Mendapatkan Tinjauan Ke Masa Depan

Tinjauan ke masa depan melibatkan sikap hati dan kebebasan pikiran. Hal ini berkaitan dengan kesediaan menjalankan tujuan jangka panjang dan kemampuan memahami implikasi jangka panjang; dedikasi dan intuisi. Hal ini membutuhkan komitmen untuk melakukan sesuatu dan ketajaman untuk mengetahui, yang pada akhirnya membuat Anda menjadi lebih berani dan bijaksana.

Meninjau masa depan berarti memahami implikasi masa depan dari tindakan masa kini. Hal ini menyiratkan bahwa bagaimana Anda menjalani hidup Anda sekarang adalah sesuatu yang penting karena hal itu dapat memiliki implikasi yang sifatnya multigenerasi. Karena itu, meninjau masa depan harus dimulai dengan sebuah komitmen untuk menjalani masa kini demi masa depan. Sikap melayani yang meninjau ke depan akan memampukan pemimpin yang berani untuk mulai memiliki penglihatan mengenai kemungkinan-kemungkinan masa depan. Tinjauan ke masa depan lahir dari komitmen untuk melayani generasi-generasi selanjutnya. Pemimpin yang berani tidak hanya hidup untuk generasinya sendiri, namun melaksanakan visi yang Tuhan taruh dalam terang kekekalan.

Allah memiliki komitmen yang sifatnya multigenerasi. Saat Ia menemui Musa melalui semak yang terbakar, Ia menyatakan Diri-Nya sebagai "Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub" (Kel 3:6), sebutan ilahi yang disebutkan berulang kali dalam Alkitab. Komitmen-Nya yang bersifat multigenerasi kepada Abraham dan keturunannya berujung pada proyek yang paling mengubah dunia sepanjang sejarah.

Allah memerintahkan umat-Nya untuk memahami perspektif multigenerasi. Berkali-kali, Ia mengingatkan umat-Nya bahwa tindakan mereka -- baik atau buruk -- memiliki konsekuensi tidak hanya terhadap generasi ketiga dan keempat (Kel. 20:5; 34:7; Bil. 14:18; Ul. 5:9), namun lebih dari itu. Apa yang kita pikirkan dan lakukan sekarang benar-benar memengaruhi masa depan (Ef. 5:15-17).

Apa yang terjadi jika kita gagal untuk hidup dan berpikir secara multigenerasi? Hizkia, salah satu pemimpin besar Israel, adalah contoh yang tepat. Dalam banyak hal, ia adalah sosok pemimpin yang berani (2 Raj. 18:5-7). Namun, Hizkia memiliki cacat yang serius: ia tidak memerhatikan masa depan. Meski ia melayani Allah dengan setia dan sepenuh hati (2 Raj. 20:3), komitmennya bersifat jangka pendek. Ia hidup hanya untuk generasinya. Menjelang akhir pemerintahannya, ia bertindak ceroboh dan dengan bangga memamerkan segala kekayaannya kepada para perwakilan Babilon, yang pada saat itu masih merupakan bangsa kecil namun sedang bertumbuh. Berkali-kali, ia tidak memerhatikan tanda-tanda yang muncul dan melakukan kesalahan dalam menilai. Alkibatnya, Yesaya menghampirinya dan meramalkan kebangkitan Babilon dan kehancuran Yudea -- sebuah ramalan kematian dan kehancuran yang luar biasa. Namun, respons Hizkia adalah kemasabodohan yang tidak disertai dengan pemikiran ke depan. Kurangnya perhatian Hizkia kepada generasi mendatang adalah salah satu kisah paling menyedihkan dalam Alkitab. "Sungguh baik firman TUHAN yang engkau ucapkan itu!" Tetapi pikirnya: 'Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku!'" (2 Raj. 20:19). Ia tidak peduli dengan masa depan selama keberadaannya aman. Tragedi terjadi, karena pemimpin yang baik menuju kepada kehancuran saat ia gagal hidup untuk masa depan. Pemimpin yang baik menyambut kehancuran saat ia gagal meninjau masa depan.

Bagaimana akhirnya? Anak Hizkia, Manasye menjadi raja terburuk pada sepanjang sejarah Yudea. Ia sengaja mengadakan kembali hal-hal buruk yang dulu dimusnahkan ayahnya. Ia bahkan mengorbankan anaknya, cucu Hizkia, dalam sebuah persembahan kepada berhala Molokh (2 Raj. 21:2- 6). Keadaan memburuk, dan dalam waktu 80 tahun sejak ramalan Yesaya, semua kehancuran yang diramalkan menjadi kenyataan.

