Harga Sebuah Kepemimpinan (I)
Setiap pencapaian berharga memunyai harga yang harus dibayar dengan kerja keras, kesabaran, iman, dan daya tahan.
Kepemimpinan sejati selalu menuntut harga dari setiap individu, bahkan jika kepemimpinan itu dijalankan oleh orang yang paling matang dan stabil emosinya sekalipun. Tampaknya sudah menjadi pendapat umum di dunia bahwa semakin tinggi prestasi, semakin mahal pula harga yang harus dibayar. Demikian juga dengan kepemimpinan sejati. Yesus sendiri tampaknya memikirkan hal ini ketika Ia berkata, "Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya." (Lukas 9:24a)
Sangat benar bahwa setiap pencapaian berharga harus dibayar dengan setimpal. Persoalan ini bisa diringkas menjadi satu pertanyaan dasar: Berapa banyak yang bersedia Anda bayar dengan kerja keras memeras keringat, kesabaran, iman, dan daya tahan untuk mendapatkannya?
Ted Williams -- megabintang bisbol tahun 40-an dan 50-an, namanya termasuk dalam "Hall of Fame", dan dianggap sebagai salah satu pemukul terbaik yang pernah bermain -- dikenal sebagai pemukul "alami". Sekali waktu ia pernah ditanyai tentang bakat alaminya dan langsung menjawab, "Tidak ada istilah pemukul alami. Saya menjadi seorang pemukul yang baik karena saya membayar harga berupa latihan yang terus-menerus." Bagi pengamat awam, caranya mengayunkan tongkat pemukul terlihat mudah. Demikian juga, keahlian profesional dalam kepemimpinan tidak begitu saja datang; hal itu hanya muncul melalui upaya tekun.
Mari kita pertimbangkan beberapa aspek mahalnya harga yang harus dibayar oleh orang-orang yang menduduki jabatan kepemimpinan maupun yang ingin mencapainya.
1. Kritik
Kritik adalah sebuah harga mahal yang dibayar oleh para pemimpin. Jika seseorang tidak dapat mengelola kritik, hal itu berarti pada dasarnya ia belum matang secara emosional. Kekurangan ini pada akhirnya akan muncul dan menghalangi kemajuannya dan kelompoknya mencapai tujuan bersama. Setiap pemimpin harus mengantisipasi beberapa hal semacam itu. Namun, kritik bisa berujung pada kebaikan jika sang pemimpin mampu menerimanya.
Saya dapat melihat bahwa sering kali orang-orang yang melontarkan kritikan kepada sayalah yang paling membantu saya. Betapa sulitnya menerima kritik pada awalnya, namun betapa luar biasa leganya pada akhirnya! Satu-satunya cara kita benar-benar mengenali diri kita adalah dengan umpan balik dari orang lain. Kita benar-benar tidak tahu bagaimana kesan kita di mata orang lain tanpa mereka memberitahukannya kepada kita. Oleh karena itu, kita membutuhkan tanggapan mereka.
Para penjilat membantu kita merasa lebih baik tentang diri kita, namun kita tidak benar-benar diuntungkan oleh mereka. Perubahan sejati dan pertumbuhan emosional datang saat kita menghadapi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan diri kita sebagaimana yang dilihat oleh orang lain. Inilah harga sebuah kepemimpinan karena sang pemimpin berada dalam posisi yang paling banyak terlihat. Situasi ini membuatnya lebih rentan terhadap kritik. Namun, pemimpin yang matang mampu menangani hal ini dan membuat penyesuaian dan koreksi pribadi yang dibutuhkan. Ia mampu berkata, "Terima kasih atas kritik Anda dalam hidup saya. Hal itu telah membawa saya kepada introspeksi diri yang lebih mendalam, saya membutuhkannya."
2. Keletihan
Seseorang berkata bahwa dunia ini dipimpin oleh orang-orang yang lelah. Barangkali ada hakikat nyata dari pernyataan ini, karena para pemimpin sejati harus bersedia bangun lebih awal dan belajar lebih lama daripada generasi mereka. Beberapa orang memunyai stamina luar biasa, tetapi keletihan sering kali muncul saat mereka ingin mencapai tujuan organisasi mereka dan muncul dalam tanggung jawab kepemimpinan mereka.
Pemimpin yang bijaksana akan berusaha untuk menemukan keseimbangan dan mencari kesibukan lain -- sebuah perubahan irama hidup -- untuk mengurangi stres. Ia harus mencari beberapa hiburan yang menyenangkan. Jika tidak, pada akhirnya ia tidak lagi berguna. Anda pasti pernah mendengar ungkapan, "Aku lebih memilih terbakar habis bagi Allah daripada mati berkarat demi iblis." Semangat ini mulia dan saleh, dan pengabdian seseorang harus mengarah kepada pemikiran itu. Namun di sisi lain, jika seseorang dapat belajar bagaimana untuk bersantai sejenak alih-alih bekerja mati-matian, efektivitasnya akan berlipat ganda.
Jika seseorang benar-benar "terbakar habis", pengaruh dan kontribusinya berakhir. Perawatan kesehatan, istirahat, dan keseimbangan hidup yang tepat akan membantu pemimpin menjaga kemampuannya untuk bertahan. Namun, seorang pemimpin harus siap untuk menerima harga yang harus dibayarnya, baik secara emosional maupun jasmaniah.
Selama berminggu-minggu menulis bab ini, saya benar-benar menderita kelelahan selama pelayanan di luar negeri. Saya harus mempersingkat pelayanan di luar negeri lalu pulang ke rumah untuk istirahat dan perubahan irama hidup yang drastis. Jika saya menerapkan apa yang sekarang saya ajarkan berbulan-bulan sebelumnya lebih awal, hal ini tidak akan terjadi. "Perubahan irama" merupakan kebutuhan mutlak bagi pemimpin yang ambisius.
3. Waktu untuk Berpikir
Harga lain yang harus dibayar oleh para pemimpin Kristen adalah waktu yang harus disisihkan untuk berpikir kreatif dan merenung. Kita jarang menganggapnya sebagai harga yang harus dibayar, namun demikianlah adanya. Kebanyakan orang terlalu sibuk meluangkan waktu untuk benar-benar berpikir.
Demi suatu tujuan, banyak pemimpin ingin bergerak maju tanpa membayar harga untuk berpikir demi menentukan cara terbaik untuk mencapai tujuan. Benar bahwa "solusinya bukanlah bekerja lebih keras, melainkan bekerja lebih cerdas."
Kebanyakan upaya yang berhasil hanya diraih setelah berjam-jam pemikiran yang mendalam dan penelitian yang cermat.
4. Kesendirian
Harga keempat yang harus dibayar oleh pemimpin -- yang jarang kita perhatikan -- adalah kesediaan untuk sendirian karena ia telah kehilangan kebebasannya dengan melayani orang lain. Seorang pemimpin sejati mendukung minat, gagasan, dan cita-cita para anggotanya. Pada saat yang sama, pemimpin yang efektif harus berjuang untuk menunaikan potensi dan cita-citanya tanpa terserap ke dalam kelompok. Ini membuatnya hidup dalam kesendirian yang seimbang, berada di antara dirinya dengan kelompoknya, karena dia perlu memerhatikan orang lain sekaligus mengasingkan diri dari mereka.
Semua pemimpin tangguh bersikap demikian karena mereka mampu menyamakan diri dengan kelompoknya tanpa menjadi "salah satu dari mereka." Seorang pemimpin harus siap untuk melangkah menjauh dari rombongan dan menyendiri. Yesus sering kali melakukan hal ini dalam pelayanan-Nya. Meskipun sang pemimpin pada dasarnya adalah orang yang ramah, pada saat yang bersamaan ia harus siap untuk menempuh jalan kesendirian.
Sang pemimpin harus dapat menjalin persahabatan, namun ia harus cukup matang dan cukup tegar untuk berdiri seorang diri, bahkan jika ada banyak yang menentangnya selagi menjalankan tugasnya.
Penelitian mendalam tentang tokoh-tokoh Alkitab yang sangat diberkati dan dipakai Allah mengungkapkan bahwa mereka lebih sering menjadi orang-orang dalam kesendirian. Para nabi, misalnya, benar-benar kesepian; mereka sering kali disalahartikan dan menjadi ancaman bagi masyarakat karena teguran langsung mereka terhadap perilaku masyarakat. Sekarang pun sama saja, pengkhotbah yang kesepian adalah seseorang yang berkata "Beginilah bunyi firman Allah" dan mengajak orang-orang untuk bertobat.
Salah satu alasan sulitnya menanggung kesendirian adalah secara emosional para pemimpin mungkin membutuhkan orang lain. Oleh karena itu mereka tidak mampu bersikap individualis.
Alasan lain mengapa kesendirian begitu sulit dalam kepemimpinan adalah karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Naluri dasar dalam kepribadian manusia adalah kebutuhan untuk "dirangkul" dan diterima oleh rekan-rekan sebaya. Keinginan untuk dekat dengan orang-orang dan berbagi beban tanggung jawab itu wajar. Sebagai seorang pemimpin, sulit jika harus membuat keputusan yang memengaruhi hidup orang lain. Para pemimpin sering kali memisahkan diri, itulah harga mahal yang harus mereka bayar.
5. Identifikasi
Seorang pemimpin tidak saja harus menjadi seorang diri dan terasing pada waktu yang bersamaan, namun secara berlawanan ia juga harus menyamakan diri dengan kelompoknya. Ia harus selalu berada di depan kelompoknya, namun secara bersamaan berjalan bersama orang-orang yang dipimpinnya. Ini dapat menjadi suatu perbedaan tipis. Pasti ada jarak antara sang pemimpin dan para anggotanya. Penting bagi sang pemimpin untuk mengetahui prinsip ini, namun tetap mampu berhubungan dengan rekan-rekannya.
Supaya efektif, sang pemimpin tidak dapat berlari terlalu jauh mendahului kelompoknya. Alkitab dipenuhi ilustrasi yang menggambarkan para pemimpin yang menyamakan diri dengan kelompoknya. Contoh yang paling tepat adalah Tuhan Yesus, yang sering berbagi sukacita maupun dukacita dengan orang-orang. Penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib adalah perlambang identifikasi-Nya dengan umat manusia. Rasul Paulus mengatakan ia akan menjadi seperti orang Yahudi atau seperti orang Yunani atau seperti hamba supaya memenangkan masing-masing (1 Korintus 9:19-23).
Jadi, dalam hal tertentu, pemimpin sejati harus membayar harga untuk mendekatkan diri, menjadi bagian kelompok. Ini berarti ia harus bersedia untuk menjadi pribadi yang jujur dan terbuka. Rasa kemanusiaannya harus muncul. Ia tidak boleh terlihat seperti robot, pribadi yang kaku seperti mesin yang takut mengungkapkan dirinya yang sebenarnya.
Untuk menyamakan diri dengan kelompok, sang pemimpin harus membayar harga untuk meluangkan waktu mengenal para anggotanya -- untuk berbagi perasaan, kesuksesan, maupun kegagalan. Karena sebagian besar tujuan tidak dapat diraih seorang diri, kelompok harus dijadikan tumpuan. Sang pemimpin harus menyadari kekuatan kelompok, bersedia untuk membuat kelonggaran, dan memimpin dengan kasih tanpa kehilangan visi akan sasaran jangka panjang. (t/Dicky)
Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | The Making of a Christian Leader |
Judul asli artikel | : | The Price of Leadership |
Penulis | : | Ted W. Engstrom |
Penerbit | : | Zondervan, Michigan 1976 |
Halaman | : | 95 -- 98 |