Menjadi Wanita Kristen yang Bijak di Bumi Pertiwi
Sebagai seorang wanita Kristen yang lahir dan besar di Indonesia, tentunya ada dua "ideologi" yang memengaruhi bagaimana saya melihat peran wanita di dalam masyarakat dan gereja. Yang pertama adalah budaya patriarkat yang masih mengakar sangat dalam di Indonesia pada umumnya, dan di dalam budaya suku-suku di Indonesia khususnya.
Di dalam budaya yang demikian, kita tidak bisa memungkiri terdapat unsur-unsur yang membuat wanita menjadi "masyarakat kelas dua" jika dibandingkan dengan pria. Di dalam budaya ini, ada tingkat "ketertundukan" tertentu dari wanita terhadap posisi pria sebagai pemimpin dan ekspetasi tertentu terhadap peran seorang wanita di dalam sebuah keluarga, seperti harus bisa mengurus rumah dan mengurus keperluan anak. Dengan demikian, stereotip yang ada adalah pria sebagai pemberi nafkah dan wanita mengurus urusan "dapur". Jika seorang wanita tidak memenuhi salah satu dari ekspektasi di atas (contoh sederhana: wanita yang tidak pandai memasak), masyarakat umumnya akan menilainya sebagai seorang wanita yang keluar dari "kodratnya".
Paulus: mendobrak stereotip gender.
"Ideologi" berikutnya yang sangat membentuk pandangan saya tentang peran seorang wanita di dalam tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat, tentunya adalah prinsip-prinsip Alkitab tentang kesetaraan gender. Di dalam sejarah, kita bisa melihat bagaimana kekristenan menjadi pelopor pertama lahirnya kesetaraan gender sejak era Perjanjian Baru dimulai, di mana pada saat itu, isu kesetaraan gender merupakan sesuatu yang "counter cultural". Bagi orang Yahudi ketika itu, wanita adalah "lower class citizen", begitu juga dengan pandangan orang Yunani terhadap wanita.
Di tengah-tengah pandangan yang demikian, Paulus berkata, "Dalam hal ini tidak lagi diadakan perbedaan antara orang Yahudi dan orang bukan Yahudi, antara hamba dan orang bebas, antara laki-laki dan perempuan. Saudara semuanya satu karena Kristus Yesus" (Galatia 3:28).
Bagi sebagian orang, ayat ini hanya bicara tentang status di dalam Kristus yang tidak terkait dengan isu gender, antiperbudakan, atau rasisme. Namun, justru di dalam ayat ini, Paulus sedang menegaskan suatu prinsip kesetaraan yang penting di dalam Kristus yang mendobrak dan menghancurkan tembok-tembok perbedaan status tuan-hamba, pria-wanita, dan Yahudi-Yunani di masa itu.
Di dalam Roma 16:1-16, kita pun dapat melihat bagaimana Paulus sangat mendukung peran wanita sebagai pemimpin dan pelayan di gereja mula-mula, dengan menyebutkan nama-nama mereka sebagai rekan sekerjanya: Febe (sebagai diaken di Kengkrea), Priskila, Maria, dan bahkan Yunias. Tentunya penghargaan yang demikian terhadap peran dan posisi wanita sangat bertentangan dengan pandangan masyarakat Yahudi dan Yunani terhadap posisi wanita di dalam tatanan sosial masyarakat dan ritual keagamaan mereka.
Kristus dan perempuan.
Kita perlu menggarisbawahi bahwa tidak hanya Paulus yang mendongkrak posisi dan popularitas wanita di dalam masyarakat ada masa itu, tetapi juga kitab-kitab Injil seperti Markus dan Lukas. Lukas di dalam Injilnya menyebutkan 16 nama wanita yang tampil sebagai contoh teladan murid Kristus yang sejati. Yesus sendiri dicatat (Lukas 8:1-31) menerima dukungan material dari para wanita di dalam pelayanannya, dan itu bukanlah sesuatu yang lazim dilakukan oleh seorang pria Yahudi di dalam abad pertama.
Perikop yang sama juga mencatat nama Yohana, istri Khuza, pegawai istana Herodes; Susana, dan Maria Magdalena sebagai wanita-wanita yang mengiringi pelayanan Yesus di Galilea bersama dengan kedua belas murid. Yesus juga menerima wanita sebagai murid-Nya (walaupun tidak termasuk di dalam kedua belas murid/rasul), seperti Maria dan Martha (Lukas 10:38-42), di mana seorang Rabbi di masa itu umumnya tidak memiliki murid/pengikut wanita.
Data-data dari Alkitab tersebut di atas membawa kita kepada kesimpulan bahwa Yesus dan kekristenan yang lahir pascakebangkitan-Nya tidak hanya menjadi kabar baik bagi dunia dengan berita Injil, tetapi juga mengangkat harkat dan martabat wanita ke tempat yang terhormat sebagaimana Tuhan tidak memandang gender, status sosial, atau etnisitas seseorang. Kekristenan mendobrak praktik-praktik atau budaya yang menganggap wanita sebagai kelas rendahan.
Menyadari keunikan wanita.
Kedua ideologi di atas (prinsip kekristenan dan budaya patriarkat) tentunya seperti "berperang" satu sama lain, yang mendorong seorang wanita untuk berpikir keras dan bertindak bijak di dalam menjalani perannya, terutama sebagai seorang wanita Kristen yang hidup dengan budaya patriarkat yang kental seperti di Indonesia. Wanita perlu menyadari bahwa ada hal-hal khusus yang Tuhan anugerahkan hanya kepada para wanita, yang menyebabkan setiap wanita hadir dengan keterbatasan-keterbatasan khusus (contoh: kendala yang dialami ketika menstruasi dan keterbatasan fisik ketika mengandung atau pascamelahirkan) ataupun kekuatan-kekuatan yang spesial (contoh: melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak) yang membuat wanita memang berbeda dengan pria, sehingga ada aspek-aspek yang membuat wanita perlu untuk diperlakukan berbeda (contoh: hanya wanita yang mendapat cuti melahirkan).
Tetapi perbedaan itu seharusnya tidak membuat wanita dianggap nomor dua seperti halnya perbedaan gaji antara wanita dan pria di dalam posisi pekerjaan yang sama, atau wanita dianggap tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Wanita juga tidak perlu mempraktikkan emansipasi yang kebablasan, seperti hanya mementingkan karier sehingga lupa untuk mengurus keluarga dan anak-anak di rumah (walaupun dalam mengurus rumah tangga tentunya diperlukan kerja sama di antara istri dan suami) atau menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah profesi yang rendahan di era modern ini. Justru ada banyak ibu rumah tangga yang menjadi tokoh penting di belakang keberhasilan suami dan anak-anak mereka.
Di lain pihak, pandangan bahwa wanita hanya bisa mengurus urusan "dapur" dan tidak bisa menduduki posisi penting di masyarakat ataupun gereja karena dianggap tidak mampu juga tidak tepat. Terbukti dari tokoh-tokoh seperti Marie Curie, Corazon Aquino, Mother Teresa, Indira Gandhi, Sandra Day O'Connor, dan Eleanor Roosevelt, yang menjadi teladan bagaimana wanita dapat menjadi seseorang yang punya peran besar untuk bangsa mereka dan bahkan dunia.
Menjadi wanita yang bijaksana.
Oleh karena itu, hikmat untuk menjadi bijaksana menjadi sangat penting bagi seorang wanita di dalam menata kehidupannya, terutama di dalam budaya patriarkat yang kental seperti di Indonesia sehingga dirinya mampu keluar dari bayang-bayang "penjajahan" pria, tanpa harus memungkiri keunikannya sebagai wanita (tanpa harus kebablasan).
Kebijaksanaan seorang wanita dalam menampilkan kekuatan-kekuatan mereka tanpa memungkiri keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga tahu bagaimana bertindak, berkata-kata, dan mengambil keputusan dengan tepat di dalam konteks mereka masing-masing (termasuk jika peran itu adalah mendukung seorang pria), menjadi modal yang besar sebagai wanita untuk membawa banyak kontribusi bagi dirinya sendiri, keluarga, bangsa, dan dunia!
*Penulis adalah Chakrita Margaretha Saulina Tambunan, ST, Staff Siswa Perkantas Jakarta, saat ini sedang menyelesaikan studi Magister Divinitas di Acadia Divinity College, Canada.
*Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013.
Diambil dari dan disunting seperlunya dari:
Nama situs | : | Majalah Dia |
Alamat URL | : | http://dia.perkantas.net/menjadi-wanita-kristen-yang-bijak |
Judul asli artikel | : | Menjadi Wanita Kristen yang Bijak di Bumi Pertiwi |
Penulis artikel | : | Chakrita Margaretha Saulina Tambunan, ST |
Tanggal akses | : | 28 Februari 2015 |