Bagaimana kita menghindari kesalahan yang Hizkia lakukan? Membuat komitmen kepada generasi selanjutnya (Maz. 48:13; 71:18; 78:4, 6) dan berusaha mengembangkan keterampilan berpikir yang bersifat implikasi. Kita dapat mengembangkan cara berpikir seperti itu dengan memahami bagaimana Allah memerintah keturunan Abraham.

Esensi wahyu Allah pada orang Yahudi adalah Sepuluh Perintah Allah (Kel. 20:1-17; Ul. 5:6-21). Saat kita melihat Sepuluh Perintah Allah, kita cenderung menganggapnya hanya sebagai hukum moral dan dekrit judisial. Namun, bagi orang Yahudi, hukum itu adalah fondasi dasar Taurat, yang berarti bahwa meski hukum-hukum itu memiliki implikasi legal, tujuan utama hukum-hukum itu bersifat memerintah. Sepuluh Perintah Allah didesain untuk mendisiplinkan bangsa demi masa depan. Hukum-hukum itu bukan hanya sekumpulan aturan baik yang diberikan begitu saja, namun merupakan sebuah instruksi dalam prinsip-prinsip pemikiran yang bersifat implikasi sehingga orang-orang Yahudi menjadi "umat yang bijaksana dan berakal budi" (Ul. 4:6). Hukum itu adalah hukum yang harus direnungkan dengan saksama, bukannya diterima begitu saja secara pasif dan tidak direnungkan.

Melalui Sepuluh Perintah Allah, Allah sang Guru Besar melatih umatnya bagaimana berpikir, menuntun mereka dari praktik kepada ajaran, dari konkret menjadi abstrak. Sepuluh Perintah Allah disusun untuk menuntun kita melalui sebuah proses pemikiran, menekan kita untuk mengikuti latihan pikiran melalui konklusi dan aplikasinya yang pokok. Untuk melatih diri berpikir implikatif, seseorang harus belajar untuk terampil bertanya mengapa. Mari kita bahas enam hukum terakhir -- hukum-hukum yang berkaitan dengan relasi horisontal kita dengan sesama -- untuk menggambarkan poin ini.

Perintah yang kelima memerintahkan kita untuk menghormati ayah dan ibu kita. Mengapa? Karena melalui merekalah kita hidup, dan hidup harus dihargai. Untuk itu, mereka harus dihormati.

Perintah keenam memerintahkan kita untuk tidak membunuh. Mengapa? Sekali lagi, jika hidup itu berharga, mengambil hidup seseorang berarti menghancurkan sesuatu yang sangat berharga. Jika Anda mengasihi sesama, Anda tidak mungkin merampas kehidupannya.

Perintah ketujuh secara logika sama. Perintah ini memerintah kita untuk tidak berzinah. Mengapa? Pada titik ini, Anda harus berpikir agak keras. Jika mengambil hidup orang lain itu salah, maka mengambil apa yang berharga di hidup orang lain, yang berkaitan erat dengan kehidupan orang lain -- pasangannya -- adalah hal yang salah.

Hukum yang kedelapan menekan kita setahap lebih jauh. Hukum ini mengajar kita untuk kita tidak mencuri. Mengapa tidak boleh? Barang bukan makhluk hidup? Bagaimana hukum ini mengikuti implikasi dari hukum-hukum sebelumnya? Barang mewakili hidup. Misalnya, pikirkan apa yang dibutuhkan untuk membeli sebuah televisi. Seseorang harus membayar sejumlah uang. Uang itu mewakili (tegantung pendapatan seseeorang) mungkin 2 minggu atau 4 bulan kehidupan yang seseorang habiskan untuk mencari uang yang cukup untuk membeli televisi. Pencuri yang mencuri televisi berarti mencuri bagian hidup korbannya -- berminggu-minggu dan berbulan-bulan kerja. Secara tingkatan memang berbeda dengan hukum-hukum yang sebelumnya, namun secara esensi sama. Jika kehidupan tidak boleh dibunuh, maka logikanya tidak satu pun bagian dari kehidupan yang boleh dihancurkan melalui pencurian. Jika apa yang paling berharga bagi seseorang tidak boleh dihancurkan melalui perzinahan, maka logikanya seg ala sesuatu yang berharga dalam kehidupan seseorang juga tidak boleh dihancurkan melalui pencurian.

Hukum kesembilan bahkan membawa kita lebih jauh lagi, mendorong implikasi-implikasi dari apa yang udah dipelajari dalam dunia objek konkret menuju dunia dengan konsep yang abstrak. Hukum ini mengatakan, "Jangan bersaksi dusta." Mengapa hal ini salah? Saat seseorang berbohong tentang orang lain, reputasi orang lain tersebut dicuri, dicemarkan, atau bahkan dihancurkan. "Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas" (Amsal 22:1). Jika pencurian terhadap barang itu tidak benar, maka pencurian nama baik melalui kata-kata dusta dan tidak jujur juga demikian -- tidak benar. Proses berpikir secara implikasi telah membawa kita kepada tingkat pemahaman yang baru. Hal ini akan membentuk bagaimana kita memimpin hidup kita.

Sekarang, meski hukum-hukum yang telah tersebut di atas hampir dapat ditemukan dalam undang-undang di semua negara, hukum yang selanjutnya, sekaligus yang terakhir, tidak ditemukan dalam sistem perundangan negara mana pun. Hukum ini adalah proses puncaknya, pemahaman puncak dari pemikiran yang implikatif. Hukum ini berbunyi, "Jangan mengingini milik orang lain." Mengapa? Karena sikap spiritual internal ini adalah benih yang yang menghasilkan buah fisik eksternal -- berdusta, mencuri, berzinah, dan membunuh. "Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat" (Matius 15:19). Wahyu puncak dari Sepuluh Perintah Allah adalah bahwa jika Anda benar-benar menghargai hidup, Anda tidak seharusnya mengingini milik orang lain, karena jika Anda melakukannya, Anda akan berjalan menuju kepada kehancuran.

Pemahaman implikatif seperti ini adalah dasar dari pikiran aplikasional. Karena berpikir implikatif, maka Yesus dapat mengajar seperti yang Ia lakukan di atas bukit. Yesus mengajarkan benih-benih kebenaran implikatif yang telah ditanam sebelumnya. Yesus melatih murid-murid-Nya untuk berpikir implikatif (Matius 5:21-43). Yesus mengambil benih-benih kebenaran Perjanjian Lama, menyimpulkannya, dan menerapkannya dalam cara yang benar-benar baru dan mengubahkan.

Pemikiran yang gigih, jelas, dan implikatif yang dibangun di atas kebenaran Allah adalah dasar untuk meninjau masa depan. Para pemimpin yang berani, berusaha untuk mengolah kemampuan ini setiap hari. Mereka berdoa seperti doa Musa. "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana" (Maz. 90:2), karena tinjauan ke masa depan adalah buah dari hati yang terlatih dalam disiplin hikmat Allah. Karena itu, "Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian" (Amsal 23:23). Lihat juga Amsal 4:5-7; 16:16; 9:10. Sekali lagi kita diingatkan bahwa kepemimpinan yang bijaksana dan berani dimulai dari relasi yang benar dengan Allah.

Meninjau masa depan menghasilkan hikmat, mempertimbangkan tindakan dan motif, menelusurinya sampai implikasi terakhirnya. Memahami bahwa "apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya" (Galatia 6:7). Memahami implikasi pilihan hari ini terhadap kenyataan pada masa depan membantu kita membuat pilihan yang bijaksana. Tinjauan ke masa depan seperti ini adalah inti dari banyak pernyataan alkitabiah, seperti yang terlihat pada kata-kata terakhir Musa (lihat Ulangan 30:15-20).

Berulang kali firman Tuhan membantu kita mendapatkan tinjauan ke masa depan dengan mempertentangkan yang benar dan yang salah. Contoh seperti itu banyak terdapat di Amsal. Itulah mengapa salah satu pemimpin besar yang berani, Billy Graham, mendisiplinkan dirinya untuk membaca satu pasal Amsal setiap hari dalam hidupnya sejak ia muda. Jika kita tidak melatih diri untuk meninjau masa depan, seperti yang ditemukan dalam Amsal, dengan mudah seseorang dapat salah menilai dan salah menanggapi sebuah situasi. Mazmur 73 misalnya. Sang penulis mengatakan bahwa ia mengeluh melihat kesuksesan dan kekayaan seseorang yang jahat "sampai ia masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka" (Maz. 73:17). Persekutuan yang segar dengan Tuhan memberinya pandangan baru akan masa depan yang memampukannya menjalani hidupnya lebih bijaksana pada masa kini.

Ayat tersebut menggambarkan kebenaran penting. Meski tinjauan ke masa depan dibangun atas pemikiran implikatif dan pertimbangan akan konsekuensi masa depan dari tindakan masa kini, proses pemikiran manusia saja tidak cukup untuk melakukannya. Bahkan jika Anda melatih diri Anda untuk berpikir implikatif, Anda akan menemui diri Anda berada dalam situasi yang tidak dapat Anda perkirakan (Yesaya 47:11), karena masa depan mengandung banyak variabel yang tidak diketahui. Di sinilah terletak masalah yang kekal. "Sesungguhnya, ia tak mengetahui apa yang akan terjadi, karena siapakah yang akan mengatakan kepadanya bagaimana itu akan terjadi?" (Pengkhotbah 8:7). Melihat bola kristal tidak akan membantu. Melihat bintang dan membaca horoskop tidak akan membantu. Tidak ada guru yang dapat membantu. Kita perlu mendengar dari Allah yang hidup. Ia adalah satu-satunya yang dapat "memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksan a" (Yesaya 46:10).

Sekali lagi, realita ini membimbing pemimpin yang berani untuk secara sengaja mencari Tuhan. Ketergantungan kepada-Nya adalah kunci mendapatkan tinjauan ke masa depan. Adalah perlu untuk secara benar menafsirkan tanda-tanda zaman. Tanpa hikmat-Nya, semua data dan informasi yang kita miliki hanya akan membuat kita bingung. Apakah Anda tidak yakin akan masa depan? Berserulah kepada Tuhan (Yesaya 30:19,21).

Doa adalah kunci meninjau masa depan. Banyak orang kagum akan tinjauan masa depan Yesus yang luar biasa dalam pemilihan dua belas rasul. Bagaimana ia dapat melihat jiwa kepemimpinan yang berani dalam diri para nelayan yang kasar dan tidak berpendidikan itu? Bagaimana ia tahu seorang pemungut cukai yang licik bisa menjadi pengubah dunia? Kuncinya adalah Ia tidak membuat keputusan sendiri. Meskipun Ia adalah anak Allah, setiap keputusan diambil melalui konsultasi yang intim dengan Bapa-Nya. Kita tahu bahwa "pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam- malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul" (Lukas 6:12-13). Bahkan, dalam kesempatan lain, Ia berkata kepada Bapa-Nya tentang para rasul, "Engkau telah memberikan mereka kepada- Ku" (Yohanes 17:6). Ia benar-benar sadar bahwa tinjauan ke masa depan-Nya dalam memilih kedua b elas rasul bukan berasal dari-Nya, melainkan dari Bapa-Nya. Jika bagi Yesus saja seperti itu, apalagi kita! Keintiman dengan Allah adalah sesuatu yang diperlukan agar kita dapat meninjau masa depan.

Sungguh, tinjauan ke masa depan yang paling benar terbentuk dalam hadirat Allah. Saat kita berada di hadirat-Nya, kita dapat melihat sekilas pendangan-Nya akan masa depan. Adalah saat kita datang ke hadirat-Nya, kita bisa mendapatkan pandangan kekekalan yang benar. Pada saat itulah kita memiliki cukup tinjauan ke depan untuk menjalani hidup dengan benar. Para pemimpin yang berani harus hidup dalam terang kuasa kekal-Nya. Cara hidup yang lain tidak cukup untuk menghadapi tuntutan hidup sekarang ini, karena Allah "memberikan kekekalan dalam hati mereka" (Pengkhotbah 3:11). Dan saat para pemimpin yang berani melihat kepada takhta yang kekal itu, apa yang mereka lihat? Yohanes memberitahu kita apa yang ia lihat: "Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan meme gang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: 'Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!'" (Wahyu 7:9-10)

Itulah visi pokok yang harus memotivasi dan mengendalikan setiap pemimpin yang berani. Perspektif ini memberikan tinjauan ke masa depan yang jauh terbentang untuk menjalani hidup dengan berani. Dalam terang visi pokok ini, tugas seorang pemimpin adalah menarik masa depan kepada masa kini, untuk membuat visi yang sudah terlihat menjadi realita yang dapat dilihat. Saat para pemimpin dapat dengan jelas melihat masa depan, mereka dapat menjalani hidup dalam suatu cara yang seturut dengan doa Yesus: "datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga" (Matius 6:10). (t/Dian)

Diterjemahkan dan disesuaikan dari:

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar