Kasih Sebagai Gema Komunikasi antara Para Pemimpin dengan Pengikut Mereka

Jika ada dua tema yang dapat mewakili masyarakat yang kita kenal selama ini, kedua tema itu pastilah mengenai relasi dan kasih. Secara definisi, masyarakat dibangun atas dasar pertukaran antar individu -- pertukaran yang melebihi batasan-batasan ekspresi individualistik yang sempit. Relasi dan kasih yang terkait dalam pertukaran itu kemudian menjadi formula yang ampuh ketimbang jenis pertukaran sebelumnya.

Bertolak belakang dengan apa yang sering kali disimpulkan dalam syair-syair modern yang populer, kasih bukan sebuah penemuan modern tetapi sudah setua dunia. Di samping tema relasi dan kasih dapat ditandai dengan ciri khas penting baik dari segi alam dan masyarakat, yang dilihat dari sebuah perspektif, relasi dan kasih bisa dikatakan untuk memfasilitasi beberapa relasi (jika tidak semua relasi) dengan ukuran tertentu.

Pierre Babin mencermati bahwa "modulasi (pengaturan tinggi rendah suara ketika berbicara -red.) adalah inti dari bahasa audiovisual, sama seperti kata-kata dan urut-urutannya yang menjadi esensi dari bahasa tulis" [1]. Dengan berfokus kepada pengertian ilmiah ini, Babin menggunakan modulasi untuk menjelaskan sebuah proses yang memaksimalkan penyampaian emosi-emosi dan artinya serta gambaran-gambaran dan ide-ide membuat komunikasi menjadi berdampak. Dalam interpretasi Babin, ciri modulasi yang paling penting menggambarkan suatu nuansa. Nuansa-nuansa suatu medium -- frekuensi, intensitas, keselarasan, dan panjang -- memiliki dampak persuasid yang sama dengan pesan yang disampaikan. Modulasi dan nuansa adalah elemen pokok dalam sebuah komunikasi. Oleh karena itu, kedua hal tersebut menjadi bahan baku yang vital untuk menata resonan (suatu hubungan yang didasari oleh pengertian dan kepercayaan di antara orang-orang yang terlibat, -red.) dalam hubungan manusia. Pernyataan ini memungkinkan kita untuk menggambarkan batasan-batasan luar sebuah tesis kepemimpinan yang melayani, yang menempatkan kasih sebagai getaran yang mendefinisikan hubungan antara para pemimpin dan yang dipimpin.

Dalam arti yang luas, resonan mewakili suatu keadaan yang sesuai. Pada intinya, resonan adalah penggugah asosiasi antara dua benda/individu atau lebih dalam suatu pertukaran dinamis yang membantu perkembangan interaksi yang maksimal.

Setelah mengikuti ide bahwa konsep resonan adalah relasi ekspresif yang fundamental, akan sangat mudah (bagi kita) untuk mengenalkan konsep kasih dalam diskusi. Dengan kata lain, jika komunikasi adalah modulasi, maka kasih adalah resonannya. Sama halnya bahwa kasih adalah emosi yang ada di mana-mana dan cukup rumit, demikian juga dengan resonan.

Resonan memperlihatkan kekayaan bentuk yang beragam dan berada di mana saja, baik di mikrokosmos (ukuran kecil) maupun makrokosmos (ukuran besar). Bintang, manusia, molekul, atom, dan partikel, semuanya mampu menggemakan, menggetarkan, dan meresponi rangsangan tertentu. Namun demikian, bertolak belakang dengan tekanan yang diasumsikan terdapat di dunia alamiah, nyatanya ada harmoni atau keselarasan yang diwujudkan dalam keberadaan resonan yang ada di mana-mana dan kualitas relasinya. Seperti yang kita lihat, resonan menjadi motif dari kasih yang Ilahi. Tuhan Allah, Sang Pencipta, menempatkan sidik jari-Nya ke dalam setiap ciptaan-Nya dengan nama samaran-Nya: Kasih.

Tuhan Allah adalah pencipta komunikasi. Dia menciptakannya. Bahkan, Dia adalah komunikasi yang menjelma. Jika fungsi utama dianggap sebagai Pencipta, hal ini harus dikomunikasikan atau dihubungkan dengan umat manusia. Alkitab mengatakan bahwa Tuhan Allah menciptakan alam semesta dengan firman yang diucapkan-Nya. Delapan kali dalam pasal pertama Kitab Kejadian kita membaca: "Berfirmanlah Allah: "Jadilah..." Dan jadilah demikian. Dia bahkan memberi tahu kita bahwa perkataan-Nya lebih berkuasa, penting, dan kekal daripada kekuatan-Nya, sebab Dia tidak akan bertindak yang bertolak belakang dengan kata-kata-Nya. Hal itu menggarisbawahi kekuatan medium komunikasi dan menonjolkan kuasa dari firman yang diucapkan-Nya. Barangkali yang paling penting, Alkitab menegaskan bahwa komunikasi adalah sifat atau esensi Pribadi Allah. Konsep kepemimpinan yang melayani dalam tingkatan yang paling umum mencerminkan suatu gaya kepemimpinan yang penuh perhatian. Kasih yang terwujud dalam kerelaan untuk masuk ke dalam pengalaman kehidupan dari seorang pengikut akan tercermin dalam gaya kepemimpinan ini. Sebagian dari alasan mengapa kepemimpinan yang melayani sangat mengubahkan adalah semakin banyaknya orang-orang yang dipimpin yang dimanusiakan atau dihargai melalui perwujudan rasa empati dengan tindakan nyata.

Bertolak belakang dengan pemimpin lepas, yang berdiri di luar atau melebihi pengalaman orang-orang yang dipimpin, seorang pemimpin berhati hamba justru memasuki hubungan yang vital yang di dalamnya kasih dikomunikasikan secara alami. Terkait dengan organisasi, seseorang dapat membayangkan bahwa sebuah tempat kerja yang di dalamnya ada kasih yang berlimpah-limpah adalah tempat yang sangat nyaman untuk bekerja. Untuk menyeimbangkan kebutuhan fungsional organisasi terhadap kebutuhan emosional atau psikologis masing-masing pribadi adalah salah satu area yang di dalamnya sering terjadi konflik. Kepemimpinan yang melayani mengendalikan ketegangan dari perbandingannya dengan prinsip yang lebih tinggi atau dengan meningkatkan tingkat komitmen yang lebih dalam daripada yang sudah ada menurut model kepemimpinan transaksional yang lama. Dalam hal ini, prinsip yang lebih tinggi adalah kasih, yang menurut kita merupakan ekspresi Pribadi Allah yang paling jelas.

Banyak teolog dan filsuf yang telah mencoba untuk menjelaskan kasih Allah. Hans Kung berpendapat bahwa Allah sebagai kasih membutuhkan dunia untuk dikasihi, ditebus, dan diajak berkomunikasi. Kung berargumen bahwa ciri tetap Allah adalah bukti dari kasih Allah [2]. Di sisi lain, Karl Barth percaya bahwa Allah memunyai sudah kasih yang sempurna di dalam diri-Nya dan terpisah dari dunia [3]. Dunia tidak diperlukan oleh kasih Allah, Yang benar-benar transenden. Allah dengan bebas memilih untuk mengasihi dunia. Ketika para teolog mendebatkan masalah-masalah lain, suatu eksplorasi tentang apakah kasih merupakan kondisi yang diperlukan atau mencukupi untuk memperantarai relasi antara Allah dan manusia tidak menjadi pokok bahasan dalam perdebatan yang panjang. Entah imanen atau transenden, Allah mengasihi dunia, entah dengan semestinya atau bebas. Dia mengasihi kita sebagaimana adanya kita, atau, seperti yang dikatakan C.S Lewis: "Bukan untuk kualitas baik dan menarik yang kita pikir kita miliki, tetapi karena kita adalah sesuatu yang disebut manusia. Karena sebenarnya tidak ada lagi di dalam diri kita untuk dikasihi" [4]. Kepemimpinan yang melayani meletakkan kasih di atas emosi sebagai prinsip yang memfasilitasi komitmen yang tak terkendali terhadap orang lain.

Selain kasih-Nya kepada manusia, Allah menempatkan komunikasi di tempat tertinggi dalam hubungan atau relasi-Nya dengan manusia. Lebih daripada medium komunikasi itu sendiri, kedalaman atau luasnya komunikasi itulah yang mempererat relasi antara Allah dan manusia. Keinginan yang sama untuk berelasi inilah yang dibangun di atas kerangka kasih yang menginspirasi pemimpin berhati hamba dan mendefinisikan pertukaran antara para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin.

Komunikasi dengan Allah dilakukan "dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" (Matius 22:37). Agustinus [dari Hippo] membangun seluruh etika kasihnya di atas firman Kristus ini. Bagi Agustinus, "dinamisme kehendak adalah dinamisme kasih: pondus meum, amor meus"[5]. Injil Matius 12:34 menyatakan: "Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati." Harry J. DeWire merefleksikan bahwa "Acuan komunikasi yang dikeluarkan oleh orang-orang Kristen adalah kasih" [6]. Entah digambarkan sebagai "meluap dari hati" atau hanya sebagai "acuan", kasih adalah medium sebuah komunikasi. Dari sinilah semua hal yang fundamental bagi relasi antara Sang Pencipta dan ciptaannya mengalir. Hal yang sama dapat disebut sebagai relasi antara pemimpin berhati hamba dan orang-orang yang dipimpinnya. Kasih menjadi sebuah jalan, yang melaluinya kepemimpinan yang melayani dapat diekspresikan sebagaimana adanya dan sepenuhnya.

Kasih adalah kerangka kerja yang di dalamnya kelapangan hati dibuat semakin berkelimpahan. Standar alkitabiah bagi komunikasi menyatakan ketaatan yang terkait dengan kasih. Dengan cara yang sama, organisasi juga memiliki aturan-aturan, perintah-perintah, standar-standar pengaturan, pernyataan-pernyataan misi, dan bahkan visi-visi yang menuntut ketaatan dari para pemimpin dan yang dipimpin. Salah satu tantangan yang terus menghadang kepemimpinan yang melayani adalah keseimbangan antara ketaatan dengan kasih. Asumsi umum menyatakan bahwa kasih dan ketaatan tidak dapat bersatu. Hal ini jelas tidak seperti yang ditunjukkan dalam firman Allah. Dalam Yohanes 15:12-13 Yesus memerintahkan kita untuk "saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya."

Meskipun hubungan kasih dengan ketaatan kelihatannya bertentangan dengan benih emosi yang tak terkendali yang biasanya tertangkap dalam ilustrasi kasih yang populer, kita menemukan bahwa konsep kasih yang alkitabiah sebagai bentuk ketaatan membuat kita memiliki komunikasi yang lebih kaya, mendalam, dan berarti secara tepat sebab kasih itu menggemakan kebergantungan kita pada Allah. Satu pelajaran yang dapat kita ambil dari hal ini dan yang mungkin dapat menemukan aplikasi yang jelas dalam lingkaran kepemimpinan adalah bahwa kasih tidak boleh disalahartikan sebagai pemuasan diri.

Kasih memiliki komponen vertikal maupun horizontal. Komunikasi kita dengan Allah membawa kita lebih dekat ke dalam ikatan komunikasi -- sebuah "hubungan kasih" dengan Dia. Hubungan vertikal ini juga memberi sumbangsih terhadap hubungan komunal kita, memampukan kita untuk membagikan dan mengalami kasih dengan sesama. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama" (Matius 22:37-38), dan di antara semua manusia, "Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Matius 22:39-40). Komunikasi menjadi perluasan diri kita ke dalam hidup orang lain. Komunikasi adalah cahaya dan resonan kasih Allah. Inilah wujud nyata dari kasih Allah atau "kasih Ilahi yang bergerak". Komunikasi yang diekspresikan sebagai kepemimpinan yang melayani mengasumsikan bentuk aktif. DeWire mengaitkan komunikasi dengan komitmen: "Komunikasi adalah komitmen spiritual kita, kesaksian atas pemahaman kita terhadap kehendak Allah." Komunikasi adalah apa yang harus dilakukan oleh manusia selama berada di dunia, ini adalah usaha manusia untuk menguasai dan memengaruhi kehidupan sehari-hari" [7]. Komitmen merupakan elemen yang penting bagi kepemimpinan yang melayani. Tanpa komitmen, tidak mungkin ada kepemimpinan yang efektif. Keberhasilan mencapai sasaran akan dihalangi oleh keinginan untuk berempati pada semua individu di dalam hubungan antara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang berkomitmen pasti memberi perhatian dan kepemimpinan yang penuh perhatian adalah kepemimpinan yang berkomitmen. Ketika perhatian dan komitmen bertemu, muncullah kasih. Inilah motor yang menggerakkan kepemimpinan yang melayani, yang membuat kepemimpinan benar-benar mengalami perubahan.

Sebagai kesimpulan, kita dapat menyatakan bahwa kasih bukan hanya memungkinkan adanya komunikasi tetapi juga membuatnya berdampak. Kasih adalah pernyataan resonan yang diinginkan dalam komunikasi. Melalui kasih, Roh Kudus yang tadinya tersembunyi menjadi penggerak, menjadi pembawa pesan dalam suatu proses komunikasi. Lebih jauh lagi, bagi beberapa orang, "kasih adalah landasan praktis yang di atasnya teologi dan komunikasi saling bertemu" [8]. Singkatnya, seperti yang disimpulkan seorang novelis Romania yang terkenal [9], Marin Preda, "Jika tidak ada kasih, tak ada satu pun yang muncul." Dalil ini berakar pada dua keyakinan bahwa Allah adalah kasih dan bahwa hakikat kehidupan adalah komunikasi yang saling dimengerti. Seyogianya, kesatuan resonan mendapatkan ekspresi dalam suatu tujuan spiritual kepemimpinan yang melayani yang merupakan penyesuaian akahir seorang pemimpin yang melayani demi tujuan yang mengubahkan. Lebih dari sekadar tujuan, tujuan yang terdapat dalam kepemimpinan yang melayani melekat dengan tujuan berkelanjutan yang pada akhirnya akan membawa orang-orang agar memiliki hati hamba. Kepemimpinan yang melayani, menurut model yang dibahas di sini, adalah kepemimpinan yang memperkuat dan memperkaya hubungan antara seorang pemimpin dan orang-orang yang dipimpin. (t/Yudo)

Catatan kaki:

[1] Pierre Babin, The New Era in Religious Communication (Minneapolis, Fortress Press, 1991), 6.

[2] Stanley J. Grenz, and Olson, R. E., 20th Century Theology: God & the World in a Transitional Age (Downers Grove, IL, InterVarsity Press, 1992), 265.

[3] Grentz ad Olson, 73.

[4] C. S. Lewis, Mere Christianity (23rd ed.) (New York, Macmillan, 1977), 93.

[5] Frederick S. J. Copleston, A History of Philosophy (vol 2) (New York, Doubleday, 1962), 82.

[6] Harry A.DeWire, The Christian as Communicator (Philadelphia, The Westminster Press, 1961), 14.

[7] Harry A. DeWire, Communication as Commitment (Philadelphia, Fortress Press, 1972), 5.

[8] John Phelan, "Affinity and Conflict Between Theology and Communication," Media Development, October 1989: 20.

[9] Marin Preda, Cel mai iubit dintre paminteni (Bucuresti, Cartea Romaneasca, 1978) 3.

Diterjemahkan dari: Nama situs: Christian Leadership Alliance Alamat situs atau URL: http://www.christianleadershipalliance.org/?resonantcom Judul artikel: Love as Resonant Communication Between Leaders and Their Followers Penulis artikel: Mihai C. Bocarnea, Ph.D. Tanggal akses: 7 Mei 2012
Kategori Bahan Indo Lead: 

Komentar