Pemimpin Kristen: Berdasar Kinerja atau Berdasar Karunia
Kesan orang banyak di kalangan Kristen adalah, bila pemimpin hidup berdasarkan karunia sering berarti ia tidak perlu bekerja keras, membuat strategic planning atau mengukur keberhasilannya. Di pihak lain, bila seseorang hidup berdasar karunia berarti ia harus mengabaikan kenyataan bahwa ia hidup di dalam kinerja. Benarkah dikotomi serupa itu?
Dalam kenyataan, bila seorang pemimpin hidup tanpa kerja keras dan tanggung jawab dalam meneliti kemajuannya, ia akan berhenti menjadi pemimpin yang membawa orang kepada visi, perubahan dan pergerakan. Ia hanya menjadi pengelola. Sebaliknya, tanpa kesadaran bahwa ia hidup di dalam karunia (baca: Yancey), maka ia cenderung hanya hidup dan memimpin demi dirinya sendiri. Ia akan mudah terjebak mengejar image yang baik. Ia menggunakan topeng demi memenuhi tuntutan orang yang dipimpinnya. Ia juga akan mudah menjelek-jelekan pemimpin lain, apa lagi yang lebih baik daripada dirinya. Contoh dalam Matius 6 mengenai orang Parisi mencerminkan bagaimana seorang pemimpin jatuh terbelenggu oleh hidup berdasarkan kinerja saja. Terhadap hal itu Kristus justru mengajarkan prinsip untuk menyembunyikan kinerja yang baik.
Apa arti hidup dalam karunia? Pertanyaan ini seakan merupakan suatu pertanyaan yang paling mendasar-hal yang semestinya diajukan kepada orang Kristen yang masih baru. Hidup di dalam karunia berarti adanya kepastian dan keamanan (security) bahwa apapun hasil pekerjaannya, Tuhan akan memahami dan menerima hasil kerja seorang pemimpin selama keintiman hubungan kasih di antara mereka terjaga dengan baik. Bagi Tuhan, sang pemimpin itu memiliki cacad dan kelemahan, namun justru Ia semakin menyayanginya karena lepas dari kelemahannya, orang itu justru bersedia menyambut panggilanNya dan terus belajar dariNya. Inilah misteri kebesaran kasih Tuhan. Ia memang mencintai anak-anakNya tanpa alasan lain kecuali bahwa, Ia memang mencintai mereka.
Karena karunia ini menjadi nafas hidup atau kesadaran setiap detik, maka aplikasinya tidak berarti bahwa sang pemimpin harus menjadi orang yang hidup santai, atau sekedar mengambang. Justru sebaliknya. Ia pantas mewujudkan kesadaran tadi dalam bentuk syukur yang mendalam atas kebaikan Tuhan bahkan dalam perilaku yang menyenangkanNya.
Karena komitmennya mewujudkan perilaku tadi, maka ia melayani Tuhan sesuai dengan cara Tuhan bekerja, yaitu ada keteraturan, ada penilaian, dan ada visi yang Tuhan berikan serta ia kejar. Dengan kata lain, sambil mengingat karunia Tuhan sebagai dasar keberadaannya dan motivasi pelayanannya, maka ia melayani dan bersedia mengejar kinerja yang terbaik agar visi dan misi persekutuannya dapat tercapai. Ia hidup bagaikan seorang pendaki gunung yang harus menjaga nafasnya, langkahnya, persiapan bekalnya, dan sebagainya sambil mengiringi Kristus (Kristus dan murid-murid naik gunung).
Jadi, apakah seorang pemimpin harus dinilai dalam prestasinya? Tentu saja. Apakah gerejanya atau komunitasnya dinilai? Tentu? Artinya semua yang Tuhan berikan, baik itu waktu, uang, tenaga dan metode harus dinilai secara berkala terhadap visi dan misi yang akan dicapai. Setiap upaya menilai tadi bukan diarahkan untuk mencari jalan mendiskreditkan, namun justru untuk memperlihatkan arah pembelajaran yang harus ditempuh.
Attachment | Size |
---|---|
kinerja.htm | 3 KB |
kinerja.doc | 23 KB |