Paskah: Kebenaran Atau Tradisi?
Paskah itu kebenaran atau tradisi? Bagi sebagian orang mungkin ini hanyalah sebuah pertanyaan retorik. Jawabannya sudah pasti: kebenaran. Bukankah Paulus berkata, "Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu (1 Korintus 15:17)." Bagi banyak orang, tradisi selalu berkonotasi negatif, suatu kebiasaan tanpa makna, atau kebiasaan lahiriah yang kehilangan makna.
Akan tetapi, saya ingin mengajak Anda memikirkan pertanyaan ini lebih dalam lagi. Apakah betul pertanyaan ini harus memakai kata sambung atau, seolah-olah kita harus memilih salah satu? Jika Paskah adalah kebenaran, berarti Paskah bukanlah tradisi, dan sebaliknya. Bagi saya, pertanyaan ini semu, sebab kita tidak harus memilih salah satu dari keduanya. Itu sebabnya, menempatkan kata sambung "dan" mungkin lebih tepat. Paskah merupakan kebenaran yang ditradisikan dan tradisi yang menyaksikan kebenaran.
2 Tesalonika 2:13-14 membahas kebenaran yang berpusat pada pernyataan anugerah Allah yang paling jelas dalam kebangkitan Kristus. Ketika Paulus berbicara tentang "kemuliaan Yesus Kristus, Tuhan kita", yang dimaksudkannya adalah kemuliaan Kristus. Kabar baiknya adalah bahwa kita boleh mengalaminya pula. Kebangkitan Kristus menjadi kebangkitan kita. Ada masa depan yang tersedia bagi kita. Itu sebabnya, 1 Korintus 15 memakai struktur yang sangat jelas. Setelah berbicara soal kebangkitan Kristus, Paulus berbicara tentang kebangkitan kita.
Dalam 2 Tesalonika 2:15, Paulus mengatakan bahwa ajaran tentang kebangkitan itu diberikan "baik secara lisan maupun tertulis". Artinya, baik melalui tradisi maupun Kitab Suci, keduanya diperlukan. Itu sebabnya, penganut agama Kristen berusaha mentradisikan kebenaran Paskah. Kita melangsungkan kebaktian setiap hari Minggu (diambil dari kata 'dominggo', dalam Bahasa Portugis, yang berarti "hari Tuhan"). Ada pula teknik perhitungan kapan Paskah akan diperingati. Kemudian, ada tahun liturgi yang dimulai dengan Rabu Abu, lima minggu pra-Paskah, Minggu Sengsara, Jumat Agung, dan Paskah. Ini semua merupakan tradisi. Kita menerimanya dengan rela. Padahal, itu semua tradisi.
Namun, tentu saja, tradisi dapat bermakna negatif, yaitu ketika dipelihara sekadar secara lahiriah sehingga kemudian kita kehilangan makna serta pesan utamanya. Inilah yang dikritik secara tajam oleh Paulus dalam 2 Timotius 3:5. "Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakikatnya mereka memungkiri kekuatannya." Apakah Paskah bisa terjebak dalam tradisi semacam ini? Bisa, bahkan sangat mungkin terjadi, yaitu ketika kita memperingati Paskah tanpa mengalami dampaknya di dalam hidup kita. Jika demikian, apa itu kebenaran Paskah?
Pertama, kesedihan tidak pernah permanen. Saya mengenal seorang ibu yang kehilangan anak tunggalnya ketika sang anak berlatih dalam sebuah latihan balap mobil. Bertahun-tahun ibu ini tidak bisa melepaskan kesedihannya. Saya tidak bertemu dengan ibu ini selama lima tahun. Namun, pertama kali kami bertemu lagi, ia mengatakan bahwa sekarang ia sudah tidak sedih. Paskah berarti kesedihan alami, tetapi tidak perlu permanen sebab selalu ada pengharapan.
Kedua, Paskah juga berarti kekecewaan tidak pernah permanen. Ada dua orang pemuda yang bersahabat dan masing-masing memiliki kekasih. Dalam minggu yang sama, pacar dari kedua orang ini sama-sama memutuskan mereka. Pemuda pertama sangat kecewa. Ia pergi dengan sebuah taksi menuju Brooklyn Bridge, lalu menjatuhkan diri ke bawah dan mati. Sementara itu, pemuda satunya, pulang ke rumah dan menulis sebuah lagu. Keesokan harinya, ia pergi ke sebuah studio rekaman dan menawarkan nyanyiannya. Nyanyian itupun diterima sehingga ia mendapatkan jutaan dolar. Lagunya yang berjudul "Goodnight, Irene" membuat pemuda ini menjadi sangat terkenal. Kekecewaan tidak pernah permanen karena selalu ada harapan dan solusi.
Ketiga, dosa seberat apa pun tidak pernah permanen. Banyak orang bergumul dengan "bad habits" dan dosa yang sangat berakar. Paskah menawarkan berita bahwa kita bisa berubah. Seseorang pernah menelepon saya. Ia tidak mau menyebutkan namanya, sekalipun saya tahu dari suaranya. Ia mengeluh karena hidupnya penuh masalah bertubi-tubi. Setelah lama mengeluh, ia terdiam dan terisak. Akhirnya, ia berkata, "Apakah ini akibat dosa saya belasan tahun lalu karena saya melakukan aborsi?" Saya pun menjawab, "Tuhan kita tidak seperti itu. Ia mengampuni Ibu belasan tahun lalu. Sekarang, Ibu perlu mengampuni diri Ibu sendiri."
Tiga kebenaran ini sebenarnya menjadi pantulan dari kebenaran yang paling utama dari Paskah: kematian tidak pernah permanen. Paskah adalah peristiwa matinya kematian. Ia bukan titik akhir, melainkan koma, di dalam kehidupan orang percaya. Maut telah kehilangan sengatnya, kata Paulus. Itulah kebenaran Paskah, dan berita ini sungguh-sungguh permanen. Karenanya, mari kita mentradisikan kebenaran dan kabar baik ini. Lewat hidup, karya, dan pelayanan kita.
Download Audio: Paskah Kebenaran atau Tradisi
Diambil dan disunting dari:
Judul buku | : | Raja yang Menderita |
Judul bab | : | Paskah Kebenaran atau Tradisi (1 Korintus 15:17; 2 Tesalonika 2:13-15) |
Penulis | : | Joas Adiprasetya |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta 2012 |
Halaman | : | 19 -- 22 |