Faktor Sosiologis dan Psikologis dalam Pelayanan di Jawa Barat

Spiritual Leadership > PEMURIDAN > Buku Panduan (Mentoring) > Belajar Bersama Mentor

Faktor Sosiologis Dan Psikologis Dalam Pelayanan Di Jawa Barat

Oleh S. Sidjabat

1. Profil Masyarakatnya

Masyarakat Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda, mempunyai ikatan keluarga yang sangat erat. Nilai individu sangat tergantung pada penilaian masyarakat. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, seperti terhadap perkawinan, pekerjaan, dll., seseorang tidak dapat lepas dari keputusan yang ditentukan oleh kaum keluarganya.

Dalam masyarakat yang lebih luas, misalnya dalam suatu desa, kehidupan masyarakatnya sangat banyak dikontrol oleh pamong desa. Pak Lurah dalam suatu desa merupakan "top leader" yang mengelola pemerintahan setempat, berikut perkara-perkara adat dan keagamaan. Selain pamong desa ini, masih ada golongan lain yang dapat dikatakan sebagai kelompok elite, yaitu tokoh-tokoh agama. Mereka ini turut selalu di dalam proses pengambilan keputusan-keputusan bagi kepentingan kehidupan dan perkembangan desa yang bersangkutan. Paul Hiebert dan Eugene Nida, menggambarkan struktur masyarakat yang demikian sebagai masyarakat suku atau agraris.1

Perbedaan status di antara kelompok elite dengan masyarakat umum dapat terjadi berdasarkan status kedudukan, pendidikan, ekonomi, prestige sosial dan kuasa. Robert Wessing, yang telah meneliti masyarakat Jawa Barat mengatakan bahwa ada kelompok "in group" dan "out group" dalam struktur masyarakat. Kaum memandang sesamanya sebagai "in group" sedang di luar status mereka dipandang sebagai "out group."2

W.M.F. Hofsteede, dalam disertasinya Decision-making Process in Four West Java Villages (1971) juga menyimpulkan bahwa ada stratifikasi masyarakat ke dalam kelompok elite dan massa. Elite setempat terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah dan pusat, guru, tokoh-tokoh politik, agama dan petani-petani kaya. Selanjutnya, petani menengah, buruh tani, serta pedagang kecil termasuk pada kelompok massa. Informal leaders, yaitu mereka yang tidak mempunyai jabatan resmi di desanya sangat berpengaruh di desa tersebut, dan diakui sebagai pemimpin kelompok khusus atau seluruh desa.3

Mentalitas, Kosmologi dan Pandangan Hidup

Masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang lebih memiliki afektif dominan, maksudnya, sensitif terhadap tata krama atau sopan santun dan perasa. Di samping itu, kecenderungan memperlihatkan sensitif humor juga nampak dalam pergaulan. Ottih Rostoyati dalam thesisnya Si Kabayan menyimpulkan bahwa pandangan hidup dan kepribadian Sunda diperlihatkan oleh tokoh tersebut.4M.A.W. Brouwer menyatakan kepribadian masyarakat Sunda ini sebagai berikut:

Jawa Barat mempunyai semua sifat baik dan buruk bangsa yang berkembang pada batas suatu kebudayaan yang kuat. Kecerdasan besar digabungkan dengan rasa rendah hati. Sifat optimis (dari orang yang menjadi penduduk daerah yang sangat subur dan kaya) diikutsertakan dengan ironi, humor dan kepandaian merelatifkan segala hal. Tradisi feodal menciptakan sikap jiwa orang yang harus mengabdikan diri tapi dengan kepintaran besar memelihara kepentingan diri sendiri. Memuji dan memberi hormat diseimbangkan di belakang punggung pembesar dengan pengamatan tajam terhadap sobekan-sobekan dalam pakaian kebesaran raja-raja. Jiwa sabar yang hanya perlu menunggu sampai padi menjadi beras. Sangat peka terhadap persahabatan dan persaudaraan. Jiwa orang dari kebudayaan agraris lekas percaya dan karena itu gampang ditipu. Sangat fleksibel. Orang Sunda sanggup menyesuaikan diri pada modernisasi ...5

Persepsi tentang dunia ini, dipercayai dipenuhi oleh roh-roh dan kuasa (cosmic power). Kuasa -kuasa ini mempengaruhi kehidupan seseorang dalam segala aspek, termasuk pertanian, perjalanan, karier, dunia usaha, keluarga dan masyarakat setempat. Tidak mengherankan bila masih terdapat keyakinan atas mitos-mitos, seperti, Dewi Sri, Nyai Loro Kidul, dll.

Adat atau lebih dikenal sebagai "tali paranti," diyakini sebagai jalan menuju pulang ke asal. Upacara-upacara adat ini meliputi kehidupan siklus seseorang, dari sejak seseorang dikandungan hingga ia meninggal seribu hari. Kalau tidak dilakukan maka takut kalau kehidupan tidak mendapat berkah.

Tokoh-tokoh adat seperti paraji, wali puhun dan kuncen mendapat peranan penting dalam tata laksana upacara adat. Hajat atau slamatan yang merupakan faktor dalam ikatan sosiologis dijalankan oleh tokoh-adat seperti paraji atau wali puhun. Selain itu, upacara-upacara untuk berhubungan dengan roh-roh halus dan yang telah meninggal juga merupakan hal penting. Kuncen dan roh-roh itu dianggap sebagai pengantara antara manusia dengan Allah. Wessing menggambarkan sebagai berikut:6

Awal atau perbuatan baik sangat mendominasi pandangan hidup yang diwarnai oleh ajaran Islam. Demikian halnya dengan keyakinan akan nasib dan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Ini merupakan pandangan hidup yang pasih di hadapan Allah. Manusia hanya dapat bersifat dan bersikap "mudah-mudahan" di hadapan Allah, sebab Allah telah menentukan segalanya bagi manusia.

2. Hambatan Sosiologis Terhadap Pekabaran Injil

Hambatan-hambatan sosiologis terhadap pekabaran Injil ini tidak lepas dari strategi pekabaran Injil pada mulanya. Pertama, masyarakat Sunda masih menganggap bahwa kekristenan itu adalah agama asing, atau agama Belanda. Alasan yang dapat diperkirakan terhadap anggapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

1) Kegiatan misi aktif setelah 3½ abad Islam berkembang di daerah masyarakat Sunda. Misi mulai aktif sekitar tahun 1863, sedang Islam telah berkembang sejak tahun 1579, yaitu setelah Sunan Gunung Jati mengalahkan Kerajaan Pajajaran.

2) Kebanyakan masyarakat Sunda pada waktu itu di pedalaman. Hanya sekitar 8½ % berada di kota.

3) Faktor feodalisme dalam struktur masyarakat. Golongan elite yang dekat dengan Belanda menekan mereka yang responsif. Penjajah Belanda tidak mau ambil pusing jika terjadi keributan maka mereka bersikap pasif.

4) Kekeliruan misionaris terdahulu. Menurut Kraemer, mereka tidak memikirkan pendekatan dari sudut masyarakat Sunda. Dengan kata lain, kurang memberi perhatian untuk mempelajari kebudayaannya. Para petobat diisolasikan dari saudara-saudara mereka, sehingga masyarakat menganggap orang Kristen telah "masuk Belanda."

5) Pendekatan gereja dalam pembinaan pada masa kini menyerap pola misionaris terdahulu.7

Kedua, hambatan itu datang juga dari adat-istiadat. Prof. Harsojo mengatakan bahwa sekalipun Islam menjadi agama Sunda, tetapi pola dan cara hidup sehari-hari masih banyak diwarnai oleh pandangan hidup animisme dan dinamisme.8Kraemer mengatakan bahwa Islam merupakan mahkota adat. Artinya, Islam melapisi adat yang menjadi akar bagi pandangan hidup masyarakat Sunda.9Mintardja Rikin menyebutnya sebagai "tali paranti."10

Adat selain berfungsi magis dan relijius, juga berfungsi sosiologis. Lurah merupakan tokoh pemimpin juga dalam acara-acara adat. Sebab itu, bila seseorang tidak melakukan seperti yang dikehendaki masyarakat setempat, akan mendapat tantangan berat. Bahkan kalau orang Islam yang menolak adat pun juga dikucilkan.11Itulah sebabnya Kraemer bertanya, "Siapakah yang mau meninggalkan adatnya?" Dengan kata lain, adat merupakan "stumbling block" terhadap Injil.12

Ketiga adalah kontrol sosial, dari keluarga maupun dari golongan elite dan informal leaders. Jika seorang anak/pemuda/I menjadi Kristen, itu berarti durhaka terhadap orang tua. Ia akan kena kutuk oleh keluarga, saudara-saudara dan teman-teman. Pamong desa bisa memberi tekanan berupa hinaan, pukulan, menakut-nakuti, mengancam, mengusir dari desa tersebut, dll. Tokoh-tokoh agama mengejeknya kafir. Gotong royong bisa dilaksanakan pada hari Minggu dan tempatnya jauh supaya si orang Kristen tidak sempat beribadah. Kalau tidak diikuti maka dicap "pemberontak negara." Iuran-iuran pajak dicari-cari apakah sudah bayar atau belum agar dapat mempersalahkan bahwa orang Kristen melawan pemerintah. Mereka yang bertobat itu sering harus menghadap Pamong Desa dan mendapat intimidasi. Ditekankan kepada mereka bahwa tidak ada orang Sunda sebagai pendahulu Kristen. Kontrol sosial selanjutnya bisa berupa boikot terhadap warung atau dagangan maupun terhadap pekerjaan.

Pola berpikir agraris di desa yang masih memegang prinsip gotong royong membuka kesempatan untuk menekan mereka yang mencoba menonjol atau berbeda pandangan dari kelompoknya. Koentjaraningrat mengatakan bahwa orang yang dikucilkan itu dianggap sebagai "deviants."13Jadi, orang-orang Kristen merupakan "deviants" bagi masyarakat Sunda.

3. Hambatan-Hambatan Psikologis

Sebenarnya, hambatan psikologis ini muncul sebagai akibat faktor sosiologis di atas. Akan tetapi, yang lucu dimaksudkan di sini adalah faktor mentalitas atau kepribadian masyarakatnya.

Pertama adalah ketakutan. Alasan penolakan terhadap Injil bisa disebabkan takut akan dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat; dihinakan dengan ejekan dan kata-kata kotor serta kutukan; tidak ada yang memperdulikan nanti bila ada kepentingan-kepentingan; diintimidasi oleh kelompok elite dan informal leaders; diceraikan; diboikot; tidak ada yang mau menikah dengannya kelak dan takut kalau pekerjaan bisa dicopot.

Kedua adalah rasa malu dan bersalah. Masyarakat Sunda sangat perasa dan tidak jarang mudah tersinggung. Maka, sifat membuat seseorang yang sudah bertobat itu merasa salah karena dipermalukan dan dihina. Ia merasa salah kalau betul jalan yang sedang dipilihnya itu salah, bukan jalan yang direstui oleh Tuhan, sebab banyak tantangannya. Bagi masyarakat Sunda, dihina itu merupakan hal yang memalukan. Sebab itu gengsi harus dijaga supaya masyarakat tidak merendahkan status.

Ketiga, sikap mental yang tidak jarang mengatakan "ya" di hadapan penginjil, tetapi "tidak" di belakangnya. Pak Dixon mengatakan bahwa sukar memahami pernyataan masyarakat Sunda ini.14Sikap fleksibel memang bermanfaat sekali. Akan tetapi karena sikap ini maka petobat-petobat baru menjadi tidak teguh pada keputusan yang telah mereka ambil. Dengan kata lain, mereka ikut arus saja.

Keempat adalah faktor moralitas yang antara lain terhadap perkawinan dan seks. Neil Grinheim pernah mengatakan bahwa moral-weakness ini menjadi masalah besar setelah pertobatan seseorang.15Moral-weakness ini mencakup memandang materi sebagai dasar harga diri. Maka, tidak jarang apabila seorang petobat setelah menjadi Kristen dan tidak berkembang secara material, meninggalkan Kristus. Jadi, materi sering menjadi alasan seseorang Sunda menjadi Kristen.

Kelima adalah faktor politis, yang menyebabkan kaum elite tidak toleran terhadap Kekristenan. Islam tidak dapat atau sukar dipisahkan dari politik PPP.16

4. Pemikiran Terhadap Pengkomunikasian Injil

Pak Neil Grinheim mengatakan bahwa pelayanan terhadap masyarakat Sunda meliputi dua tahap penting, yaitu pelayanan penginjilan dan pendewasaan iman (edification). Beliau mengatakan bahwa sering kali berita yang disampaikan oleh penginjil tidak kena pada kehidupan masyarakat Sunda itu sendiri.17Atas dasar pemikiran di atas maka berikut ini penulis mengemukakan beberapa pemikiran sebagai strategi dalam pelayanan.

Pertama, pelayanan yang menyangkut pengkomunikasian Injil bagi pertobatan. Perlu memikirkan pendekatan "felt needs," yaitu yang berkaitan dengan hal-hal yang sedang dirasakan atau digumuli. "Felt needs" ini merupakan points of contact bagi masuknya Injil yang dapat memberi jawaban. Beberapa contoh felt needs, misalnya:

a) ingin bebas dari ikatan atau pengaruh roh-roh jahat.

b) ingin mendapatkan berkah dalam kehidupan ini.

c) ingin mendapat prestige sosial yang layak & harga diri.

d) ingin mendapatkan kesembuhan dari sakit penyakit.

e) ingin bebas dari akibat dosa atau kesalahan masa lampau.

f) ingin bebas dari kebiasaan-kebiasaan najis.

g) ingin agar hasil panen atau peternakan yang memadai.

Keinginan-keinginan ini merupakan jalan masuk ke pembicaraan Injil saja. Masih banyak lagi hal-hal yang berupa felt needs yang dirasakan oleh mereka yang sedang dilayani itu.

Kedua, konfrontasi lewat diskusi agama boleh dikatakan kurang bermanfaat bagi kebanyakan masyarakat Sunda. Pak Simamora mengatakan bahwa hal itu akan membawa ketersinggungan yang dapat menghambat komunikasi. Sebab bila mereka tidak dapat memberi jawaban maka rasa tersinggung dan marahlah hasilnya.18

Ketiga, diperlukan waktu untuk membina persahabatan. Dengan demikian pelayanan itu membutuhkan kesabaran yang mengikuti afektif domain mereka. Kesaksian hidup yang nyata dan dapat disaksikan jauh lebih berbicara sebelum Injil disampaikan.

Keempat, memberi pendekatan terhadap kaum elite yang dapat diharapkan mencapai massa. Mencapai orang tua dituntut oleh struktur masyarakat yang ada.

Pelayanan yang menyangkut pendewasaan iman memerlukan berita yang relevan dan kena pada situasi yang dihadapi. Hal-hal dasar sangat ditekankan. Fakta-fakta Alkitab lebih banyak diajarkan sebelum menceritakan makna maupun implikasinya. Strategi perlu mencakup "truth encounter," "power encounter," dan "empirical encounter."19Ketiganya harus ada dan dibutuhkan.

Yang terakhir adalah masalah status dan peranan penginjil. Sesuai dengan struktur sosial yang ada, maka perlu bila penginjil itu orang yang telah berkeluarga. Lebih baik lagi bila orang tua. Mereka lebih didengar dan disegani. Itinerant evangelist, menurut Pak Kardi jauh lebih baik mencapai desa-desa, yang berperan sebagai pedagang.20Peranan lain yang dimainkan oleh pelayan-pelayan itu adalah sebagai pelajar, gembala dan model hidup.

CATATAN AKHIR

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 
AttachmentSize
faktor_sosiologis_sikologis.doc64 KB

Komentar