Jangan Masukkan Yesus Ke Dalam Lemari
Dulu waktu masih kecil, aku paling senang saat kami sekeluarga bersama-sama membuat gua Natal dan memasang pohon Natal di ruang tamu. Rasanya dada ini meledak-ledak penuh semangat. Seneng banget! Kami biasanya membuat gua Natal kira-kira seminggu sebelum tanggal 25 Desember.
Otakku akan berputar lebih cepat saat kami memutuskan untuk membuat gua Natal. Aku akan segera membuka lemari belakang, tempat penyimpanan pernak-pernik Natal plus patung-patung pengisi gua Natal. Ada domba, gembala, orang majus, keluarga kudus, dan lain-lain. Yang paling menggemaskan adalah patung Yesus yang sedang tidur di palungan. Lucu sekali! Pipinya tembam kemerahan, dan dua kaki kecilnya terangkat, matanya berbinar-binar! Ih, kalau bayi sungguhan, pasti ia lucu dan menggemaskan!
Selain suka dengan patung-patung itu, aku juga suka dengan pernak-pernik Natal. Pernak-pernik itu bagaikan harta yang tersimpan di pojok lemari -- boneka Sinterklas dari benang wol yang jenggotnya hampir copot, lonceng Natal warna emas yang miring ke kiri dan ke kanan, dan tongkat Sinterklas warna merah-putih. Selebihnya adalah bola warna-warni: kuning, hijau, biru, merah, dan putih. Dan, yang paling menarik hatiku adalah lampu kerlap-kerlip. Di mataku yang masih bocah, lampu itu bagus sekali. Sepertinya ada daya magis yang membuatku terpaku melihat lampu itu. Lampu itu bagaikan kristal. (He he he, berlebihan ya! Padahal kalau sekarang biasa saja! Malah sudah banyak lampu yang lebih bagus lagi.)
Sebenarnya yang sibuk membuat gua Natal adalah Ayah dan Kakakku. Aku cuma jadi perusuh. Aku sibuk berlari-lari di sekitar gua yang belum jadi itu. Dan, akulah yang lebih dulu bersorak-sorai ketika gua itu sudah jadi!
Gua dan pohon Natal itu segera menyedot perhatianku. Biasanya aku akan sering-sering ke ruang tamu untuk sekadar memandangi keduanya. Pada sore hari, aku akan menghidupkan lampu kerlap-kerlip yang menghiasinya dan duduk diam-diam di kursi tamu menikmati harta karun yang sudah terpasang itu. Dadaku penuh dengan kegembiraan yang tidak terkatakan. Aku menganggap gua dan pohon Natal di rumahku yang paling bagus. Semuanya tampak alami. Guanya terbuat dari kertas semen yang diwarnai dan pohonnya dipotong dari pohon cemara di halaman depan. Aku selalu membanggakan keduanya di depan teman-temanku, karena di rumah mereka biasanya pohon Natalnya sudah terbuat dari plastik. Padahal, bau cemara asli itulah yang membuat suasana Natal menjadi berbeda.
Tetapi, harus diakui kalau aku gampang bosan. Kesenangan menikmati gua dan pohon Natal itu paling hanya berjalan seminggu. Sesudahnya biasa saja, kue-kue Natal lebih menarik perhatianku. Aku akan ke ruang tamu untuk menikmati kue kering dan permen, bukannya pohon dan gua Natal. He he he.
Biasanya kedua pajangan Natal yang monumental itu akan bertahan sampai akhir Januari. Dan, saat itu aku sudah benar-benar bosan melihatnya. Aku justru akhirnya hanya tertarik dengan tumpukan kartu Natal yang dikirimkan relasi ayahku dan beberapa temanku. Gambarnya bagus-bagus! Pada akhir Januari, aku akan segera mengemasi pernak-pernik Natal itu dan menyimpannya di lemari belakang.
Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Entah sampai berapa tahun, aku tidak ingat. Tetapi yang jelas, ketika aku sudah agak besar, keluargaku tidak lagi membuat pajangan Natal berupa gua dan pohon Natal. Ruang tamu hanya dibiarkan begitu saja seperti hari-hari biasa. Sesekali kami memasang pohon Natal, tetapi tidak selalu. Aku sendiri lebih suka membantu membuat kue kering. Dan kini, aku tidak ingat apakah patung Natal itu masih ada atau tidak. Seingatku, ada beberapa patung yang pecah dan rusak.
Peristiwa itu kadang membuatku bertanya-tanya: Kenapa sih, orang senang memasang pohon dan gua Natal? Aku sendiri merasa sebenarnya hal itu tidak terlalu penting. Tradisi memasang pohon dan gua Natal itu memang membuatku senang, tetapi kalau boleh jujur, itu tidak serta merta membuatku dapat menangkap makna Natal yang sejati.
Pertanyaan yang kedua: Apakah Natal hanya berhenti sampai Januari? Apakah Natal juga ikut berhenti seiring dengan aku mengemasi pernak-pernik dan patung Natal dan meletakkannya di lemari belakang? (Aduh!) Ekstremnya mungkin begini: Kalau Yesus sudah lahir, so what gitu loh? Ya, sudah. Mau apa lagi? Lagipula kita sudah mengikuti ibadah perayaan Natal di gereja, sudah mengadakan pesta Natal bersama relasi dan keluarga, sudah mengucapkan "Selamat Natal" kepada orang-orang terdekat, sudah mengirimkan bingkisan Natal kepada orang-orang yang membutuhkan. Sudah komplet!
Tetapi kupikir, Yesus lahir ke dunia tidak untuk iseng. Rasanya tidak mungkin kalau Tuhan Yesus berkata, "Bapa, Aku iseng ya main ke dunia." He he he, tidak, kan?
Jadi?
Jadi, Yesus lahir ke dunia dengan tujuan yang sangat serius. Ibarat menyiapkan pesta dengan sangat detail, Tuhan pun pasti membuat banyak perhitungan saat datang ke dunia: jamnya, tempatnya, orang-orang yang "diundang" untuk datang, dan lain-lain.
Dengan begitu, apakah semua kegiatan Natal yang kita ikuti sudah cukup? Jangan-jangan setelah Desember berakhir dan Januari mulai menampakkan batang hidungnya, semua itu menguap begitu saja. Kalau mau jujur, aku kadang merasakan hal seperti itu. Ketika lagu-lagu Natal sudah tidak lagi dikumandangkan, saat kue-kue Natal di toples sudah habis, saat patung-patung di kandang Bethlehem sudah berdebu dan kehilangan daya magnetnya, aku menganggap Natal benar-benar sudah selesai.
Lalu Yesus pun dimasukkan ke dalam lemari ... tak perlu ditengok sampai tahun depan. Kasihan Yesus, ya?
Kadang aku lupa bahwa Yesus benar-benar hadir di dalam hidupku. Dia bagaikan dekorasi yang awalnya menarik hati, tetapi lama-lama menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Kita bosan. Kita menjadi lupa bahwa kehadiran Yesus adalah hal yang luar biasa.
Coba pikir, Tuhan yang sebenarnya bisa ongkang-ongkang kaki di surga, kok mau-maunya turun ke dunia. Mengapa? Kalau tidak terdorong oleh cinta yang sangat besar, pasti tidak mungkin Dia mau bersakit-sakit datang ke dunia; lahir di palungan yang bau pula!
Jika kita mampu menangkap makna Natal sejati, keberadaan Yesus tidak akan terlibas oleh waktu. Dia akan senantiasa kita nikmati. Dan yang lebih penting, kita akan selalu melibatkan Dia dalam seluruh aspek kehidupan.
Masalahnya, kita ini memang manusia yang pelupa. Kita dengan mudah digerakkan oleh hal-hal yang menstimulus pancaindra, tetapi setelah semua yang berbau Natal tidak ada lagi, kita menganggap semuanya selesai.
Aku sendiri masih sering lupa. Tetapi aku tidak ingin terus-menerus lupa. Dan, kiranya kita semua juga tidak lupa bahwa Yesus benar-benar sudah hadir dan mau senantiasa terlibat dalam hidup kita. Jadi, setelah pesta Natal tahun ini berlalu, jangan masukkan Yesus ke dalam "lemari", ya! Biarkan Dia tumbuh dan merajai hati kita sepanjang waktu.
Diambil dan disunting seperlunya dari: