KONFLIK: API PENYUCIAN DALAM KEPEMIMPINAN
Dua bayangan muncul dengan cepat dalam pikiran saya sewaktu seseorang meminta saya
menggambarkan kepemimpinan dan konflik -- Musa dan Nehemia -- yaitu Edwin Musa dan Rinaldo
Nehemiah.
Anda masih ingat orang-orang ini? Edwin Musa adalah pelari gawang 400 meter yang terhebat di dunia.
Selama lebih dari satu dasawarsa, dia tidak pernah kalah. Di tahun 1976, dia memenangkan sebuah
medali emas di Olimpiade Montreal. Rinaldo Nehemiah adalah pelari gawang 100 meter kelas dunia.
Yang menarik, dua lelaki tersebut adalah pelari-pelari yang kuat, tetapi banyak pelari yang lebih kuat.
Keduanya adalah pelari yang cepat, tetapi ada banyak juga yang lebih cepat.
Jadi mengapa Musa dan Nehemia selalu menang? Mereka memunyai kemampuan yang unik untuk
mengantisipasi, mendekati, dan mengatasi rintangan-rintangan -- yaitu pelari-pelari gawang lainnya.
Musa dan Nehemiah adalah pelari-pelari yang hebat, seperti Musa dan Nehemia yang merupakan
pemimpin-pemimpin hebat dikarenakan oleh rintangan-rintangan.
Dengan kata lain, rintangan-rintangan membuat mereka hebat. Seperti rintangan-rintangan mencetak
pelari, maka konflik menetapkan pemimpin. Untuk menetapkan kepemimpinan, pertama kali kita harus
memahami sifat-sifat konflik.
Suatu masalah yang besar dalam gereja sekarang ini adalah bahwa kita memberikan definisi
kepemimpinan jauh terlalu luas dan hampir selalu tidak menghargai peran konflik dalam pelaksanaan
fungsi kepemimpinan. Para pemimpin diperlukan meskipun disebabkan oleh konflik. Di Amerika, orang-
orang Kristen telah memeluk dua pandangan yang salah mengenai konflik yang secara negatif
memengaruhi bagaimana kita memahami kepemimpinan. Pandangan yang pertama, melihat konflik
dalam arti dosa. Yang kedua, melihat konflik dalam arti kekuatan. Pandangan-pandangan ini jarang
diungkapkan, tetapi masing-masing pandangan didasarkan pada serangkaian pegangan yang mendalam.
Sering kali asumsi-asumsi yang tidak didasari asumsi inilah yang menuntun perilaku.
Mereka yang melihat konflik sebagai dosa memfokuskan pada emosi yang disebabkan oleh konflik.
Takut menyakiti orang lain, karenanya konflik dihindari seperti menghindari dosa. Orang-orang enggan
berkonfrontasi, marah, tidak setuju, atau melukai hati. Mereka seperti pelari-pelari yang menemukan
gawang dan berhenti, mengharapkan gawang itu hilang, atau seperti pelari-pelari yang mengelilingi
gawang, dan tidak melompatinya, sehingga mengganggu pelari-pelari lain yang sementara lari.
Ironisnya, tentu saja, sikap tersebut meningkatkan hal-hal yang sedang mereka coba untuk hindari.
Konflik yang tidak terpecahkan tidak hilang begitu saja. Konflik makin terpecah-pecah, menghasilkan
luka yang lebih dalam. Seorang "pemimpin" yang tidak mau menghadapi konfrontasi bukanlah seorang
pemimpin.
Yang sangat berlawanan adalah mereka yang memandang konflik sebagai suatu cara untuk membentuk
kekuatan dan membentuk kedudukan -- untuk menunjukkan siapa bos itu. Di mana pandangan yang
pertama itu pasif dan mendamaikan, sedangkan pandangan yang kedua agresif dan otoriter. Orang-orang
yang memegang pandangan ini adalah seperti pelari yang menyerang dan menendang setiap gawang
sampai jatuh, menjebloskan diri sendiri, dan mengganggu setiap orang yang mau bangun kembali.
Setiap masalah dan perselisihan pendapat menyalahgunakan hal rohani untuk membuktikan "saya benar"
dan "kamu salah". Perbedaan-perbedaan yang paling kecil menjadi ujian. Perbedaan ini menciptakan
suatu budaya konfrontasi di mana ketakutan dan rasa bersalah mengontrol perilaku. Ini adalah satu jenis
aliran Farisi yang menunjukkan loyalitas dan otonomi lebih daripada menjadi hamba dan komunitas.
Seorang "pemimpin" yang tidak mau melayani bukanlah seorang pemimpin.
Kedua pandangan itu memunyai berbagai dasar kebenaran, konflik sering kali akibat dari dosa, akibat
dari hidup di dunia yang berdosa ini. Meskipun demikian, tidak semua konflik adalah dosa. Agaknya
dosa membuat konflik itu perlu, dan memecahkan konflik memerlukan kepemimpinan yang diarahkan
oleh Roh Kudus. Tentu saja, kuncinya adalah otoritas rohani, bukan kekuasaan manusia. Otoritas rohani
berbeda dalam sifat dan hakikatnya dari jenis kekuatan dan pengontrolan yang biasa kita pikirkan, dan
terlalu sering kita andalkan untuk kepemimpinan dalam gereja.
KONFLIK DALAM ALKITAB
Konflik dalam pemahaman Alkitab, merupakan suatu tempat pertandingan, arena tempat musuh untuk
bertanding. Kata Yunani untuk konflik adalah "agon", yang kita ambil dari bahasa Inggris "agony".
Rasul Paulus menuliskan, "Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan
Roh berlawanan dengan keinginan daging -- karena keduanya bertentangan -- sehingga kamu setiap kali
tidak melakukan apa yang kami kehendaki." (Gal. 5:17) Paulus mengatakan bahwa kehidupan
merupakan tempat pertandingan rohani, "karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging,
tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu
dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." (Ef. 6:12)
Bagi Paulus, konflik merupakan bentrokan antara kebenaran Tuhan dengan kebijaksanaan dunia, antara
otoritas rohani dan kekuatan manusia. Pandangan ini menunjukkan pandangan umum mengenai
kekuatan pada permukaannya saja. Salib, "Suatu batu sandungan bagi orang-orang Yahudi dan
kebodohan untuk orang-orang bukan Yahudi." (1 Kor. 1:23), menjadi titik balik sejarah dan sandi dari
otoritas yang sejati. Pesan Paulus kepada jemaat di Korintus muncul "tidak dengan kata-kata hikmat dan
meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada
hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah." (1 Kor. 2:4,5). Ini menggemakan apa yang Tuhan
firmankan kepada Zerubabel, "Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan
dengan Roh-Ku." (Zak. 4:6)
Dalam Alkitab, konflik sangat menyumbat kepercayaan. Ini merupakan ketegangan yang kreatif antara
hukum dan anugerah, dosa dan pengampunan, keadilan dan belas kasihan. Ini dimulai dan diakhiri
dengan cerita keselamatan, dari Taman Eden ke Golgota, dan pengrusakan terhadap bait Allah sampai
ke Yerusalem Baru.
Pengertian ini mengubah pandangan kita. Sekarang, konflik adalah kesempatan untuk menunjukkan
suatu realitas baru dalam Kristus. Kepemimpinan juga merupakan suatu proses, bukan suatu kedudukan;
kepemimpinan adalah belajar dan melayani, bukan mengontrol.
Konflik menawarkan pada kita kesempatan untuk bertumbuh, untuk mengubah pemikiran-pemikiran
kita, dan untuk menciptakan tanggung jawab baru berdasarkan kebenaran Tuhan yang difirmankan. Ini
membuka pintu bagi keseluruhan rangkaian asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip yang baru bagi
kepemimpinan rohani, termasuk dua asumsi yang membuat dasar bagi bab ini. Asumsi pertama, konflik-
konflik itu perlu. Yang kedua, kepemimpinan merupakan suatu panggilan dan karunia.
KONFLIK ITU PERLU
Jika kematian dan pajak-pajak merupakan dua hal pertama yang pasti dalam kehidupan, maka konflik
merupakan hal ketiga. Kehidupan memerlukan konflik. Konflik merupakan bagian pokok dari rencana
penebusan Tuhan. Melalui konflik, kita mengetahui kebutuhan kita, mengakui dosa, mengenal
kebenaran, dan menguji iman kita.
Pikirkan tentang di mana kita akan berada, sebagai contoh, jika Nuh tidak membuat bahtera dalam
"ketakutan yang suci"; jika Musa tidak menentang Firaun atau membuat dalih di hadapan Tuhan untuk
melindungi Israel yang bersikeras; jika Yosua tidak bergerak di sekitar Yerikho, atau Rahab tidak
menyembunyikan mata-mata; jika Gideon, Simson, Daud, Yesus, dan pengikut-pengikut Kristus
sepanjang 2000 tahun sejarah sejak Kalvari telah menghormati, pendapat manusia lebih daripada
kehendak Allah. Cerita tentang iman kita memerlukan konflik. Dengan konflik, kita belajar dan
bertumbuh.
Hanya dengan memercayai Allah melalui sakit, ketidakpastian, dan perlawanan, maka kita membuktikan
kehendak-Nya dan mendemonstrasikan kuasa-Nya. Kepemimpinan rohani berarti membuat keputusan-
keputusan yang meliputi dua hal, yaitu menyebabkan konflik dan memecahkan konflik. Keputusan
seorang pemimpin untuk mengerjakan suatu hal atau untuk menjalankan satu cara harus menjadi suatu
keputusan untuk tidak melakukan hal-hal yang lain atau menjalankan cara yang berlawanan.
Pengertian Alkitab mengenai konflik mengubah pandangan kita. Bahaya berubah menjadi kesempatan.
Kepemimpinan menjadi seni dalam menemukan kebenaran dan menaati Yesus.
Ini selanjutnya mengubah cara dalam pendekatan konflik. Konflik menjadi suatu proses belajar.
Konfrontasi dan penghindaran diganti dengan penemuan dan dialog. Daripada menanyakan bagaimana
keluar dari konflik, kita dapat bertanya lebih mendalam, dengan pertanyaan yang lebih relevan, "Apakah
menjadi pengikut Kristus harus melalui konflik?"
Diambil dan disesuaikan dari:
Judul buku : Leaders On Leadership
Judul bab : Konflik: Api Penyucian dalam Konflik
Penulis
: George Barna
Penerbit : Gandum Mas, Malang 1997
Halaman : 305 -- 310