Filosofi Kristen Tentang Kepemimpinan

Dalam skenario yang terdapat dalam Matius 20, ibu dari Yakobus dan Yohanes mendekati Yesus dan meminta supaya kedua anaknya boleh duduk di samping Yesus dalam kerajaan-Nya. Hal ini memberikan kesempatan kepada Yesus untuk memperkenalkan 3 kunci sikap dalam kepemimpinan Kristen: penderitaan, keseimbangan, dan pelayanan.

Penderitaan

Para pelayan memiliki otoritas yang sama dalam tubuh Kristus. Mereka saling berkaitan seperti para ksatria di sekeliling meja daripada berperingkat seperti dalam sebuah pasukan. Pemerintahan yang alkitabiah terdiri atas para pelayan yang bekerja sama, saling menghormati dalam kedudukan yang sama. Hirarki otoriter tidak mendapatkan tempat dalam Kerajaan Allah. Pengertian mereka bersifat duniawi dan mengarah pada hal-hal yang sama dengan yang ditegur Yesus dari kedua murid dalam pasal tadi.

Melayani

Pemimpin (seharusnya) lebih memiliki sikap pelayan daripada sikap seorang penguasa. Orang-orang haruslah menjadi fokus pelayanan mereka, bukan sekadar alat untuk meraih ambisi pribadi.

Apa yang dicari oleh Yakobus dan Yohanes dan bagaimana mereka mengusahakannya?

Mereka mencari status dan penghormatan dengan cara memanipulasi. Mereka tidak menyebutkan apa pun tentang pekerjaan nyata yang harus diselesaikan, melainkan hanya jabatan. Mereka mengira Kerajaan Allah akan disusun seperti pemerintahan pada umumnya, dengan Yesus sebagai penguasa tertinggi, diikuti dengan serangkaian jabatan lain.

Kita dapat membayangkan mereka merencanakan, "Kamu tahu, Yesus kadang-kadang bisa bersikap sulit kepada kita. Namun, Yesus benar-benar bersikap lembut pada wanita. Kita lihat saja bagaimana kalau kita bisa menyuruh ibu untuk berbicara kepada-Nya. Mungkin ibu bisa memberikan posisi yang baik kepada kita."

Ini namanya berpolitik. Manipulasi semacam ini menggambarkan kepemimpinan dunia. Yesus tidak menegur mereka karena ambisi karena ambisi adalah hal yang baik jika itu untuk kemuliaan Allah. Namun, Yesus memberikan peringatan tentang mencari hormat untuk diri sendiri.

Yesus menjelaskan bahwa dia tidak memiliki tanggung jawab atas promosi di departemen personalia. Bapalah yang memilikinya. Mereka meminta kepada orang yang salah.

Dari hal ini, kita melihat prinsip pertama kepemimpinan Kristen dalam Perjanjian Baru: Kepemimpinan adalah karunia dari Tuhan.

Namun demikian, anak-anak Zebedeus ini memiliki dua kualitas yang patut dipuji, meskipun benar-benar salah arah:

Ambisi

Ini merupakan karakter yang baik jika diarahkan pada kemuliaan Allah, bukannya pada nilai untuk diri sendiri.

Percaya Diri

Ada kepercayaan diri yang patut dipuji jika hal itu sepenuhnya didasarkan pada kepercayaan dalam Tuhan. Sayangnya, itu adalah kepercayaan pada diri mereka sendiri daripada pada Allah. "Kami dapat." Mereka menganggap diri mereka benar-benar mampu. (Namun, peristiwa di) taman Getsemani mengajarkan hal yang sebaliknya kepada mereka. Mereka meninggalkan Yesus dan melarikan diri.

Hal ini memberikan sikap kunci yang pertama, yang Yesus ajarkan kepada mereka.

Sikap kunci yang pertama: Bersedia menerima penderitaan.

"Tetapi Yesus menjawab, kata-Nya: Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?" Kata mereka kepada-Nya: "Kami dapat." (Matius 20:22)

Panggilan kepemimpinan Kristen merupakan sebuah panggilan untuk menderita. Penderitaan itu mencakup, terutama di dunia Barat, biasanya berupa tekakan secara psikologis dan stres tertentu yang tidak dapat ditanggung ataupun dipahami oleh orang percaya lainnya.

Orang-orang sering kali memiliki harapan yang tinggi dari seorang pemimpin, yang tidak dapat dipenuhi pemimpin itu. Beberapa orang Kristen mungkin lebih melihat ke pendeta daripada ke Kristus. Saat pendeta gagal memenuhi harapan-harapan mereka, mereka mungkin akan menganggap pendetanya tidak kompeten.

Beberapa jemaat yang berada di bawah pemeliharaan pendeta mungkin tidak mau tunduk dan akan bersuara saat mereka ditekan. Kadang-kadang, pemimpin harus mempertahankan jalur tetap pada prinsip-prinsip, dengan menanggung kemungkinan risiko adanya kesalahpahaman dan kritik.

Kadang-kadang, para pemimpin gereja harus menerapkan disiplin alkitabiah ketika mungkin hal itu tidak umum dilakukan. Saat berurusan dengan hal semacam ini, para pemimpin sering kali tidak dapat menunjukkan masalahnya kepada jemaat. Anggota jemaat yang tidak tahu sepenuhnya tetang masalah ini bisa saja menarik kesimpulan yang salah tentang keputusan para pemimpin. Mereka mungkin membayangkan bahwa para pemimpin bersikap terlalu keras atau terlalu longgar dalam mendisiplin. Para pemimpin mungkin menemukan diri mereka menderita dalam diam. Namun, Allah telah dengan bijaksana mengaturnya demikian.

Jabatan dan penghormatan yang menemani kedudukan seorang pemimpin sudah cukup untuk mengompensasi stres. Mereka yang menghargai jabatan dan penghormatan lebih tinggi daripada pelayanan akan segera mendapati diri kecewa.

Dalam bukunya, "Brothers, We Are Not Professionals", John Piper juga menyerang sikap profesionalisme dalam pelayanan pastoral yang merongrong kemauan untuk menerima penderitaan.

Kita, para pendeta, dibunuh oleh pemrofesionalisan pelayanan pastoral(atau proses menjadikan pelayanan pastoral profesional). Mentalitas kaum profesional bukanlah ... mentalitas hamba Kristus. Profesionalisme tidak ada hubungannya dengan esensi dan hati pelayanan Kristen .... Karena tidak ada keserupaan dengan anak kecil yang profesional, Matius 18:3; tidak ada kelembutah hati yang profesional, Efesus 4:32; tidak ada kerinduan akan Allah yang profesional, Mazmur 42:1.

Sikap kunci yang kedua: Keseimbangan

Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; (Matius 20:25-27)

Di ladang misi, saya bekerja bersama (seorang misionaris) senegara yang baru saja ditahbiskan, yang dulunya adalah seorang dokter. Dia memiliki beberapa tepian kasar pada kepribadian, kebebasan, dan pendiriannya. Seiring waktu, kami menjadi sahabat karib dan bekerja sama dengan baik. Kita sebut saja namanya José

.

Pada akhirnya, José pindah ke kota lain dan berkerja bersama sebuah tim. Seorang misionaris dari tim tersebut menelepon saya dan bertanya, "Roger, saya kesulitan untuk bekerja bersama José. Aku memperhatikan kalian dapat bekerja sama dengan baik dan produktif. Dapatkah kamu memberiku beberapa petunjuk tentang bagaimana mengatasi dia?"

Inilah jawaban saya: "Saudara, petunjuk yang pertama adalah berhentilah berusaha "mengatasinya". Perlakukan dia sebagai teman sejawat. Kadang-kadang, teleponlah dia dan mintalah saran darinya. Mintalah dia untuk menolongmu. Anggaplah dia sama denganmu karena sebenarnya dia memang punya penthabisan yang sama denganmu. Lakukan itu dan dia akan dengan senang hati membantumu."

Misionaris itu terdiam selama sekitar 20 detik di ujung telepon. Kemudian dia menjawab, "Aku pikir aku tidak dapat melakukannya." "Kalau begitu, aku tidak dapat membantumu," saya menyimpulkan.

Sayang sekali, misionaris itu tidak dapat menganggap seorang yang senegara denganya, bahkan seorang dokter, sama dengan dirinya. Ia melihat dirinya sendiri dalam sebuah hirarki dengan saudara sebangsanya berada di tingkat yang lebih rendah darinya. Memperlakukan José sebagai sesama akan bertentangan dengan seluruh padangannya tentang kepemimpinan, yang ia warisi dari budaya bisnis kantornya.

Ironisnya, saya sudah menggunakan istilah "sama" ini untuk menghindari perkataan "Aku pikir José adalah orang yang lebih baik!" Saya tidak pernah menganggap José lebih inferior. Hubungan keduanya hanya berlangsung kurang dari setahun, dan José pergi ke tempat lain.

Tip: Jika Anda memperlakukan seseorang sederajat, mengasumsikan dia bijaksana, ia akan tunduk pada Anda dalam hal-hal yang dia ketahui Anda lebih unggul.

Otoritarianisme dan hierarkisme itu saling mendukung. Sulit untuk menentukan mana yang menajdi kekuatan pendorongnya. Apakah orang-orang yang otoriter menciptakan hierarki? Atau, sebaliknya?

Otoriterianisme merupakan produk sampingan dari arogansi. Orang-orang otoriter sering kali mengira kedudukan mereka yang superior membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya superior sebagai seorang individu. Itulah sebabnya mereka menuhankan hal itu lebih dari orang lain. Mereka beranggapan bahwa mereka memiliki hak alami untuk melakukan hal itu.

Hirarki yang kompleks memang tak dapat dihindari di dunia ini. Pasukan adalah hirarki, dengan jenderal di bagian atas, diikuti oleh kolonel, mayor, kapten, sersan, turun ke prajurit. Demikian juga, perusahaan-perusahaan. CEO ada di bagian atas, diikuti oleh wakil presiden, manajer departemen, turun ke anggota-anggota di jengjang paling bawah.

Hierarki memang diperlukan dalam domain-domain semacam itu. Yesus tidak mengajarkan bahwa hirarki secara inheren salah. Dia hanya mengatakan kamu tidak seperti itu.

Dalam bahasa Yunani, frasa "kamu tidak seperti itu" harfiahnya "Seharusnya tidak seperti itu di antaramu." Saat itu, Yesus sedang berbicara dalam bahasa Aram, dialek Ibrani. Dalam bahasa itu, bentuk kalimat masa depan (future tense) digunakan sebagai perintah. Yesus mungkin sedang berkata, "Aku benar-benar melarangmu untuk menempatkan mereka yang bertemperamen dan bersikap otoriter ke dalam suatu jabatan.

Ini tidak termasuk beberapa yang disebut pemimpin alami dari jawatan Kristen. Organisasi-organisasi Kristen sering kali mengabaikan prinsip ini. Seiring datangnya seseorang yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan alami. Tentu saja, ia agak sedikit arogan. Ia suka mengontrol. Mungkin ia sedikit sombong sesekali, tetapi mengapa memangnya? Toh dia memiliki kepemimpinan. Jadi, ia mendapatkan otoritas di dalam organisasi itu. Hasil: orang-orang yang terluka. Orang-orang baik hilang, yang menolak menjadi beban bagi arogansinya.

Hanya karena seseorang memiliki kemampuan kepemimpinan tidak berarti ia harus menjadi seorang pemimpin di sebuah organisasi Kristen. Jika ia cenderung memiliki sikap otoriter dan mengendalikan, dia adalah orang yang paling tidak memenuhi syarat. Para pengendali harus dikendalikan.

Inilah yang mungkin dimaksudkan Yesus dengan perkataan "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu". Beberapa kaum terpelajar menginterpretasikan ini dengan kepemimpinan yang melayani adalah jalan untuk mendapat promosi dalam Kerajaan Allah. Intepretasi ini mungkin benar. Namun, dengan mempertimbangkan konteksnya, ini tampaknya lebih pada larangan terhadap penunjukkan orang-orang yang memiliki sikap otoriter.

Intinya

Baik kemampuan kepemimpinan alami, pengalaman di dunia bisnis atau kemiliteran, ataupun profil psikologis bukanlah indikasi yang cukup untuk menunjukkan bahwa seseorang perlu dipertimbangkan untuk menjadi pemimpin Kristen. Jika ia memiliki sikap yang otoriter, berpikir secara hierarkis, atau cenderung memanfaatkan atau menyalahgunakan orang, di didiskualifikasi dari kandidat pemimpin, apa pun sifat-sifat lain yang ia miliki.

Sikap kunci yang ketiga: Pelayanan

Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."(Matius 20:28)

Kepemimpinan Kristen lebih berfokus pada menolong orang lain daripada memerintah mereka. Itu merupakan kehidupan yang diberikan untuk melayani.

Banyak orang yang tertarik oleh penghormatan, berakhir sebagai pemimpin yang lalai, lebih mengutamakan status daripada kesejahteraan pengikutnya. Hal ini juga merugikan diri mereka sendiri.

... ada saatnya manusia menguasai manusia untuk mendatangkan celaka pada dirinya. (Pengkhotbah 8:9, MILT)

Tujuan seorang pemimpin Kristen adalah menjadikan pengikutnya yang terbaik yang dapat mereka lakukan. Bahkan, jika ia dapat melatih seseorang untuk menggantikanya, itu merupakan kepemimpinan yang terbaik dari semuanya.

Kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang penting dalam Kerajaan Allah karena (itu merupakan) produk akhir. Di dunia usaha, manusia merupakan sumberdaya untuk menghasilkan barang-barang. Orang-orang memberikan waktu dan tenaga untuk memproduksi berbagai produk yang dapat digunakan oleh masyarakat.

Kerajaan Allah menggunakan menggunakan material jasmani untuk menghasilkan orang-orang yang dikuduskan. Dunia tidak menganggap sebagai masalah. Lagi pula, pengudusan sulit untuk didefinisikan, sesuatu yang hanya Allah yang dapat menilainya. Namun, orang-orang yang dikuduskan itulah inti pelayanan yang sesungguhnya.

Kadang-kadang, para pebisnis berkata, "Jika aku menjalankan bisnisku seperti kamu menjalankan gerejamu, aku akan bangkrut." Jawabannya mungkin seperti ini, "Jika aku menjalankan gerejaku seperti kamu menjalankan bisnismu, aku tidak akan memiliki lebih banyak orang kuduskan daripada kamu dalam bisnismu."

Judul dari pelajaran ini adalah "Filosofi Kristen tentang Kepemimpinan", bukan "Sebuah Filosofi Kristen tentang Kepemimpinan". Ini disengaja. Kristus hanya mengajarkan satu filosofi kepemimpinan. Ia tidak berkata, "Cobalah saran-Ku, dan jika kamu tidak menyukainya, carilah paradigmamu sendiri."

Kesimpulan:

Kepemimpinan Kristen melibatkan sikap yang berbeda dari sistem dunia. Menerima penderitaan, baik fisik maupun psikis, menolong seorang pemimpin menempatkan motivasinya sendiri ke dalam perspektif. Melayani orang lain untuk menolong mereka meraih potensi maksimal mereka dan memperlakukan sesama pelayan/pemimpin sederajat lebih dari sekadar tugas dalam sebuah jabatan. Itu merupakan gaya hidup. (t/Berlin B.)

Diterjemahkan dari:

Nama situs : Ezine
URL situs : http://EzineArticles.com/8121252
Judul asli artikel : The Christian Philosophy of Leadership
Penulis : Roger Smalling
Tanggal akses : 9 Februari 2014
Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar