Apakah berakhir dengan baik itu?

Apa artinya berakhir dengan baik? Seorang pelari menyelesaikan pertandingannya, seorang wiraniaga melakukan penjualan, dan orang percaya berbisik saat itu hampir meninggal, "Aku tidak punya penyesalan; aku siap untuk bertemu dengan Allah." Semua itu adalah contoh yang bagus mengenai berakhir dengan baik.

Salah satu contoh terbaik dari penutupan yang sehat adalah Rasul Paulus dan pelayanannya di Efesus. Penutupan itu mengakhiri tiga tahun karya proyek, dan meliputi perubahan lokasi serta perubahan lingkungan. Bagaimana Paulus menutup pelayanannya di kota itu memberikan pelajaran yang berarti bagi kita mengenai akhir yang baik, dan juga definisi dari apa artinya berakhir dengan baik [1]."

Paulus telah menghabiskan tiga tahun pelayanan di Efesus, sebuah kota yang strategis di provinsi Asia Kecil. Ia menikmati pelayanan yang berbuah dari pengajaran dan penyebaran Injil yang luas di daerah itu. Namun tiba waktunya bagi dia untuk meninggalkan tempat itu untuk pergi ke Yerusalem. Untuk beberapa alasan yang tidak dikatakan kepada kita, Paulus merasa arah hidupnya ditetapkan di ibukota Yahudi. Ia harus pergi ke sana berapa pun harganya dan harus sampai ke sana sebelum hari raya Pantekosta (Kisah Para Rasul 20:16).

Ia benar-benar meninggalkan Efesus dan tiba di Miletus, kota lain kira-kira 50 kilometer jauhnya, ketika ia memutuskan untuk berbicara dengan para penatua di gereja Efesus. Ia mengirim surat kepada mereka, dan kenyataan bahwa mereka melakukan perjalanan ke sana untuk bertemu dengan Paulus mengatakan kepada kita mengenai hormat dan kasih mereka kepada sang rasul.

Pandangan dari Babak Akhir

Paulus mengungkapkan isi hatinya pada para pemimpin gereja tersebut. Dalam ucapan perpisahannya, kita temukan beberapa rahasia untuk mengakhiri dengan baik. Rahasia yang pertama terdapat pada kata-kata ini: "Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asalkan aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk bersaksi tentang Injil anugerah Allah (Kisah Para Rasul 20:22-24)."

Kita bisa menyebut hal ini nilai perspektif kehidupan. Bagi Paulus, hidupnya tidak penting baginya; hidupnya "tidak dihiraukan". Akan tetapi, kita harus membaca terus untuk mengetahui apa yang ia maksudkan: "asalkan aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan." Hidupnya tidak berarti baginya asalkan pertandingan terselesaikan dan tugas dituntaskan.

Tidak seperti kebanyakan dari kita yang fokusnya kerap kali tertuju pada kebutuhan hidup terdekat. Perhatian Paulus adalah pada hasil akhir hidup. Pertanyaannya adalah, "Bagaimana aku akan mengakhiri pertandinganku?" Fokusnya bukan pada hidupnya begitu saja. Ia tidak terperangkap pada banyak tuntutan hidup, begitu pula ia tidak tergoyahkan oleh banyaknya tuntutan hidup yang mendesak.

Fokusnya tertuju pada perspektif hidupnya yang total, pada bagaimana hidupnya akan dievaluasi oleh Allah pada akhirnya. Ia ingin mengakhiri pertandingan, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, untuk menutup dengan baik. Babak terakhir dan hasil akhir penting baginya.

Pada 1946, menyusul akhir Perang Dunia Kedua, seorang Yahudi yang merupakan tawanan perang menerbitkan sebuah buku tentang tahun-tahun di kamp konsentrasi Nazi. Pada bukunya, Viktor E. Frankl menggambarkan masa tawanannya sebagai "penderitaan demi penderitaan." Ia terus-menerus khawatir tentang apakah akan ada cukup makanan pada hari itu, apakah mandor yang sedang bertugas itu kejam, apakah ia dapat menemukan tali untuk mengikat sepatunya.

Hal ini berlangsung selama beberapa waktu. Pada suatu hari ia memutuskan bahwa cukuplah semua ini. Ia punya visi akan dirinya sendiri berdiri di auditorium yang terang, di hadapan ratusan orang yang duduk di kursi yang nyaman. Ia mengenakan setelan dan memberikan kuliah mengenai seperti apa hidup di bawah pemerintahan Hitler selama perang.

"Saya menjadi jijik dengan kondisi yang memaksa saya, setiap hari dan setiap jam, untuk memikirkan hal-hal yang sepele. Saya fokuskan pikiran saya untuk beralih ke hal lain. Tiba-tiba saya melihat diri saya berdiri di atas panggung ruang kuliah yang terang, hangat dan menyenangkan. Di hadapan saya duduklah para pendengar yang mendengarkan dengan saksama di kursi tinggi yang nyaman. Saya sedang memberikan kuliah mengenai psikologi di kamp konsentrasi!

"Semua yang menekan saya pada saat itu menjadi sesuatu yang objektif, terlihat dan digambarkan dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Dengan metode ini, saya berhasil bangkit dari situasi tersebut, melampaui penderitaan pada saat itu, dan saya melihatnya seolah-olah semua itu adalah masa lalu" [2].

Sejak hari Viktor Frankl melihat hasil akhir hidupnya, setiap pengalaman dipandang secara berbeda. Setiap pengalaman dipandang dari perspektif visinya. Setiap pengalaman, bagaimanapun berat dan menyakitkan, menjadi materi kuliahnya mengenai kehidupan di sebuah kamp konsentrasi di Jerman.

Seperti Paulus, ia berkata, "Aku menganggap penderitaan hidupku tak berarti bagiku jika saja aku memberikan kuliah itu dan memperingatkan umat manusia mengenai kekejaman perang." Rahasia pertama untuk berakhir dengan baik, terutama saat menghadapi keadaan yang sulit, adalah melihat dengan perspektif hidup yang benar, melihat masa kini dalam pemahaman akhir.

Berikut ini rahasia kedua dari Paulus untuk berakhir dengan baik. "Sekarang aku tahu bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi, kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Allah. Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu bahwa aku bersih dari darah siapa pun juga. Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu (Kisah Para Rasul 20:25-27)."

"Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga. Kamu sendiri tahu bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku. Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Lebih berbahagia memberi daripada menerima (Kisah Para Rasul 33:35)."

Paulus mengumumkan kepada para pemimpin di gereja Efesus bahwa ia tidak bersalah atas darah semua orang. Ia tidak ragu-ragu menyatakan kepada mereka seluruh penghiburan dari Allah. Lebih jauh lagi ia menyatakan bahwa ia tidak menginginkan emas, perak, atau baju orang lain, tetapi ia bekerja dengan tangannya sendiri untuk mencukupi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang-orang yang bersamanya.

Tidak Bersalah Atas Kematian Orang Lain

Pada masa itu, guru-guru palsu pergi dari satu tempat ke tempat lain dan penipu berbicara manis kepada para pendengar mereka untuk mendapatkan uang dari mereka. Setelah tiga tahun pelayanan, ia meninggalkan jemaat dengan nurani yang bersih bahwa ia sudah melakukan segala sesuatu secara legal. Ia tidak menyembunyikan apa pun dari mereka, tidak juga melakukan penipuan apa pun terhadap mereka. Maksud dan motivasinya murni dan tulus. Ia telah mempertahankan integritasnya.

Dengan kata lain, ia menjaga nuraninya bersih dalam segala hal yang ia lakukan. Itulah rahasia Paulus untuk berakhir dengan baik: bernilainya nurani yang bersih.

Nurani yang bersih adalah harta kehidupan yang sangat berharga. Kita tidak bisa secara sengaja merusak integritas kita sekaligus menjaga nurani yang bersih. Bukan berarti kita tidak melakukan kesalahan atau mengalami kemerosotan moral. Kita mengalami hal itu - tapi ketika hati nurani menolak, kita harus patuh pada nurani kita. Kita harus berdamai dengannya.

Hal ini berlaku di setiap wilayah dalam hidup kita, termasuk relasi. Paulus pasti telah melakukan dengan baik seluruh kewajibannya. Ia jelas tidak berutang apa pun kepada siapa saja. Tentu saja, kita tidak bisa melakukan segala sesuatu untuk setiap orang. Namun, ada orang-orang yang kita perhatikan: keluarga kita di rumah, staf kita di tempat kerja, tanggung jawab kita di gereja.

Beberapa tahun yang lalu seorang pendeta menolong seorang perempuan yang menderita gagal ginjal. Penyakit telah menggerogotinya. Karena dulunya ia orang yang bersemangat, perempuan itu kemudian jatuh dalam depresi yang hebat. Ia berhenti bekerja. Biaya untuk cuci darahnya menguras tabungannya, dan menjadi kesulitan besar dalam keluarganya. Teman-temannya terlalu sibuk untuk memerhatikannya. Hanya pendetanya yang meluangkan waktu untuk mengunjungi dan mendengarkan dia. Tak lama kemudian pendeta itu pun sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak lagi mengunjungi dia.

Pada suatu hari ketika kembali ke kantornya setelah pergi memenuhi sebuah janji, pendeta itu melihat sebuah keributan di blok apartemen terdekat. Orang-orang berkerumun. Ketika ia tiba di tempat kejadian, ia menemukan tubuh perempuan itu di atas genangan darah. Ia menjatuhkan diri dari bangunan itu, tangannya terlipat di depan dadanya, memegang Alkitab. Di situ tertulis suatu catatan yang mengatakan, "Setiap orang terlalu sibuk untuk memerhatikan saya. Saya adalah gangguan bagi setiap orang. Lebih baik saya mengakhiri hidup saya. Maafkan saya."

Hidup perempuan itu berakhir, tetapi luapan rasa bersalah mulai dirasakan oleh pendeta itu. Ia selanjutnya mengetahui dari keluarga perempuan itu bahwa pagi hari perempuan itu pergi mencarinya, tetapi ia tidak ada. Ia merasa seharusnya ia bisa mencegah peristiwa bunuh diri itu. Hubungan di antara keduanya tidak berakhir dengan baik. Kematian itu akan mengganggu nuraninya cukup lama.

Penyelesaian itu penting. Entah itu penyelesaian suatu relasi, akhir dari fase hidup, atau penyelesaian suatu proyek, kita ingin pergi dengan nurani yang bersih - bahwa kita melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Akhirnya, mari kita lihat rahasia ketiga dari Paulus untuk akhir yang baik.

"Sesudah mengucapkan kata-kata itu Paulus berlutut dan berdoa bersama-sama dengan mereka semua. Lalu menangislah mereka semua tersedu-sedu dan sambil memeluk Paulus, mereka berulang-ulang mencium dia. Mereka sangat berdukacita, terlebih-lebih karena ia mengatakan bahwa mereka tidak akan melihat mukanya lagi. Kemudian mereka mengantar dia ke kapal (Kisah Para Rasul 20:36-38)."

Kenyataan bahwa Paulus telah menyelesaikan dengan baik terlihat dari bagaimana para pemimpin gereja mengasihinya. Mereka berlutut bersama, mereka berdoa mereka menangis, mereka berpelukan dan berciuman - semua adalah tanda dari kasih yang besar dan ikatan yang mereka miliki. Dari waktu ke waktu kita harus membawa suatu fase hidup kita pada suatu akhir. Apakah kita mengakhirinya dengan baik atau tidak tergantung pada apakah kita meninggalkan teman-teman atau musuh-musuh.

Apa yang Kita Tinggalkan

Ken memimpin organisasi kristiani selama bertahun-tahun. Ia membangunnya selama tahun-tahun awal pembentukannya, dan memberikan kredibilitas serta reputasi. Setiap kali orang berpikir tentang organisasi itu, Ken yang diingat. Kemudian terjadilah suatu hal. Beberapa rekan kerjanya tidak senang dengan gaya kepemimpinannya. Mereka merasa kepemimpinannya terlalu sewenang-wenang, hampir bersifat diktator. Ketidaksenangan itu segera menyebar di antara para stafnya. Ken tidak menyadari keseriusan masalah tersebut dan tidak mengambil langkah-langkah untuk menanganinya.

Ketika ia akhirnya melihat situasi itu semakin parah, ia berusaha untuk menekan apa yang ia anggap pemberontakan terhadap kedudukan. Hubungannya dengan para koleganya menjadi rusak. Ia berkata kepada mereka: Yang pergi kalian atau saya. Pada akhirnya, dialah yang pergi. Akhir yang buruk menimbulkan banyak perasaan yang tidak enak. Saya tidak tahu apakah perpisahan semacam itu bisa dihindari. Barangkali, bisa. Ken bisa saja lebih menghargai para koleganya. Mereka bisa saja berpisah sebagai teman, bukan sebagai musuh.

Paulus menghargai orang. Ia mengasihi mereka dan melayani mereka. Ia kerap kali mengucapkan kata-kata keras kepada mereka. Ia tidak takut untuk menegur mereka. Ia menyatakan kepada mereka seluruh penghiburan dari Allah, yang berarti ia menyatakan baik bagian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dari Firman Allah. Ia mengingat mereka, dan sebagai gantinya, mereka mengingat dia. Rahasia ketiganya untuk mengakhiri dengan baik ditemukan dalam nilai dari persahabatan yang abadi. Di penutup setiap fase hidup kita, kita ingin meninggalkan teman.

Saya memiliki pengalaman yang sama ketika saya diundang oleh Haggai Institute untuk berangkat ke Maui, Hawaii, untuk merintis pusat pelatihan mereka yang kedua. Saya melayani gereja yang bersemangat dan bertumbuh di Singapura. Ketika Institute itu memberikan penawaran, saya telah melayani gereja tersebut selama hampir 17 tahun. Saya tumbuh di gereja itu sejak saya masih remaja. Saya mengenal jemaatnya dan mereka bangga kepada saya sebagai pendeta yang dibesarkan di gereja tersebut.

Salah satu perhatian saya adalah bagaimana para penatua dan jemaat akan memahami keputusan saya jika saya menerima penawaran itu. Akankah mereka melihat bahwa saya meninggalkan mereka untuk sesuatu yang lebih mempesona? Akankah mereka melihatnya saya mengejar agenda pribadi saya daripada melayani kebutuhan gereja? Saya menghabiskan banyak waktu untuk mendoakan hal ini. Saya menceritakan hal ini dengan beberapa teman dekat dan memohon doa dari mereka.

Ketika saya akhirnya memutuskan untuk pergi, saya menceritakan hal itu dengan semua penatua, dan jemaat. Banyak yang terkejut dan sedih. Namun ketika mereka sudah pulih, semua memberikan berkat bagi keluarga saya dan saya untuk melayani Allah dalam pelayanan yang lebih luas. Ketika kami pergi, kami mengalami kejadian yang mirip dengan Kisah Para Rasul 20. Kami berdoa, kami menangis, kami berpelukan. Kami membawa pelayanan di gereja yang sudah bertahun-tahun pada akhir yang baik. Itu menyakitkan bagi saya, istri saya dan anak-anak kami - tetapi kami meninggalkan teman.

Merayakan Kehidupan

Lalu apa definisi pekerjaan yang berakhir baik? Paulus menunjukkan kepada kita bahwa hal itu terdiri dari tiga elemen. Bagi Allah, itu berarti kesetiaan pada panggilan kita. Fokus kita bukan pada bagaimana kita hidup, tetapi pada bagaimana kita hidup supaya mengakhiri pertandingan dan menyelesaikan tugas yang diberikan Allah kepada kita.

Kedua, bagi diri kita sendiri, itu berarti nurani yang bersih. Kita telah melakukan tanggung jawab kita dengan integritas sehingga kita tidak memiliki alasan untuk merasa bersalah terhadap dendam yang tidak terselesaikan, kewajiban yang tidak terpenuhi, dan janji yang belum ditepati.

Akhirnya, berakhir dengan baik melibatkan relasi. Bagi orang lain, itu berarti nilai yang kita tempatkan pada orang lain, dan perbedaan yang kita buat dalam hidup mereka. Apa yang telah kita selesaikan di dunia ini akan diukur oleh kehidupan orang-orang yang sudah kita sentuh. Ketika kita meninggalkan dunia ini, apa yang akan kita tinggalkan?

Saya mengalami kejutan budaya ketika menghadiri upacara pemakaman di Hawaii untuk pertama kalinya. Saya terkejut oleh suasana yang sangat berbeda dari pemakaman ala budaya Cina yang kami alami di Singapura. Anggota keluarga dan para tamu memakai pakaian aloha yang cerah dan warna-warni. Alih-alih foto formal dari almarhum, foto-foto besar menunjukkan dia tersenyum, tertawa, bermain bersama keluarga dan teman-teman. Lagu-lagu gembira tentang pujian kepada Allah dinyanyikan, bukannya himne "penguburan" yang khidmat.

Kami hadir di sana justru lebih banyak untuk merayakan hidupnya, dan bukannya meratapi kematiannya. Barangkali, budaya Hawaii menangkap inti dari berakhir dengan baik. Kami berkumpul untuk mengungkapkan perpisahan kepada seseorang yang telah melakukan kehendak Allah, pergi tanpa penyesalan, dan meninggalkan warisan akan hidup yang diubahkan [3].

Akhirnya, contoh terbaik dari akhir yang baik - akhir yang sempurna adalah Tuhan Yesus sendiri. Di salib, Dia berseru, "Sudah selesai (Yohanes 19:30)." Sehari sebelumnya Dia mengucapkan doa kepada Bapa-Nya, "Aku telah memuliakan Engkau di bumi dengan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk Kulakukan (Yohanes 17:4)."

Yesus tidak pernah mengalihkan pandangan-Nya dari misi hidup-Nya. Dia dilahirkan untuk wafat. Dia hidup senantiasa dengan Kalvari di wawasan-Nya. Dia melihat segala sesuatu yang Dia lakukan dari perspektif akhir: untuk menyelesaikan tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya untuk dilakukan-Nya.

Bapa juga memberikan kepada-Nya orang-orang yang percaya. Dalam doa-Nya sebelum akhir hidup-Nya, Yesus berkata, "Selama Aku bersama mereka, Aku memelihara mereka dalam nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku; Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang binasa selain dia yang telah ditentukan untuk binasa, supaya digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci (Yohanes 17:12)." Ketika Yesus memberikan hidup-Nya kepada Bapa-Nya, Dia tahu bahwa Dia setia sampai akhir.

Hal yang sama berlaku dengan hubungan-Nya dengan para murid-Nya. Bahkan murid yang dikutuk untuk menghancurkan - Yudas Iskariot - diberi satu kesempatan terakhir untuk mengubah pikirannya sebelum ia membawa Yesus kepada para penangkap-Nya (Yohanes 12:21-30). Ketika ia memilih jalan pengkhianatan, dan pergi menembus malam, Yesus berpaling kepada para murid yang masih tersisa, dan berkata, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya." Dia memanggil mereka, tidak lagi "pelayan" melainkan "sahabat (Yohanes 15:13-15)."

Rasul Paulus sungguh-sungguh mengikuti jejak gurunya, Yesus. Paulus melihat kehidupan dari babak akhir, melakukan pekerjaannya tanpa menyesal, dan meninggalkan teman-teman. Kita yang ingin mengakhiri dengan baik seharusnya melakukan hal yang sama.

Referensi:

    • [1] Apa artinya "berakhir dengan baik" dengan baik juga dieksplorasi dalam buku karya Bob Buford berjudul Finishing Well: What People Who Really Live Do Diffrently (Brentwood, Tennessee: Integrity Publlisher, 2004). Buku itu berdasarkan wawancara dengan 60 orang.
    • [2] Victor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston, Massachusetts: Beacon Press, 1959), pp. viii-iv. Diterbitkan pertama kali di Austria, dengan judul "Ein Psycholog das Konzentrationslage, pada 1946.
    • [3] Dallas Willard mendefenisikan berakhir dengan baik sebagai "menjaga iman sampai akhir, terikat erat dengan tujuan Anda, dan membuat perpindahan yang halus ke dunia yang Anda ketahui akan datang berikutnya." Lihat Bob Bufold, Finishing Well, hal. 20.
    Diambil dari:
    Judul buku: Finishing Well
    Judul asli buku: Finishing Well, Closing Life's Significant Chapters
    Judul artikel: Hanya Sedikit yang Berahhir dengan Baik
    Penulis: David W. F Wong
    Alih Bahasa: C. Krismariana
    Penerbit: Yayasan Haggai Indonesia, Jakarta 2009
    Halaman: 10 - 19
    Kategori Bahan Indo Lead: 

    Komentar