Kepemimpinan Biblika (II)
Secara tradisional, Ezra dipandang sebagai pencetus Yudaisme. Dengan memberi penekanan pada peranan penting Taurat dalam hidup masyarakat, Ezra telah memberi fondasi yang solid dan kukuh terhadap Yudaisme. Inilah salah satu alasan mengapa bangsa Israel dapat bertahan di kemudian hari, ketika menghadapi pengaruh Helenisasi (pengaruh kebudayaan Yunani termasuk dalam tata cara hidup sangat dominan pada zaman itu, Red.) dan pengaruh budaya dan agama penguasa asing. Saat sejarah bangsa Israel yang kritis, Ezra tampil ke panggung sejarah dengan mendorong umat kembali kepada kitab suci. Gerakan reformasi yang dicetuskan Ezra berkaitan erat dengan munculnya rumah-rumah ibadat (sinagoge) di luar dan di dalam Palestina, yang berperan penting dalam reformasi tersebut. Peranan sinagoge sebagai pusat pendidikan Taurat berlangsung hingga masa pelayanan Yesus. Dalam Injil cukup sering Yesus diberitakan berada di sinagoge mengajar orang banyak. Bahkan sinagoge kemudian hari berfungsi sebagai tempat penyebaran Injil. Paulus selalu memulai pemberitaan Injil di tiap kota dengan mengunjungi sinagoge. Ibadah di sinagoge tidak hanya dihadiri warga Yahudi, melainkan juga warga bukan Yahudi. Berbagai etnis bukan Yahudi yang datang ke sinagoge terbagi dalam dua kelompok yakni proselit (Pengikut agama Yahudi baru, Red.) dan phobos tou Theou (orang yang takut akan Tuhan, Red).
Reformasi berhasil menempatkan hukum Taurat sebagai pusat kehidupan bangsa Israel. Hukum Taurat ditafsirkan secara akurat untuk diterapkan secara ketat. Usaha demikian menyebabkan bangsa terbagi menjadi beberapa golongan. Reformasi yang dibawa Ezra, meski satu tujuan, melahirkan beberapa gerakan yang bersifat keagamaan seperti Farisi [Penganut aliran agama Yahudi zaman dahulu, yang terkenal sangat fanatik pada ajaran agama dan tradisi mereka, Red.], Saduki [Suatu golongan pemimpin agama Yahudi, yang sebagian besar terdiri dari imam-imam. Mereka mendasarkan pengajarannya pada kelima kitab Musa dan menolak segala adat istiadat yang ditambahkan kemudian. Mereka tidak percaya kepada kebangkitan dan adanya malaikat. Terhadap kebudayaan Yunani golongan ini sangat terbuka, Red.], Eseni [Sebuah mazhab Yahudi dengan kecenderungan melakukan askese secara keras, Red], dan Zelot [Golongan orang-orang Yahudi yang mati-matian menentang kuasa penjajah Romawi, sering berupa gerakan di bawah tanah. Nama itu berarti: orang yang giat berjuang untuk kebebasan politik, Red.] [1]. Pada masa pelayanan Yesus, keberadaan berbagai aliran Yudaisme sebagai hasil perbedaan tafsiran tidak dipersoalkan Yesus. Meski Yesus menerima keberadaan mereka, namun Ia tidak mengidentifikasi diri-Nya ke dalam salah satu golongan atau aliran Yudaisme. Yesus juga tidak berusaha menggantikan aliran-aliran yang ada. Keragaman aliran dalam Yudaisme tidak dapat dipandang sebagai efek negatif reformasi yang dibawa Ezra. Jika dalam Injil Yesus sering diberitakan berhadapan secara kritis dengan aliran-aliran Yudaisme, khususnya golongan Farisi, maka yang mendapat kecaman adalah sikap orang Farisi yang tidak menjalankan secara konsisten apa yang mereka yakini benar. Dengan perkataan lain, bukan alirannya yang dikecam Yesus, melainkan kemunafikan hidup orang Farisi.
Di atas telah diuraikan karakteristik pemimpin dalam Perjanjian Lama. Bagaimana dengan Perjanjian Baru? Keterbatasan tempat tidak memungkinkan untuk menguraikannya. Secara umum dapat terlihat kesentralan firman Allah dalam kehidupan Yesus. Injil Matius, sebagai contoh, merekam hampir verbatim lima khotbah Yesus. Analisis kepemimpinan Musa dan Ezra telah membawa kita kepada satu pemahaman mendasar bahwa pada hakikatnya, Musa dan Ezra adalah pelayan firman Allah.
Pelayan Firman Allah
Jika kita dapat mengatakan bahwa Musa dan Ezra adalah pelayan Firman Allah, maka kita telah melihat unsur kontinuitas kepemimpinan Kristen yakni Firman Allah. Sebenarnya, keberhasilan dan kegagalan seorang pemimpin diukur dari kesetiaannya terhadap firman Allah. Seorang pemimpin adalah pelayan firman Allah. Sebagai pelayan firman Allah, pemimpin menghidupkan firman Allah melalui dan di dalam hidupnya. Kepemimpinannya bertahan bukan karena pedang kekuasaan tetapi firman Allah. Firman Allah datang ke dalam hidup komunitas umat Allah melalui khotbah. Sebelum firman Allah dihidupkan dalam kehidupan masyarakat terlebih dahulu, firman Allah harus dihidupkan melalui khotbah di jemaat [2]. Tugas menghidupkan firman Allah melalui khotbah adalah tugas pemimpin. Melalui khotbah yang hidup, seorang pemimpin umat Allah mampu mentransformasikan masyarakat. Hanya dengan firman Allah, umat Allah dapat memiliki dampak transformasi abadi terhadap masyarakat. Dengan demikian, pembangunan jemaat melalui khotbah menjadi kunci utama terjadinya transformasi masyarakat, dan pembangunan jemaat hanya terjadi melalui firman Allah yang dihidupkan oleh pelayan firman Allah.
Masyarakat Indonesia saat ini berada dalam suatu situasi krisis yang sering diringkas ke dalam satu kata yakni "reformasi". Artinya masyarakat Indonesia membutuhkan suatu perubahan radikal dalam segala bidang kehidupannya. Bangsa Indonesia sedang mencari bentuk masyarakat dan moralitas yang sesuai dengan bentuk sosial tersebut. Apakah reformasi demikian sedang atau akan terjadi dapat diperdebatkan? Namun yang jelas, jika perubahan drastis terjadi, maka masyarakat akan terus menerus menghadapi berbagai bentuk kejutan sosial dan budaya. Unsur diskontinuitas terlalu dominan, mengakibatkan banyak masyarakat tidak siap menghadapi perubahan sosial dan budaya tersebut, karena sirnanya bentuk masyarakat dan moralitas lama. Masyarakat menjadi bingung dan hidup tanpa arah. Terhadap masyarakat tanpa gembala tersebut, umat Allah harus bangkit memimpin dengan menunjukkan belas kasihan (compassion). Artinya? Umat Allah secara komunal menghidupkan firman Allah, sehingga masyarakat dapat hidup sebagai masyarakat. Tanpa umat Allah hidup sebagai umat Allah, maka masyarakat tidak memiliki arah untuk hidup sebagai masyarakat. Umat Allah yang hidup sebagai umat Allah adalah pelayan firman Allah. Agar umat Allah dapat hidup sebagai umat Allah, perlu terlebih dahulu pemimpin menghidupkan firman Allah.
Jika penyentralan firman Allah terlihat jelas dalam kehidupan bergereja masa kini, maka sebenarnya perhatian terhadap bidang-bidang lain tidak perlu terlalu berlebihan. Kelihatannya banyak pemimpin kehilangan kesentralan firman Allah dalam kehidupan bergereja, sehingga tidak heran jika sentral "keahlian" (baca konseling, manajemen, dsb.) menggantikan pusat firman Allah. Bila keahlian sudah menjadi sentral, tidak heran bila fokus pelayanan tidak lagi pada manusia. Kita tidak menolak berbagai keahlian yang juga adalah berkat Tuhan bagi gereja. Tetapi kedudukannya tidak berada di pusat kehidupan bergereja. Hanya pemimpin yang meletakkan firman Allah dalam pusat pelayanannya, dapat melihat manusia sebagai fokus pelayanannya.
Jadi, khotbah sebagai upaya menghidupkan firman Allah, bukan suatu pilihan atau alternatif dalam pembangunan jemaat. Khotbah adalah "sine qua non" (unsur utama/syarat utama, Red.) pembangunan jemaat. Khotbah yang menghidupkan firman Allah tidak hanya membangun jemaat, tetapi juga memiliki dampak kekal kepada masyarakat. Dengan demikian, kepemimpinan pelayan Firman Allah tidak terbatas di ruang gereja, tetapi keluar meluap secara berlimpah ke dalam masyarakat. Kepemimpinan demikian bertahan kukuh dalam arus perubahan zaman. Sebagai ilustrasi dapat ditunjuk kepemimpinan Martin Luther (1483-1546).
Memusatkan khotbah sebagai upaya untuk menghidupkan firman Allah, terlihat jelas dalam kepemimpinan Martin Luther sang reformator [3]. Ketika umat Allah berada dalam situasi krisis, Martin Luther membawa kembali firman Allah ke tengah kehidupan umat. Martin Luther tidak hanya seorang teolog, tetapi seorang pengkhotbah. Luther dalam Large Catechism 1530 menulis, "Saya seorang doktor dan juga pengkhotbah". Diperkirakan jumlah khotbah Luther mencapai 2000 buah. Bagi Luther, khotbah mendapat tempat terpenting dalam liturgi Protestan. Luther menyadari bahwa beribadah berarti mendengar khotbah. Khotbah, bagi Luther, bukan hanya sekadar perkataan manusia karena khotbah adalah perkataan Tuhan. Roh Kudus juga berperan aktif dalam khotbah. Tentang peran Roh Kudus dalam khotbah, Luther menulis "Tidak ada satu pun yang dapat mengerti Allah atau firman-Nya, kecuali dia sudah menerima pengertian langsung dari Roh Kudus". Bagi Luther, firman Allah dan Roh Kudus tidak terpisahkan seperti suara dan napas yang muncul saat berbicara. Intinya khotbah adalah Allah berbicara kepada manusia dengan bahasa manusia.
Kesimpulan
Kepemimpinan biblika adalah bentuk kepemimpinan yang berjalan dalam tradisi biblika. Frasa "tradisi biblika" menunjuk pada pusat firman Allah dalam kepemimpinan seseorang. Firman Allah menjadi sumber otoritas, dasar, dan tujuan kepemimpinan. Kepemimpinan biblika berdampak kekal dalam pembangunan jemaat. Sebagai pelayan firman Allah, seorang pemimpin membangun jemaat Kristus untuk berdiri kukuh dalam bangunan firman Allah. Jemaat yang telah dibangun oleh dan dalam firman Allah, pada gilirannya akan memimpin masyarakat untuk hidup sebagai masyarakat. Tanpa kepemimpinan gereja, maka masyarakat tidak punya arah dan tujuan untuk hidup sebagai masyarakat. Masyarakat melihat jemaat yang dihidupkan oleh firman Allah supaya masyarakat dapat hidup sebagai masyarakat. Jelaslah, kepemimpinan biblika memiliki dimensi personal dan komunal yang dijalin kuat oleh firman Allah. Seorang pemimpin memimpin jemaat dengan menghidupkan firman Allah melalui dan di dalam hidupnya, kemudian jemaat melanjutkan kepemimpinan kepada masyarakat. Kedua bentuk pengaruh personal dan komunal terkait secara kausalitas. Jadi, yang dibutuhkan gereja sepanjang masa adalah orang Kristen yang menghidupkan firman Allah di dalam dan melalui hidupnya. Inilah awal kepemimpinan biblika.
Daftar Pustaka:
________. 1997. Yesus dan Kepemimpinan. Halaman 81-99 dalam Berteologi Dalam Anugerah. Eds. Indriani Bone, Paul Hidayat, Anwar Tjen. Cipanas: STT Cipanas.
Barus, Armand. 2002. Kepemimpinan Yohanes Pembaptis. Veritas 3/1: 73-81.
Barth, Karl. 1991. Göttingen Dogmatics: Instruction in the Christian Religions I. Grand Rapids: Eerdmans.
Ferguson, Everett. 2003. Backgrounds of Early Christianity. 3rd edn. Grand Rapids: Eerdmans.
Myers, Jacob M. 1974. I and II Esdras: Introduction, Translation and Commentary. Anchor Bible. Garden City: Doubleday.
Ngien, Dennis. 2003. Theology of Preaching in Martin Luther. Themelios 28/2: 28-48.
Stott, John R.W. 1985. What Makes Leadership Christian. Christianity Today August 9: 24-27.
Tidball, Derek. 1986. Skilfull Shepherds: An Introduction to Pastoral Theology. Leicester: IVP.
Von Rad, Gerhard. 1962. Old Testament Theology I. London: Oliver & Boyd.
Catatan Kaki:
- [1] Tentang aliran-aliran dalam Yudaisme lihat Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity. 3rd edn. (Grand Rapids: Eerdmans, 2003).
- [2] Tentang supremasi khotbah di gereja lihat Karl Barth, Göttingen Dogmatics: Instruction in the Christian Religions I (Grand Rapids: Eerdmans, 1991).
- [3] Diskusi lengkap lihat Dennis Ngien, "Theology of Preaching in Martin Luther", Themelios 28/2 (2003): 28-48.
Diambil dan disunting dari:
Nama Situs | : | Seminari Alkitab Asia Tenggara |
Alamat URL | : | http://www.seabs.ac.id |
Judul asli artikel | : | Kepemimpinan Biblika |
Penulis | : | Armand Barus |
Halaman | : | 4 -- 7 |