Kejahatan yang Diterima sebagai Kebaikan dalam Kepemimpinan Kristen

Seperti yang Anda perhatikan -- seperti yang diperhatikan semua orang -- tampaknya ada sesuatu yang busuk dalam kepemimpinan Kristen Denmark.

Setiap kali Anda berpikir tidak mungkin ada pendeta gereja besar lain yang gagal, ya, ada pendeta gereja besar lain yang gagal.

Dan, itulah kisah-kisah yang menjadi berita. Akan tetapi, untuk setiap berita yang menjadi berita utama, ada lusinan yang tidak pernah diberitakan hanya karena gereja itu tidak cukup besar atau cukup menonjol untuk menjadi berita. Namun, lusinan (atau bahkan ratusan) orang menjadi hancur, dan akibatnya sering kali kehilangan iman.

Jadi, mengapa ini terjadi? Apa yang salah dengan gereja? Mengapa ini begitu meluas?

Dan, mudah untuk berperan sebagai kritikus yang mengamati dari kursi kapan pun pendeta gereja besar lain atau orang Kristen dalam kepemimpinan mengalami kegagalan dan kemudian berpikir tentang diri kita sendiri, "Yah, saya tidak akan pernah melakukan itu." Dan, mungkin itu benar.

Gambar: gambar

Akan tetapi, yang paling sulit adalah menemukan kejahatan pada saat itu.

Yang lebih sulit lagi, adalah ketika kejahatan yang menyebabkan kejatuhan sering kali berakhir dengan kebaikan.

Itulah mengapa saya menulis unggahan ini.

Dalam dunia yang berkonflik, terpecah, dan sinis, kejahatan yang membawa kebaikan adalah kualitas yang kadang-kadang dibiarkan saja oleh orang Kristen dalam diri para pemimpin. Dan, kualitas yang dibiarkan saja juga diikuti.

Dan, ketika kita menoleransi atau membiarkan saja kejahatan yang dianggap baik di gereja, kita menembak kepemimpinan Kristen di kaki, dan mungkin kadang-kadang di kepala.

Berikut adalah empat kejahatan yang terlalu sering dapat diterima atau diyakini sebagai kebaikan dalam kepemimpinan Kristen. Ada nuansa untuk masing-masing isu, itulah sebabnya lensa terbaik untuk membaca unggahan ini bukanlah dengan mulai menilai pemimpin lain, tetapi untuk melihat ke dalam diri dan bertanya-tanya apakah Anda juga bersalah atas beberapa hal di antaranya.

Saya tahu pada musim-musim yang berbeda dalam hidup saya, saya lebih dari sekadar mampu untuk melakukan semuanya itu.

1. Keyakinan Tanpa Belas Kasihan

Iman Kristen adalah hal yang tidak biasa.

Pada satu sisi, Anda memiliki keyakinan tentang siapa Yesus dan ketertarikan pada keyakinan inti yang dimiliki orang Kristen selama berabad-abad.

Pada sisi lain, kekristenan adalah sistem kepercayaan.

Saat-saat ketika Anda memiliki keyakinan terbesar, Anda memiliki kecenderungan untuk menjadi yang paling kejam -- paling meremehkan, kasar, tidak manusiawi, dan, ya, kejam.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Seperti yang ditunjukkan Tim Keller dalam seri podcast Questioning Christianity-nya yang sangat bijaksana, baik kepercayaan maupun ketidakpercayaan membutuhkan, yah, kepercayaan. Semuanya adalah sistem iman, dan tidak ada yang bisa 100% yakin tentang segala sesuatu atau tidak memerlukan iman. Allah, tampaknya, sebenarnya membutuhkan kepercayaan dari ciptaan-Nya.

Ini berlaku untuk semua kepercayaan dan sistem kepercayaan agama, termasuk ateisme dan agnostisisme. Sebab, ya, bahkan ateisme dan agnostisisme adalah sistem kepercayaan yang membutuhkan kepercayaan.

Di mana orang Kristen mulai membelok ke wilayah berbahaya, adalah ketika kita melebih-lebihkan kepercayaan kita sampai pada titik di mana itu menjadi keras, tertutup, dan kejam.

Brian Zahnd mencatat bahwa "Kepercayaan dapat menjadi inkubator untuk kekejaman. Kesempurnaan yang dirasakan dapat menyebabkan kebrutalan."

Ketika saya membaca itu, saya sangat terkejut. Tidak hanya pernyataan itu sangat menjelaskan tentang dialog saat ini di banyak agama Kristen, tetapi juga memvonis saya.

Saat-saat ketika Anda memiliki keyakinan terbesar, Anda memiliki kecenderungan untuk menjadi yang paling kejam -- paling meremehkan, kasar, tidak manusiawi, dan, ya, kejam.

Namun, justru itulah yang tampaknya dipuji oleh sebagian orang Kristen akhir-akhir ini. Semakin yakin Anda, semakin marah Anda, semakin kejam Anda, maka semakin tinggi Anda dinilai di antara orang-orang Kristen tertentu.

Ini adalah cara yang bagus untuk menarik pengikut dalam budaya yang kejam, tetapi itu tidak mencerminkan kekristenan yang autentik.

Kerusakan yang dilakukan oleh kekejaman terhadap Kekristenan pada era ini sangat mengejutkan.

Dan, kita bertanya-tanya mengapa satu generasi pergi.

2. Membakar Musuh di Tiang Pancang (Figuratif)

Ajaran Yesus tentang mengasihi musuhmu bukan hanya sebuah ajaran, itu diwujudkan dengan sempurna di kayu salib. Orang-orang yang menyalibkan Dia adalah orang-orang yang cukup Dia kasihi untuk diselamatkan melalui tindakan penyaliban.

Namun, terlepas dari tindakan kasih musuh terbesar yang bisa dibayangkan, orang-orang Kristen memiliki kesenangan dan kenikmatan selama berabad-abad tidak hanya membenci musuh mereka, tetapi juga menghancurkannya.

Saya telah mendapat banyak manfaat dari ajaran dan tulisan John Calvin sepanjang tahun dan tetap bersyukur atas banyak latar belakang Reformed saya. Namun, dia, seperti hampir semua orang pada zamannya, menghancurkan para musuh dibanding menerima mereka.

Calvin, misalnya, membakar Michael Servetus di tiang pancang. Sebesar hal itu mungkin mengejutkan orang modern, hari-hari ini orang Kristen malah membakar musuh mereka di Twitter.

Jika Anda ingin melihat bukti dari membenci musuh, lihat saja perpecahan partisan saat ini di dunia Barat di mana orang-orang di sisi berlawanan dari spektrum politik saling menjelekkan, atau saksikan debat Roe v. Wade berkecamuk, di mana masing-masing pihak menjelekkan yang lain, dan terlalu banyak orang Kristen terlibat dalam kebencian yang mengejutkan.

Jadi, apa alternatifnya?

Mungkin mulai di sini: Anda dapat membawa keyakinan Anda tanpa menghancurkan lawan Anda.

Tidak sependapat dengan orang lain tidak pernah membenarkan untuk menghancurkan orang lain.

Dorongan untuk menyakiti seseorang mungkin tidak akan pernah hilang. Saya juga masih merasakan dorongan itu. Akan tetapi, iman kita harus menghentikan kita agar jangan pernah bertindak berdasarkan hal itu.

3. Pembenaran Diri

Setelah membaca sejauh ini, tebakan saya adalah ketegangan Anda sudah menurun dan Anda merasa sedikit marah.

Tentunya, saya tidak seburuk itu, Anda mungkin berkata pada diri sendiri.

Saya mengerti. Saya juga merasakan itu. Dan, fenomena itu juga disebut pembenaran diri.

Ini mengecewakan saya untuk menyadari bahwa beberapa dekade dalam perjalanan Kristen dewasa saya, saya masih seperti orang muda yang menemui Yesus, yang ingin membenarkan dirinya sendiri.

Saya melakukan studi Alkitab setiap hari selama satu tahun tentang Amsal dengan seorang teman baru-baru ini, dan ketika kami selesai, kami saling bertanya apa kesimpulan terbesar kami.

Kesimpulan saya?

Saya masih begitu keras kepala dengan merasa benar sendiri.

Anda dapat melihatnya pada pemimpin yang menolak untuk meminta maaf atau bertobat (atau hanya membaca pernyataan yang dibuat dengan hati-hati yang mengalihkan kesalahan ke tempat lain).

Apa yang hilang dari orang yang merasa diri benar adalah kerendahan hati.

Kerendahan hati adalah strategi penginjilan yang jauh lebih efektif daripada pembenaran diri.

Pembenaran diri itu seperti kesombongan -- itu hanya terlihat baik bagi orang yang merasa benar sendiri. Semua orang jijik karenanya.

4. Hak

Di suatu tempat di sepanjang jalan, hak merayap di para pemimpin gereja.

Hak muncul pada pemimpin yang membiarkan manfaat dan keuntungan kepemimpinan mengalir kepada mereka, bukannya kepada tim atau jemaat.

Hal ini juga terlihat dalam perang budaya, di mana terlalu banyak kaum Kanan dan Kiri 'mengharapkan' negara untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Kristen, seolah-olah itu semacam kewajiban negara kepada gereja.

Anda dapat melacak hak kembali ke abad ke-4 M ketika Konstantinus menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi.

Sebelum Kristenisasi Kekaisaran Romawi, tidak terbayangkan bagi pemimpin gereja mana pun untuk mengharapkan apa pun dari negara selain penganiayaan atau marginalisasi.

Menjadi pemimpin di gereja mula-mula hampir tidak membawa hak istimewa apa pun. Sebaliknya, kepemimpinan adalah pengorbanan.

Hari ini, hak tampaknya menjadi kelemahan buruk dalam terlalu banyak kepemimpinan gereja.

Yesus tidak pernah memandang Roma sebagai solusi, begitu pula Paulus. Negara adalah rezim yang dimiliki oleh satu Kerajaan. Gereja itu milik pihak lainnya.

  • Mahkamah Agung tidak berutang apa pun pada gereja.
  • Gedung Putih tidak berutang apa pun pada gereja.
  • Budaya tidak berutang apa pun pada Kekristenan.

Dan, jemaat? Nah, budaya sehat menampilkan orang-orang yang memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan kebaikan, tetapi itu harus mengalir dua arah agar budaya menjadi sehat.

Kerendahan hati, pelayanan, dan anugerah harus menjadi ciri kepemimpinan Kristen.

Dan ya, tentu saja, Kekristenan juga berlabuh dalam kebenaran. Akan tetapi, ketika kebenaran tidak menyatu dengan anugerah, itu bukanlah kebenaran Kristen.

Ke mana kita pergi?

Jalan di depan tidaklah mudah, tidak peduli apa yang orang Kristen putuskan.

Akan tetapi, bertobat dari keyakinan tanpa belas kasihan, kebencian musuh, pembenaran diri, dan hak adalah awal yang baik. Akan mengejutkan bagi orang Kristen masa lalu untuk menyadari bahwa itu adalah karakteristik yang dibiarkan, dipuji, atau dibenarkan dalam budaya Kristen saat ini.

Menggunakan pendekatan yang lebih rendah hati, ramah, berhati hamba kepada orang-orang di luar dan di dalam tembok gereja sepenuhnya akan memajukan misi.

Itu juga jauh lebih mencerminkan Allah yang kita layani dan Allah yang diperkenalkan gereja kepada orang-orang. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Carey Nieuwhof
Alamat situs : https://careynieuwhof.com/the-evil-that-passes-for-good-in-christian-leadership
Judul asli artikel : The Evil That Passes for Good in Christian Leadership
Penulis artikel : Carey Nieuwhof
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar