Pemimpin Meluangkan Waktu Untuk Hal Penting
Diringkas oleh: Dian Pradana
Pertanyaan bagi kebanyakan pemimpin bukanlah apakah mereka sibuk, tetapi apakah mereka sibuk melakukan pekerjaan yang tepat. Jika tidak berhati-hati, seorang pemimpin mungkin bahkan tidak menyadari bahwa mereka melakukan pekerjaan yang kurang penting. Karena itu, seorang pemimpin yang bijak sebaiknya menjadwalkan kegiatan yang penting dalam kalender mereka. Berkenaan dengan hal itu, setidaknya ada empat bidang kehidupan yang perlu diprioritaskan seorang pemimpin.
Pemimpin Menjadwalkan Waktu yang Tidak Terburu-Buru dengan Allah
Waktu yang dipakai di hadirat Allah tidak pernah sia-sia. Semua yang harus dikerjakan pemimpin rohani harus mengalir dari hubungannya dengan Allah. Visi untuk organisasi dan agenda harian mereka berasal dari Allah, yang menentukan nilai organisasi mereka dan membimbing dalam pemilihan pegawai. Jika pemimpin rohani kehilangan orientasinya kepada Allah, mereka membahayakan organisasi mereka.
Banyak pemimpin yang dengan mudah membiarkan kegiatannya menghalangi waktu mereka dengan Allah. Bukannya meluangkan waktu yang berkualitas dan tidak terburu-buru di hadapan Bapa, mereka memilih membaca kilat sebuah buku renungan, lalu berdoa dengan buru-buru sambil lari ke ruang rapat. Allah tidak mau dihina. Apa yang orang tabur, itu yang mereka tuai (Gal. 6:7). Jika pemimpin berusaha melakukan pekerjaan dengan kekuatan dan hikmatnya sendiri, mereka akan mencapai hasil menurut apa yang mungkin dicapai oleh kekuatan dan hikmat mereka. Jika pemimpin menanti-nantikan Tuhan, mereka akan melihat apa yang Allah mampu lakukan.
Raja Saul jatuh ketika dia lari dari agenda Allah (1 Sam. 13:5-14). Bangsa Israel sedang menghadapi pasukan Filistin di Gilgal. Allah telah memerintahkan Saul untuk tidak bertempur dahulu sebelum Samuel datang dan menyampaikan korban bakaran bagi Tuhan. Saul menunggu 7 hari dan melihat situasinya makin memburuk. Serdadu-serdadunya, karena takut akan musuhnya yang begitu banyak, mulai meninggalkannya. Saul menginginkan perlindungan dan kuasa Allah untuk pasukannya, namun dia tidak sabar menunggu lebih lama lagi untuk menerima berkat itu, jadi dia mempersembahkan sendiri korban itu. Samuel langsung muncul dan memarahi raja yang arogan itu. Saul memenangkan pertempuran hari itu, tetapi ketidaksabarannya akan membuatnya kehilangan kerajaannya dan hidupnya.
Pemimpin rohani sebaiknya belajar dari kesalahan Saul. Sedikit pemimpin rohani yang dengan jujur menanyakan kebutuhan mereka untuk meluangkan waktu berdoa. Tetapi, gaya hidup mereka akan menunjukkan bahwa mereka tidak suka meluangkan banyak waktu untuk bersekutu dengan Allah. Ia menyingkapkan kebenaran-Nya berdasarkan persyaratan-Nya, bukan persyaratan manusia. Sering kali, calon pemimpin rohani keluar dengan cepat dari hadirat Allah sebelum Ia berbicara. Pemimpin rohani yang bijak tetap berada dalam doa selama diperlukan sampai mereka yakin mereka telah mendengar dan mengetahui kehendak Allah. Kuncinya bukan apakah pemimpin meluangkan waktu bersama Allah, tetapi apakah waktu bersama itu tidak terburu-buru dan cukup panjang untuk Allah menyatakan kehendak-Nya kepada mereka (Yes. 64:4). Mungkin saja Allah akan mengatakan lebih banyak kepada para pemimpin jika saja mereka mau memberi-Nya waktu lebih banyak!
Pemimpin Menjadwalkan Waktu Teratur, yang Berkualitas dengan Keluarganya
Salah satu akibat parah dari usaha pemimpin untuk mengejar sukses adalah mengabaikan keluarga mereka. Pemimpin begitu fokus memimpin organisasi sehingga mengabaikan hubungan terpenting mereka. Karena memikul tanggung jawab terbesar untuk organisasi, sering kali mereka sulit untuk rileks dan memerhatikan keluarga mereka, bahkan saat sedang tidak bekerja. Sayangnya, pendeta Kristen sering mengabaikan keluarga mereka dengan pandangan yang salah bahwa melayani Tuhan menuntut mereka untuk berbuat begitu.
Lee Iacocca, mantan CEO Chrysler, mencatat: "Beberapa orang beranggapan bahwa makin tinggi jabatan Anda di perusahaan, Anda juga harus makin mengabaikan keluarga Anda. Salah! Sebenarnya, orang yang di atas punya kebebasan dan fleksibilitas untuk meluangkan cukup banyak waktu dengan keluarga mereka."
Iacocca benar; pemimpin memiliki kebebasan dan fleksibilitas jika saja mereka mau memakainya. Tetapi pemimpin harus kreatif dalam menghabiskan waktu bersama keluarga. Misalnya, para gembala yang sibuk hampir setiap malam dapat mengatur untuk ada di rumah pada pagi hari -- makan pagi bersama keluarga dan mengantar anak-anak ke sekolah. Mereka dapat mengatur jadwal makan siang istimewa bersama salah satu anaknya atau dengan istrinya secara bergiliran, sehingga dapat mengobrol berduaan saja. Tekanan untuk pemimpin itu sering kali muncul bukan dari organisasi, tetapi dari dalam diri mereka sendiri. Bukannya kantor yang memberikan tuntutan yang berlebihan kepada pemimpin, mereka sendirilah yang merasa terdorong untuk terus bekerja saat mereka seharusnya berada di rumah. Beberapa pemimpin enggan untuk ada di rumah pada jam yang tidak biasa karena takut akan dianggap malas atau tidak dapat mengatasi tekanan pekerjaan. Pemimpin seperti itu harus menentukan priorita s mereka dan kemudian mengadakan perubahan yang diperlukan untuk melindungi prioritas ini.
Pemimpin bijak akan menjadwalkan waktu yang teratur, berkualitas, dan tidak boleh diganggu gugat saat sedang bersama keluarga. Mereka sengaja mengatur waktu bertemu pasangannya atau menghadiri acara anak-anak mereka. Mereka melindungi privasi rumah tangga dan tidak membawa pekerjaan ke rumah jika memungkinkan. Pemimpin yang bijak berusaha berada di rumah saat makan bersama keluarga dan tidak menerima telepon saat berada dalam acara istimewa keluarga.
Pemimpin yang perseptif juga memahami bahwa ada hal-hal yang lebih penting di dalam hidup ini selain pekerjaan mereka. Ketika pemimpin rohani diwawancara untuk pekerjaan baru, mereka akan kritis bertanya guna mengetahui pandangan perusahaan tentang keluarga. Pemimpin bijak menyadari gaya hidup perusahaan yang seperti apa yang merusak keluarga. Pemimpin rohani tahu bahwa semua kemajuan karier yang mereka raih tidak ada artinya jika keluarga mereka berantakan. Banyak pemimpin cerdas menolak pekerjaan yang menggiurkan namun mengharuskannya banyak bepergian karena ia tahu bahwa keluarganya membutuhkan kehadirannya. Banyak pemimpin menolak kenaikan jabatan dengan tanggung jawab dan tekanan semakin besar karena mereka tahu bahwa hal itu dapat merusak keluarga. Pemimpin seperti itu memahami bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting, dan mereka pun berusaha mengelola jadwalnya untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan tersebut.
Pemimpin Mengatur Waktu Untuk Kesehatan Mereka
Beberapa pemimpin bekerja keras menghidupkan organisasi sehingga mereka kehabisan tenaga untuk mempertahankan kesehatannya sendiri.
Dr. Richard Swenson, dalam bukunya "Margin: Restoring Emotional, Physical, Financial and Time Reserves to Overloaded Lives" (Ambang Batas: Memulihkan Cadangan Emosional, Keuangan, dan Waktu ke Kehidupan yang Terlalu Kelebihan Beban), menjelaskan bahwa orang itu ada batasnya. Jika orang menjalani kehidupan mereka hingga mencapai ambang batas ketahanan mereka, entah itu dalam bidang keuangan, waktu, tidur, atau kesehatan emosional mereka, mereka itu hidup dalam risiko tinggi. Layaknya mobil yang selalu dipacu dengan kecepatan tinggi dan tidak dirawat, tubuh manusia akan tumbang jika selalu didorong hingga melebihi ambang batasnya.
Swenson berkeyakinan bahwa orang harus memberi ruang (batas) dalam hidup mereka untuk krisis atau kesempatan yang tidak disangka. Jika selalu kekurangan tidur, tubuh akan menderita. Orang tidak mungkin terus-menerus mengalami berbagai kejadian yang menguras emosi mereka tanpa memulihkan emosi itu melalui hal-hal seperti hobi, persahabatan, liburan, atau tertawa. Orang yang selalu memaksimalkan pengeluarannya hingga batas kemampuan mereka setiap bulannya, sedang mengundang kebangkrutan. Pun orang yang tidak menyisakan waktu untuk interupsi yang tidak disangka-sangka, sedang mempersiapkan diri untuk mengalami krisis. Pemimpin yang tidak pernah menyediakan waktu untuk bersantai, sedang menuju kepada kehancuran yang pasti akan terjadi. Ambang batas adalah sejumlah cadangan waktu, uang, tenaga, dan kekuatan emosional yang orang pertahankan agar tetap sehat.
Herannya, banyak sekali pemimpin yang menjalani kehidupan tanpa batas. Mereka tidak tahan kalau menganggur atau tidak produktif; tempat kosong dalam agenda mereka dianggap sebagai tempat-tempat ideal untuk memulai proyek baru. Allah tidak pernah merencanakan hal seperti itu. Sejak awal, Allah telah menekankan kebutuhan akan istirahat (Kej. 2:2-3).
Yesus memahami bahwa ada saat-saat Dia harus beristirahat dan menyendiri. Setelah melayani orang banyak sepanjang hari, Yesus dan murid-murid-Nya sengaja mencari pemulihan (Mrk. 6:45). Pada permulaan minggu terakhir pelayanan Yesus di dunia, Dia membiarkan Lazarus, Marta, dan Maria melayani-Nya (Yoh. 12:1-3). Pada malam klimaks penangkapan dan penyaliban-Nya, Yesus makan malam bersama dengan murid-murid-Nya yang terdekat (Luk. 22:7-13).
Memerhatikan kesehatan adalah masalah pragmatis bagi pemimpin. Pemimpin yang terlalu gemuk cenderung lebih mudah lelah; yang kebiasaan makannya tidak baik, kurang tidur, dan tidak berolahraga, lebih sering sakit. Orang yang tidak sehat tidak seproduktif orang yang sehat. Pemimpin tidak perlu terlalu terobsesi dengan kebugaran fisiknya, tetapi pemimpin yang mengabaikan masalah kesehatannya pada akhirnya sama saja dengan memilih untuk tidak begitu efektif padahal sebenarnya mereka mampu lebih baik. Pemimpin yang gagal merawat tubuhnya, berisiko mengalami kejatuhan.
Pemimpin yang sehat paham bahwa humor penting bagi kesehatan mental. Pemimpin sadar bahwa ia bertanggung jawab memberi semangat positif kepada organisasi mereka. Jika ingin bawahan mereka senang bekerja dengan mereka, pemimpin harus mengembangkan sukacita di tempat kerja.
Pemimpin Menjadwalkan Waktu Untuk Orang Banyak
Pemimpin biasanya dikelilingi banyak orang. Mereka cenderung menikmati keberadaan orang lain. Lincoln menghabiskan hampir seluruh waktunya menerima orang di Gedung Putih. Pemimpin rohani seperti James Dobson dan Billy Graham telah dengan bijak melibatkan orang-orang saleh lain, baik pria maupun wanita, dalam peranan penting di pelayanan mereka. Orang yang lebih senang bekerja sendiri, atau yang susah bergaul dengan orang lain, mungkin tidak cocok menjadi pemimpin.
Pemimpin harus selalu ingat bahwa tanpa bawahan, mereka bukan pemimpin. Mereka mungkin administrator yang mengelola organisasi besar, tetapi mereka bukan pemimpin. Untuk menjadi pemimpin, orang harus menginvestasikan waktunya dengan orang lain, yang mungkin sulit dilakukan oleh pemimpin yang tugasnya banyak sekali. Mereka bisa saja melihat bawahan sebagai pengganggu pekerjaan, bukan inti dari pekerjaan mereka. Pekerjaan kepemimpinan adalah pekerjaan untuk orang. Di mana pun berada, pemimpin sejati meletakkan bawahan mereka di tempat tinggi dalam daftar prioritas mereka.
Suatu pengajaran yang populer dalam teori kepemimpinan adalah Prinsip Pareto, atau Prinsip 20-80. Teori ini menyatakan bahwa 20% dari orang di dalam organisasi biasanya menghasilkan 80% dari hasil pekerjaan. Pendukung prinsip ini berpendapat bahwa karena itu 80% dari waktu pemimpin harus diinvestasikan pada 20% orang-orang itu. Layaknya prinsip kepemimpinan yang lain, Prinsip Pareto memang berbicara tentang pengalaman banyak organisasi, tetapi kita harus berhati-hati dalam menerapkan prinsip ini.
Benar bahwa investasi waktu pemimpin pada beberapa orang membawa hasil yang lebih besar dibandingkan jika waktu yang sama diinvestasikan pada orang-orang lain. Orang yang bekerja keras untuk organisasi dan yang mudah diajar memang layak mendapat perhatian pemimpin. Apalagi, keterkaitan dengan orang-orang seperti itu akan menguntungkan bagi orang itu maupun organisasi. Jika pemimpin menginvestasikan waktu pada orang-orang yang termotivasi dan ingin belajar, orang-orang ini punya kesempatan untuk menonjol dan mencapai potensi maksimum mereka. Jika beberapa orang telah mencapai apa yang Allah rancangkan, mereka juga dapat memberi inspirasi kepada orang-orang lain dalam organisasi. Terkadang para gembala dengan sia-sia memakai banyak waktunya untuk membangkitkan jemaat yang kedagingan atau apatis ketika sebetulnya mereka dapat jauh lebih membantu gerejanya jika mereka memuridkan jemaat yang ingin bertumbuh dewasa dalam iman.
Pemimpin tidak boleh membiarkan anggota organisasi yang paling kurang motivasinya menjadi teladan bagi yang lain. Sebaliknya, pemimpin harus menolong orang-orang yang dapat diajar untuk mencapai yang terbaik sehingga orang-orang lain dalam organisasi dapat melihat apa yang mungkin dicapai dan dapat mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. Pemimpin yang bijak juga mengaitkan pengikut yang bertumbuh dan produktif dengan mereka yang membutuhkan dorongan. Mereka melakukan hal ini karena tahu kekuatan organisasi tergantung pada apakah setiap anggota berhasil melakukan tugasnya dengan sukses atau tidak (Ef. 4:16).
Alkitab menunjukkan bahwa Yesus sering memusatkan perhatian-Nya pada beberapa orang yang terpilih. Jelas ada waktu ketika Yesus mengajar orang banyak. Tetapi pada waktu lain, Dia mengajar kedua belas murid sesuatu yang tidak disampaikan-Nya kepada orang banyak (Mat. 10; 13:10-17; Mrk. 7:17-23). Ada saatnya juga Yesus berkumpul dengan murid-murid-Nya yang terdekat -- Petrus, Yakobus, dan Yohanes -- dan mengajar lebih jauh lagi dalam masalah rohani (Luk. 9:28; Mat. 26:37-38). Yesus terkadang menginvestasikan waktu-Nya pada seorang murid saja (Yoh. 20:27; 21:15-19). Mengapa Yesus begitu memilih dalam menyampaikan kebenaran ilahi yang mengubahkan kehidupan? Dia tahu bahwa beberapa orang lebih siap menerima ajaran-Nya dan akan bertindak berdasarkan ajaran itu daripada orang-orang lain. Dengan menginvestasikan waktu-Nya di kelompok kecil seperti kedua belas murid-Nya, Yesus sedang mempersiapkan untuk saat ketika orang seperti Petrus akan menjadi pemimpin yang pen uh kuasa. Karena Yesus mau meluangkan waktu menolong Petrus berkembang sebagai pemimpin, maka Petrus nantinya juga akan memengaruhi banyak orang untuk mengikut Kristus.
Banyak pemimpin mengalami frustrasi karena menginvestasikan banyak waktu untuk orang-orang yang tidak mau atau tidak bisa melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Sementara itu, mereka yang bekerja keras dalam organisasi itu terabaikan karena pemimpinnya berusaha menguatkan anggota yang tidak termotivasi, yang mengeraskan hati.
Tetapi ada bahaya yang samar dalam menerapkan Prinsip 20-80 ini. Bagi pemimpin rohani, yang terpenting bukan tugas, tapi orang. Peran utama pemimpin rohani bukannya hanya menyelesaikan tugas, tetapi membawa bawahan mereka ke tempat yang dikehendaki Allah. Untuk ini, seorang pemimpin harus mampu melihat di mana Allah sedang bekerja dalam kehidupan orang-orang itu dan kemudian ikut serta dengan Allah dalam kegiatan itu. Pemimpin rohani harus peka dengan apa yang sedang dikerjakan Allah dalam kehidupan bawahan-Nya. Jika seseorang apatis atau menentang Allah, sedikit sekali yang pemimpin dapat kerjakan untuk mengubah sikap orang itu. Pemimpin yang terus-menerus menginvestasikan banyak waktu bagi mereka yang menolak untuk melaksanakan kehendak Allah, telah memakai waktu mereka dengan tidak bijak. Sebaliknya, jika Allah sedang bekerja dalam kehidupan orang-orang tertentu, maka adalah tanggung jawab pemimpin untuk menginvestasikan waktu dan tenaga untuk menolong o rang-orang itu bertumbuh. Karena hanya Allah yang tahu apakah seorang anggota yang lemah akan menanggapi secara positif perhatian pemimpin, Allah yang menentukan agenda pemimpin itu. Pemimpin tidak pernah menyerah menghadapi bawahannya. Mereka menginvestasikan waktunya dengan bijak antara mereka yang bertumbuh dan produktif serta mereka yang tidak bertumbuh dan tidak produktif.
Diringkas dari: