Menakar Keabsahan Diri Sebagai Pemimpin Rohani

"... kamu yang rohani, harus memimpin orang ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut...." (Galatia 6:1b)

Pengantar

Seorang pemimpin yang sejati, tahu siapa dirinya, mengapa ia ada, di mana ia berada, ke mana ia akan pergi, dan apa yang akan dicapainya. Kebenaran ini menegaskan bahwa sejatinya, seorang pemimpin harus tahu apa yang menyebabkan ia ada dan berada, serta mengapa ia ada sebagai pemimpin. Hal ini menjelaskan tentang beberapa pertanyaan penting, antara lain: pertama, apa landasan bagi legitimasi kepemimpinannya, yang memberikan otoritas serta keyakinan kepadanya untuk menjadi pemimpin. Landasan legitimasi yang memberi otoritas ini sekaligus memberikan indikator tentang landasan, dinamika, dan arah kepemimpinan dari organisasi yang dipimpinnya. Kedua, apa motivasi yang mendorongnya untuk berada pada tempat di mana ia berada sekarang sebagai pemimpin. Pertanyaan ini mempertanyakan tentang nilai anutan yang memberikan dorongan kepada pemimpin untuk mewujudkan keberadaannya. Ketiga, apa visi dan misi kepemimpinannya yang memberikan arah dan tugas yang akan dikerjakan untuk menggapai idealisme kepemimpinannya. Meneguhkan kebenaran kepemimpinan ini, seorang pemimpin sejati harus memastikan faktor-faktor prima yang merupakan dinamika bagi keberadaannya sebagai pemimpin. Menjawab untaian aspek yang membawa seseorang menjadi pemimpin seperti ini, La Rochefoucauld mengatakan: "Kejayaan orang-orang besar harus selalu diukur dari cara yang mereka gunakan untuk mencapai kejayaan tersebut."

Pernyataan ini menegaskan bahwa suatu pencapaian kepemimpinan yang absah dan bernilai agung adalah bila dibangun di atas kebenaran yang mendasari motif, sifat, sikap kata, perbuatan, dan cara yang digunakan untuk berada sebagai pemimpin. Dari perspektif Kristen, seorang pemimpin yang adalah pemimpin rohani, haruslah menjawab pertanyaan penting, antara lain: "Apakah keberadaannya sebagai pemimpin selaras dengan kehendak Allah yang sejati; Apakah kepemimpinannya digapai dengan motivasi luhur sebagai pemimpin rohani sejati; Apakah kepemimpinannya diperuntukan guna memperjuangkan hal besar bagi kepentingan banyak orang, yang sejatinya merupakan pembuktian diri sebagai pemimpin besar. Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan di depan, maka ada tiga hal yang akan dibincangkan, yaitu:

  1. Membangun kepemimpinan di atas kehendak Allah.
  2. Meneguhkan kepemimpinan dengan motivasi agung sebagai pemimpin rohani.
  3. Membuktikan kepemimpinan dengan memperjuangkan hal besar yang inklusif, yang akan diakhiri dengan suatu refleksi.

1. Membangun Kepemimpinan di Atas Kehendak Allah

Dasar bagi pembuktian keabsahan diri seorang pemimpin adalah memahami apa sesungguhnya kehendak Allah bagi dirinya, rumah tangga, dan kepemimpinannya. Adalah tidak mudah untuk memastikan serta menegaskan apa yang disebut kehendak Allah ini. Sebagai contoh, seseorang bisa saja atas nama "kehendak Allah", memaksakan kehendaknya atas orang lain atau bertindak licik, guna mencapai tujuan dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dalam hubungan ini, haruslah dipahami bahwa kehendak Allah adalah hakikat-Nya yang berdaulat, di mana dapat dikatakan bahwa jika TUHAN Allah menghendaki sesuatu, maka kehendak-Nya itu pasti terjadi. Pernyataan ini menarik untuk disimak.

Pertama, kita harus belajar membedakan kehendak Allah dan kehendak atau usaha manusia. Kehendak Allah adalah selaras dengan hakikat-Nya, pasti dan harus sama dengan sifat khas-Nya -- mahabenar, mahasuci, mahaadil, mahahikmat, mahabaik, mahatepat, mahatahu, mahahadir, mahaarif, yang nyata dari firman-Nya, serta terbukti dalam tindakan-Nya. Dapat ditegaskan bahwa karena kehendak Allah itu sempurna, maka penggenapannya juga sempurna.

Kedua, kita akan melihat dari sisi lain, yang berhubungan dengan meyakini sesuatu sebagai kehendak Allah, dan mematutkannya dengan tanggung jawab manusia. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, sejauh mana sesuatu yang disebut kehendak Allah itu dapat dibedakan dari sikap membiarkan apa saja terjadi. Atau dengan meyakini bahwa sesuatu itu adalah kehendak Allah, maka kita terdorong untuk melakukan apa yang diyakini sebagai kehendak Allah, pada hal, pertanyaan besar yang muncul ialah, "Apakah kehendak Allah yang sejati, yang ada pada diri-Nya itu sejalan dengan tindakan saya?" Kalaupun saya mengatakan bahwa itu adalah sejalan, maka pertanyaan berikutnya ialah, "Apakah benar itu adalah sejalan, dan apa sesungguhnya tolok ukurnya?" Karena, jangan-jangan, saya memaksakan kehendak diri saya dan berlindung di balik "kehendak Allah".

Ketiga, kita perlu memastikan apa yang disebut kehendak Allah itu dengan kebenaran Firman, suara batin, faktor hukum, keadilan sosial ekonomi, nilai luhur kultural sosial, dan hak-hak individu, rumah tangga, hak masyarakat, serta hak organisasi. Semua ini haruslah menjadi pertimbangan, karena melibatkan orang lain dan banyak orang yang adalah manusia ciptaan Allah, di mana kita semua memiliki tanggung jawab moral yang melekat pada hakikat dan citra diri kita sebagai ciptaan Tuhan yang mulia. Di sini kita dapat berkata bahwa, kehendak Allah yang berdaulat itu pasti terlaksana, tetapi pertanyaan penting yang harus ditanyakan ialah, "Bagaimana hubungannya dengan saya secara pribadi yang menyikapinya?" "Apakah saya yakin bahwa ini benar-benar kehendak Allah?" "Apakah Roh Kudus sungguh berperan di dalamnya?" "Apakah semua ini selaras dengan kebenaran Firman?" "Apakah suara batin saya selaras dengan kehendak Allah, atau karena demi keinginan berkuasa, keinginan mendominasi, keinginan dihormati, keinginan berada di atas orang lain, saya 'memelintir kehendak Allah'?"

Keempat, kita perlu memastikan apa yang disebut kehendak Allah itu, dan akibat-akibat yang akan ditimbulkan oleh apa yang disebut sebagai tindakan yang mengatasnamakan kehendak Allah itu sendiri. Adalah tidak mudah untuk menjawab semua pertanyaan ini. Suatu tindakan yang dianggap benar oleh seseorang, belum tentu dianggap benar oleh orang lain. Tindakan yang mengatasnamakan kehendak Allah sekalipun, belumlah tentu kehendak Allah yang sejati.

Kelima, kita harus membedakan apa yang sesungguhnya menjadi kehendak Allah itu dengan keputusan-keputusan yang berbasis sistem demokrasi, sistem hukum privat atau sistem hukum positif atau suatu tindakan yang bersifat formal, yang sering dilihat sebagai pengabsahan kehendak Allah itu. Pokok ini sangat perlu untuk disimak dengan saksama oleh mereka yang berniat baik, bermaksud benar, dan bertindak dengan kehendak mulia, untuk membiarkan kehendak Allah terjadi secara bertanggung jawab. Dalam menerapkan kebenaran tentang kehendak Allah ini, kita diminta arif untuk menyikapinya, baik dari sikap hati, dalam pikiran, sifat, sikap, kata, serta tindakan, sehingga yang kita katakan kehendak TUHAN itu benar-benar kehendak-Nya yang selaras dengan rencana-Nya yang kekal. Dalam hal ini, kita perlu mendengar nasihat "Kong Hu Cu" (Konfusius) yang mengatakan, "Mengetahui apa yang baik tetapi tidak melakukannya adalah sikap pengecut yang paling buruk." Lebih dari itu, firman Allah menegaskan, "... barang siapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya." (Yakobus 2:25) Semua ini harus kita sikapi dengan kerendahan hati serta kemauan untuk taat kepada TUHAN Allah dengan mengingat firman-Nya yang menegaskan, "Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat itu." (Ulangan 29:29) Kehendak Allah tetaplah suatu misteri yang kekal!

[Bersambung ke e-Leadership edisi 119]

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama situs: DR. Yakob Tomatala
Alamat URL: http://yakobtomatala.com/2011/06/26/
Penulis: Dr. Yakob Tomatala
Tanggal akses: 22 Maret 2010
Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar