Memimpin Seperti Musa
Dalam keluarga yang tidak sehat di mana relasi suami-istri buruk, masalah anak yang sekecil apa pun berpotensi untuk berkembang akibat tidak adanya kerangka yang dapat menahan lajunya perkembangan masalah. Itu sebabnya, peran pemimpin sangatlah penting. Di setiap organisasi bisa saja timbul masalah dan di setiap organisasi akan ada anggotanya yang memiliki keunikan serta berpotensi bermasalah. Namun, jika pemimpin berfungsi dengan efektif, masalah akan dapat ditangani dengan segera dan sehat. Musa harus memimpin umat Israel dalam kondisi kehidupan yang sangat sulit dan untuk kurun waktu yang panjang. Ada baiknya kita menimba pelajaran dari pengalaman Musa ini.
1. Adanya Panggilan
Tuhan memanggil Musa dan mengutusnya untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, "Jadi sekarang pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir." (Keluaran 3:10) Di sini, kita bisa melihat bahwa kepemimpinan Musa berawal dari panggilan Tuhan. Empat puluh tahun sebelumnya, Musa mencoba menyelamatkan bangsanya. Namun, itu bukanlah waktu dan cara Tuhan. Bagi Musa, 40 tahun yang lalu sewaktu ia berada di Mesir adalah kesempatan terbaiknya, tetapi ternyata itu bukanlah waktu Tuhan. Dari sini, kita bisa menimba satu pelajaran: Kesempatan tidak identik dengan waktu Tuhan! Kendati ada kesempatan, kita tidak boleh langsung berasumsi bahwa Tuhan menghendaki kita untuk melakukannya, apalagi dalam kapasitas memimpin. Terlalu banyak masalah muncul akibat ambisi pribadi untuk menduduki kursi kepemimpinan.
2. Adanya Misi
Bukan saja Tuhan memanggil Musa, Tuhan pun memberinya suatu tugas, yaitu membawa umat Tuhan keluar dari Mesir. Di ayat sebelumnya, Tuhan menjelaskan mengapa Ia memanggil Musa, "Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka." (Keluaran 3:9) Setiap orang yang dipanggil Tuhan untuk memimpin mesti melihat dan menyadari misi yang Tuhan embankan. Tanpa misi, kepemimpinan menjadi tanpa arah. Dalam tugas kepemimpinannya, seorang pemimpin harus jelas dengan misinya sehingga ia dapat mengarahkan dan membawa pengikutnya berjalan bersamanya sampai pada penggenapan misi itu. Banyak pemimpin memulai dengan misi yang jelas, tetapi kemudian berubah santai. Jika tidak ada lagi misi, sebaiknya pemimpin mengundurkan diri agar Tuhan dapat memakai yang lain.
3. Adanya Kesiapan
Tuhan memilih Musa setelah mempersiapkannya terlebih dahulu. Pada penggalan pertama hidupnya, Musa digembleng ilmu kenegaraan dan peperangan di Mesir; pada penggalan kedua hidupnya, Musa mengalami bentukan karakter, yakni kasih dan kesabaran. Pada penggalan ketiga, barulah Tuhan memakai Musa. Seorang yang merasakan panggilan menjadi pemimpin haruslah melihat tangan Tuhan yang telah mempersiapkannya. Dan, kita yang hendak memilih seorang pemimpin juga harus menilai kesiapan orang tersebut. Pada dasarnya, kesiapan terdiri dari dua unsur: kemampuan dan karakter. Ada pemimpin yang memiliki kemampuan, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan. Ia akan merusak orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, ada orang yang tidak mempunyai kemampuan, tetapi mempunyai karakter yang mendukung. Ia akan menimbulkan kekacauan.
4. Adanya Kesalehan
Apa pun yang Musa lakukan, ia selalu mendasarkannya di atas firman Tuhan. Sewaktu ia berhadapan dengan Firaun, ia menyampaikan firman Tuhan. Sewaktu ia harus berhadapan dengan gejolak di tengah bangsanya, ia pun kembali kepada firman Tuhan. Tidak heran, kita melihat sebuah "dwikepemimpinan", yaitu Tuhan dan Musa. Pemimpin yang efektif berjalan di atas rel firman Tuhan dan bergaul akrab dengan-Nya. Sewaktu pemimpin mulai jauh dari Tuhan, ia akan makin sering memunculkan gagasan yang berasal dari ambisi pribadi dan kehilangan sentuhan dengan kepentingan Tuhan. Ia makin sulit menerima masukan dari pihak lain karena ambisi pribadilah yang lebih berperan. Makin kita dekat dengan Tuhan, makin kita tidak menggenggam posisi maupun pendapat pribadi.
5. Adanya Kasih dan Ketegasan
Berulang kali, Musa harus menghadapi pemberontakan bangsanya dan semua ia hadapi dengan kasih dan ketegasan. Ia mengasihi Israel; itu sebabnya, ia melarang Tuhan memusnahkan bangsanya. Namun, ia pun tegas kepada mereka yang bersalah; ia tidak ragu menghukum orang yang bersalah. Pemimpin yang tidak mengasihi pengikutnya akan terus memobilisasi mereka demi kepentingannya. Pemimpin yang mengasihi pengikutnya memikirkan kepentingan mereka dan bersedia berkorban bagi mereka. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mengasihi justru terus meminta pengikutnya untuk berkorban seolah-olah bagi kepentingan bersama, tetapi sesungguhnya untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin juga mesti tegas; tanpa ketegasan ia akan menuai kekacauan. Sekali pemimpin tidak tegas, pengikut akan mulai kehilangan respek dan arah. Pada akhirnya, pengikutnya akan berbuat sekehendak hati.
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) |
Alamat situs | : | http://telaga.org/berita_telaga/belajar_kepemimpinan_musa |
Judul asli artikel | : | Belajar Kepemimpinan Musa |
Penulis | : | Pdt. Paul Gunadi |
Tanggal akses | : | 24 Juli 2017 |
KUTIPAN
"Tidak ada orang yang mau dipimpin oleh seorang yang tidak memiliki kelebihan."
— Robby I. Chandra