Kunci Kepemimpinan Samuel: Mendengarkan Suara Allah

Seluruh kisah Samuel ini dapat dirangkum menjadi satu hal: Kepemimpinan dimulai di rumah.

Kisah Samuel

Kehidupan Samuel, salah satu nabi terbesar Israel, bermula dengan kisah yang unik. Kisah ini diawali dengan seorang Yahudi biasa dan 2 orang istrinya. Salah satu istrinya, Penina, memunyai beberapa anak. Istrinya yang lain, Hana, tidak memunyai anak tapi sangat dikasihi suaminya. Karena itu, Penina pun cemburu.

Meskipun Penina melahirkan anak-anak bagi suaminya (tujuan utama atau simbol status seorang wanita dalam budaya Timur Tengah), dia jengkel karena Hana yang mandul mendapatkan "dua bagian" [lihat catatan redaksi di bawah] sajian ritual dari korban tahunan. Penina yang iri hati, terus-menerus mengejek dan menghasut Hana. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun.

Hana tidak tahan lagi; dia menangis dan tidak mau makan. Lalu Elkana, suaminya, berkata kepadanya: "Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?" (1 Samuel 1:8). Memang cukup sulit untuk menjawab pertanyaan Elkana ini. Elkana mungkin bermaksud baik, sekalipun dia mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar. Namun demikian, Hana tidak dapat dihibur lagi. "... dan dengan hati pedih ia berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedu-sedu" (1 Samuel 1:10).

Imam Eli pada mulanya salah mengerti terhadap Hana yang terus-menerus berdoa tanpa bersuara. Disangkanya, Hana sedang mabuk. Akan tetapi, setelah mengetahui permasalahannya, dia lalu memberkati Hana. Allah juga memberkatinya dan Hana pun memiliki seorang anak yang dinamainya Samuel. Hana menepati nazar yang diucapkannya bahwa dia akan mempersembahkan anaknya itu untuk melayani Allah. Ketika Samuel baru berusia beberapa tahun (setelah anak itu cerai susu), Hana membawanya kembali ke rumah Allah dan meninggalkannya di sana untuk belajar kepada Imam Eli dan melayani Allah.

Belajar dari Samuel

Samuel lahir dari latar belakang yang unik ini. Saya menarik kesimpulan bahwa pemeliharaan dan karya Allah turut bekerja di balik proses pembentukan seorang pemimpin. Allah menggunakan keadaan kita termasuk hal-hal duniawi pada masa kecil kita untuk membentuk dan menguatkan kita. Kisah Hana juga menunjukkan peran iman dan doa dalam mempersiapkan seorang pemimpin, dan peran penting dari seorang ibu yang saleh. Tanpa Hana, Samuel pun tidak akan ada.

Jika kita cermati, titik awal pelayanan Samuel dimulai ketika dia masih muda "Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering." (1 Samuel 3:1). Ini merupakan tanda penolakan bangsa Israel. Namun pada suatu malam Samuel mendengar suara yang membangunkannya dari tidur: "Samuel!" Awalnya, Samuel pikir itu adalah Imam Eli yang memanggilnya, tapi Eli akhirnya mengerti (setelah Samuel dipanggil tiga kali) bahwa Tuhanlah yang memanggil Samuel. "Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: 'Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar.'" (1 Samuel 3:9) Samuel benar-benar mendengarkan, dan apa yang dia dengar adalah kutukan yang menakutkan atas keturunan Imam Eli.

Pemimpin yang Mendengar

Salah satu ciri utama dari seorang pemimpin yang baik adalah mendengarkan Allah. Jika kita hanya bergantung pada hikmat, kekuatan, wawasan, atau tindakan kita, maka kita tidak akan mampu. Kita perlu firman Tuhan. Daud, seperti yang bisa kita lihat dalam 1 Samuel, adalah seorang pemimpin yang saleh, yang dengan gigih mencari dan menerima nasihat Allah untuk mengambil keputusan penting dan terkadang hidupnya bergantung pada apa yang didengarnya dari Allah.

Hal ini mungkin kedengarannya mudah. Namun jika ini benar-benar mudah, mengapa kita mengabaikannya? Sesungguhnya kita sudah mendapat pewahyuan dari Tuhan yang ditulis dalam bahasa kita, ditulis oleh orang-orang yang digerakkan oleh Roh Kudus, dan celakalah kita jika kita tidak mendengarkan firman Tuhan, baik di rumah, di gereja, maupun di tempat kerja kita. Seberapa sering kita berkata, "Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu mendengar"?

Pemimpin yang Menegur

Kita juga bisa belajar dari Samuel bahwa seorang pemimpin yang saleh tidak takut mengatakan apa yang dia dengar. Keesokan harinya, Eli bertanya kepada Samuel apa yang dikatakan Allah. Samuel, tentu saja tahu Eli tidak akan suka mendengarkan kebenaran yang telah diterimanya. Tapi Eli berpesan kepadanya, "Janganlah kausembunyikan kepadaku. Kiranya beginilah Allah menghukum engkau, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika engkau menyembunyikan sepatah katapun kepadaku dari apa yang disampaikan-Nya kepadamu itu." (1 Samuel 3:17)

Samuel muda mengulang kembali firman Allah bagi Eli, dan dengan kejadian itu ia pun memulai kariernya sebagai nabi yang menegur melalui nubuatan. Selanjutnya, dia harus menghadapi bangsa Israel yang bersikukuh meminta seorang raja duniawi: "Pada waktu itu kamu akan berteriak karena rajamu yang kamu pilih itu, tetapi TUHAN tidak akan menjawab kamu pada waktu itu" (1 Samuel 8:18). Dia juga akan menghadapi Raja Saul yang memberontak yang melanggar perintah yang sudah jelas dari Allah: "Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu, ... Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu.... TUHAN telah mengoyakkan dari padamu jabatan raja atas Israel pada hari ini dan telah memberikannya kepada orang lain yang lebih baik dari padamu." (1 Samuel 13:13-14; 15:28). Seni konfrontasi dengan mahir harus dikuasai oleh setiap pemimpin.

Keluarga sang Pemimpin

Walaupun dalam menghadapi seseorang tentu saja membutuhkan kewaspadaan -- mengingat bahwa pemimpin yang pemberang adalah suatu kecelaan (Titus 1:7) -- ada kalanya menolak melawan dosa itu pun suatu dosa. Eli bersalah atas pelanggaran ini, dan sedihnya, bahkan Samuel pun juga tidak sepenuhnya bebas dari kesalahan ini. Standar Rasul Paulus dalam kepemimpinan menyatakan bahwa anak-anak seorang pemimpin hendaknya "hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib." (Titus 1:6)

Seorang pemimpin yang memiliki anak memiliki tanggung jawab untuk menjadi ayah yang baik. Walaupun tidak ada jaminan khusus bahwa anak-anak orang-orang Kristen secara otomatis akan diselamatkan, namun kita berhak berharap bahwa seorang pemimpin yang saleh akan membesarkan anak-anaknya di dalam "ajaran dan nasihat Tuhan" (Efesus 6:4). Samuel, sayangnya, memunyai anak-anak yang "tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan." (1 Samuel 8:3) Perbuatan jahat yang merugikan ini memberi andil bagi keinginan bangsa Israel untuk memiliki seorang raja: "Sebab itu berkumpullah semua tua-tua Israel; mereka datang kepada Samuel di Rama dan berkata kepadanya: 'Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain.'" (1 Samuel 8:4-5) Hal ini tidak otomatis membenarkan para tua-tua Israel untuk menolak Allah dan memilih seorang raja.

Seluruh kisah Samuel ini dapat dirangkum menjadi satu hal: Kepemimpinan dimulai di rumah. (t/Setya)

Catatan redaksi:

"Dua bagian" di sini didasarkan atas pembacaan dalam versi bahasa Inggris. Dalam versi bahasa Indonesia (TB) tertulis "hanya satu bagian". Perbedaan ini dikarenakan kata dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan berbeda oleh Alkitab versi Inggris dan Indonesia.

Untuk catatan mengenai kata Ibrani tersebut baca NET Notes di:

==> http://alkitab.sabda.org/

Untuk Alkitab versi bahasa Indonesia yang menggunakan penerjemahan "dua bagian" di antaranya adalah versi Shellabear (1912): "Tetapi kepada Hana diberikannya bagian dua orang karena dikasihinya akan Hana tetapi telah dimandulkan Allah rahimnya."

Untuk versi-versi terjemahan Alkitab bahasa Indonesia lain, baca:

==> http://alkitab.sabda.org/

Diterjemahkan dan diringkas dari:

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar