebab itu, Ia bangun dan memarahi mereka. Ia berkata "mengapa kamu begitu takut, mengapa tidak percaya?" Murid-murid ada bersama Tuhan Yesus, mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang diperbuat oleh Tuhan Yesus sebelumnya, tetapi ternyata mereka belum memunyai iman yang berpusat pada kuasa Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus marah kepada mereka karena mereka tidak mengambil langkah iman, yang berpusat pada kemuliaan Allah.

Dapatkah amarah itu dibenarkan?

Kalau saya menuliskan ini, saya bukan menganjurkan agar Anda sebagai pemimpin senang marah-marah; sedikit salah, Anda marah. Tidak. Pemimpin yang senang marah tidak berwibawa. Pemimpin yang hidup dengan marah-marah, membuat bulu roma orang lain tetap bergidik. Mereka tidak dapat bekerja dengan tenang. Tetapi marah yang positif, pada waktu yang tepat, dengan situasi yang tepat, pada orang yang tepat, dan berpusat pada kemuliaan Allah, itulah marah yang berwibawa. Kalau ada yang dimarahi karena pada garis kemuliaan Tuhan, marah itu dapat menjadi alat dalam tangan Tuhan, untuk membawa dia kembali kepada Tuhan dan kehendak Tuhan. Contoh: Ketika Tuhan Yesus marah dan membalikkan bangku-bangku di Bait Allah, Ia marah keras karena orang banyak melanggar dan mempermainkan kesucian Tuhan.

Tentang marah yang benar ini, Rasul Paulus memberikan nasihat (Efesus 4:26) yakni: Marah yang tidak boleh dibawa sampai kepada matahari terbenam, atau marah yang harus dapat dikendalikan, dan harus diselesaikan secepatnya. Dengan kata lain "marah tanpa dendam". Marah yang berpusat pada kemuliaan Tuhan bertujuan untuk kemuliaan Tuhan, dan dasar kesucian Tuhan harus juga secepatnya diselesaikan. Sebab marah yang dibawa masuk ke tempat tidur artinya tidak diselesaikan, mengakibatkan penderitaan dan dosa, terutama untuk suami istri, dan orang yang mudah menaruh dendam.

Firman Tuhan berkata: Kalau Tuhan Yesus datang kembali, dua orang di tempat tidur, satu diambil dan satu ditinggalkan, dua orang sedang menuai di ladang satu diambil, satu ditinggalkan". Ini adalah satu lukisan yang menggambarkan tentang dua orang yang bersama-sama dalam satu tempat, tapi yang satu dimuliakan sedang yang satu ditinggalkan. Itulah sebabnya perlu waspada kalau sedang marah. Janganlah membawa marah sampai ke tempat tidur. Lekaslah mengambil inisiatif untuk menyelesaikan marah itu secepatnya dengan bawahan yang Anda pimpin, ataupun dengan orang yang sedang Anda marahi, jangan tunggu sampai hari esok.

Nah! Kita sudah melihat Tuhan Yesus marah, tapi berpusat pada kemuliaan dan kesucian Tuhan. Saran saya supaya setiap pemimpin yang mau marah, hanya boleh marah karena berpusat kepada kemuliaan Tuhan. Kalau sulit, silakan berdoa, "Tuhan, ambillah dari saya sifat marah yang berpusat kepada keakuan, gengsi, dan penghargaan diri". Saya percaya bahwa Anda pun dapat sampai kepada pengalaman ini. Janganlah mempertahankan sifat yang salah dengan berkata: "Memang demikianlah sifat!" Memang saya adalah orang yang dilahirkan dari kelompok atau kaum yang memiliki karakter dan kepribadian yang keras. Oleh karena itu, jelas sifat marah yang berpusat pada diri sendiri adalah dosa. Karena itu seorang pemimpin yang ingin berkembang, sebaiknya jangan memelihara sifat marah berdasarkan suku, bangsa, tabiat, atau pendirian. Kiranya Roh Kudus menolong Anda dalam mengatasi sifat marah itu.

*) Artikel ini masih akan dilanjutkan dalam edisi e-Leadership 105.

Diambil dari:

Judul buku: Manajemen dan Kepemimpinan menurut Wahyu Allah
Judul bab : Beberapa Sikap Praktis yang Perlu
Penulis: DR. P. Octavianus
Penerbit: Gandum Mas, Malang 1986
Halaman: 211 -- 219
Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar