Praktik Kepemimpinan Rohani
Apakah kepemimpinan, khususnya kepemimpinan pastoral, merupakan praktik rohani? Dorothy Bass mendefinisikan praktik sebagai "kegiatan yang dilakukan bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, serta kegiatan yang diolah bersama-sama untuk menciptakan suatu cara hidup."
Apakah kepemimpinan dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia?
Pemimpin-pemimpin yang efektif akan mengajak komunitas, jemaat, dan institusi-institusi untuk turut membahas masalah-masalah mereka yang sangat berat dan rumit. Pemimpin juga menggerakkan mereka untuk menghadapi tantangan-tantangan mereka yang terpenting. Dalam hal ini, kepemimpinan memang memenuhi kebutuhan dasar manusia -- kebutuhan kita untuk menanggapi tantangan. Apabila tidak ada seseorang atau sekelompok orang yang berjiwa pemimpin, maka komunitas ataupun jemaat akan lumpuh.
Craig Dykstra menambahkan, "Praktik adalah aktivitas manusia yang melaluinya kita bertumbuh dan berkembang dalam hal substansi dan karakter moral, sebagai individu dan komunitas. Jika kepemimpinan merupakan sebuah praktik, maka kepemimpinan bukan hanya membentuk mereka yang dipimpin, tetapi juga orang-orang yang memimpin."
Kepemimpinan pastoral merupakan kebutuhan dasar manusia. Kepemimpinan ini membentuk karakter moral kita. Namun, kepemimpinan jenis ini tidaklah mudah, sebab pemimpin harus melakukan sesuatu yang berisiko tinggi dan berbahaya. Kepemimpinan sejati tidak hanya memengaruhi komunitas agar mengikuti visi sang pemimpin, namun kepemimpinan itu juga memampukan komunitas untuk menghadapi tantangan-tantangan terberatnya dan menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Pemimpin, sebagai orang yang memiliki visi, sering mengalami banyak tekanan. Dalam hal ini, visi pribadi itu tidak berasal dari seseorang, melainkan berasal dari Allah melalui orang-orang yang telah dipilih-Nya.
Musa merupakan seorang pemimpin teladan -- dia menggerakkan umat Israel untuk menghadapi tantangan mereka yang paling berat dan sukar. Seperti yang dikatakan oleh Ron Heifetz dari Fakultas Pemerintahan Kennedy Universitas Harvard, Musa memimpin sebuah perjalanan "perubahan adaptif" -- sebuah perjalanan yang dapat mengakibatkan risiko dan kerugian, perubahan hati dan pikiran, kesediaan meninggalkan dunia dan jalan yang lama, dan digantikan dengan pengenalan akan suatu dunia yang baru. Perjalanan itu mengharuskan kita memercayai kekuatan yang melebihi diri kita sendiri. Hakikat transformasi memerlukan dan dihasilkan dari kepemimpinan rohani.
Kepemimpinan tidak sama dengan keahlian, walaupun keduanya kadang-kadang disamaartikan. Orang-orang ahli memiliki kemampuan teknis dan peralatan-peralatan. Sampai di sini, tidak ada yang salah mengenai hal itu. Namun demikian, mereka tidak turut mendorong orang-orang untuk menghadapi kerugian, risiko, dan kepercayaan. Orang-orang seperti ini lazimnya menghindari tantangan pekerjaan yang lebih sukar dengan melengkapi diri dengan menyibukkan diri mereka dengan peralatan dan teknik tercanggih. Orang ahli melakukan pekerjaan untuk kita; pemimpin melakukan pekerjaan dengan kita.
Lima periode kehidupan Musa menggambarkan lima aspek kepemimpinan yang berbeda sebagai sebuah praktik rohani. Dalam beberapa contoh di bawah ini, saya mengacu pada istilah-istilah yang digunakan oleh Heifetz agar kita bisa lebih mendalami serta dapat menyebutkan dengan tepat aspek-aspek kepemimpinan yang merupakan praktik rohani.
1. Pergi ke balkon.
Di dalam Keluaran 3:3 Musa diceritakan bertemu dengan Allah pada semak belukar yang menyala. Heifetz mengatakan bahwa seorang pemimpin perlu "pergi ke balkon", untuk melangkah mundur agar dapat melihat dengan jelas keadaan sekitarnya. Pemimpin jemaat yang "terperangkap" dengan kehidupan jemaatnya perlu untuk mundur sejenak agar dapat melihat dengan jernih apa yang sedang terjadi, termasuk apa peranan mereka di dalam pelayanan. Hal itu tentu saja berisiko. Melalui kisah ini, Musa mulai melihat apa yang sedang perbuat Allah dalam dan melalui situasi yang tampaknya tidak memunyai jalan keluar tersebut.
2. Dipanggil menjadi pemimpin.
Sebelumnya, Musa pernah mencoba menjadi pemimpin, dengan ikut campur tangan di tengah-tengah perselisihan ketika ia melihat seorang Israel dipukul oleh seorang Mesir. Tetapi tindakan spontan dan memalukan ini merupakan kepemimpinan yang berasal dari kekuatan pribadi semata yang berasal dari dunia ini. Sekarang Musa telah menerima mandat atas kepemimpinannya; kepemimpinannya bukan lagi berasal dari dirinya sendiri melainkan dari Allah dan dari panggilan Allah. Tugas ini bukan gagasannya sendiri, sebagaimana yang Yesus katakan kepada para muridnya, "Bukan kamu yang memilih Aku, Akulah yang memilih kamu."
3. Berserah kepada Allah.
Setelah umat-Nya berjalan melewati Laut Merah, pekerjaan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Lalu berkatalah Musa: "Jika memang TUHAN yang memberi kamu makan daging pada waktu petang dan makan roti sampai kenyang pada waktu pagi, karena TUHAN telah mendengar sungut-sungutmu yang kamu sungut-sungutkan kepada-Nya -- apalah kami ini? Bukan kepada kami sungut-sungutmu itu, tetapi kepada TUHAN" (Keluaran 19:8). Orang Israel mulai mengeluh kepada Musa dan Harun. Orang yang pernah menjadi pemimpin pasti pernah merasakannya. Bukan hanya kita pernah mendengarnya, namun kita terkadang pernah mengatakannya pada diri kita sendiri, "Mengapa aku tidak meninggalkannya saja? Bagaimana jika mereka benar?"
Musa berusaha untuk menjaga agar masalah yang ada tidak menjadikan dirinya sebagai masalah yang baru. Dengan kata lain, Musa tidak menjadi mengambil hati perlawanan yang terjadi. Para pengikutnya ingin mempermasalahkan kepemimpinannya. Tentu saja, pemimpin kadang-kadang berbuat salah atau bersikap manipulatif sehingga harus dikoreksi, namun masalah yang sebenarnya ialah bagaimana belajar memercayai penyertaan Allah dan kekuatan Allah yang menjaga umat-Nya. Sesungguhnya berulang kali, Musa menyebutkan berapa harga yang dipertaruhkan di sini -- bukan makanan atau kepemimpinannya, melainkan belajar beriman dan mengenal Allah.
Musa tidak mau terjebak ke dalam perangkap mereka; ia menyatakan inti dari masalahnya, dan mengalihkan perhatian mereka kepada tindakan nyata yang harus mereka lakukan. "Bukan kepada kami sungut-sungutmu itu, tetapi kepada TUHAN," ujarnya. Pernyataan itu, tentu saja, dapat disalahgunakan, baik untuk menanamkan stigma atau menimbulkan rasa bersalah. Dengan mengetahui adanya risiko itu, para pemimpin harus mengedepankan permasalahan yang terpenting dalam kelompok itu dan tidak terpengaruh pada sungut-sungut mereka, walaupun beberapa orang ingin menghubungkan masalah tersebut dengan diri pribadi pemimpin. Musa tidak mengambil hati segala konflik dan perlawanan yang ada di hadapannya. Konflik yang terjadi bukanlah tentang dia, namun tentang Allah dan rencana Allah untuk membuat suatu bangsa yang mengenal dan melayani Allah.
Di dalam bagian lain di kitab Keluaran, umat Israel mengeluh tentang kekurangan air. Sekali lagi, Musa mengarahkan perhatian mereka bukan kepada dirinya sendiri melainkan kepada Allah. Dan Allah menanggapi tindakannya dengan memakai diri Musa.
"Maka Aku akan berdiri di sana di depanmu di atas gunung batu di Horeb; haruslah kaupukul gunung batu itu dan dari dalamnya akan keluar air, sehingga bangsa itu dapat minum" (Keluaran 17:6). Di dalam kisah ini ada dua elemen kepemimpinan sebagai praktik rohani yang saling berhubungan. Seorang pemimpin memimpin. Pada waktu tertentu, pemimpin harus mau maju ke depan, mengambil risiko, dan mulai memimpin. Dalam Keluaran pasal 17, Musa bukan hanya mengambil risiko kepemimpinan, tetapi ia juga teguh berdiri walaupun menghadapi banyak perlawanan. Apakah yang lebih berisiko dibanding memukul batu di padang gurun dan berharap agar air akan mengalir dari batu tersebut?
Kejadian ini merupakan sebuah metafora yang kuat untuk tetap teguh di tengah gejolak perlawanan. Jangan remehkan keteguhan hati sebagai salah satu kualitas kepemimpinan yang berharga. Kebanyakan komunitas sosial akan menguji pemimpinnya untuk melihat apakah mereka benar-benar setia pada perkataan mereka, apakah mereka akan teguh, dan tidak kehilangan emosi. Jika jemaat dan komunitas tersebut menyadari bahwa sang pemimpin akan terus bertahan, akan terjadi perubahan dan langkah-langkah selanjutnya akan menjadi mungkin.
4. Mengembalikan tanggung jawab.
Salah satu kualitas kepemimpinan sebagai praktik rohani dinyatakan oleh Heifetz bahwa para pemimpin harus "mengembalikan tanggung jawab". Ini adalah bagian yang penting sekaligus menantang dalam praktik kepemimpinan rohani. Yang menarik dalam Keluaran 33:16 adalah bahwa Musa mengembalikan tanggung jawab itu bukan kepada orang-orang (hal itu dilakukannya dalam peristiwa yang lain), melainkan kepada Tuhan. Ini juga merupakan sebuah kemampuan yang patut dimiliki oleh para pendeta dan merupakan bagian dari praktik kepemimpinan rohani. Para pendeta perlu sekali-kali mengingatkan Tuhan, "Ini adalah umat-Mu. Ini merupakan rencana-Mu!"
Dalam Keluaran 33:16, Musa berkata kepada Allah, "Dari manakah gerangan akan diketahui, bahwa aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, yakni aku dengan umat-Mu ini? Bukankah karena Engkau berjalan bersama-sama dengan kami, ...?" Tidak lama sebelum itu, umat Israel menari-nari di depan lembu emas, dan kemudian Allah berkata, "Sudahlah! Aku akan pergi. Aku muak dengan bangsa bebal ini." Musa di sini mengingatkan, "Bangsa ini adalah umat-Mu." Pemikiran di balik pernyataan itu ialah, "Mereka bukanlah umat-Ku; ini bukan merupakan rencanaku."
Jika ada kalanya kita perlu untuk mengembalikan tanggung jawab kepada orang-orang, apakah tidak ada kalanya kita perlu menyerahkan kembali tanggung jawab kepada Allah; untuk membiarkan Allah menjadi Allah, untuk berseru kepada Allah untuk melakukan tugasnya sebagai Allah? Apakah tindakan yang berani ini juga merupakan bagian dalam praktik kepemimpinan rohani?
5. Akhir dari kepemimpinan.
Pada bagian akhir kitab Ulangan, setelah Musa panjang lebar menasihati umat Israel di perbatasan Tanah Perjanjian, dia mendaki Gunung Nebo dan melihat Tanah Perjanjian dari kejauhan. Sampai di situlah ia boleh memandangi Tanah Perjanjian. Kitab Ulangan menuliskan, "Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN. Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini" (Ulangan 34:6)
Bagian akhir yang ganjil sekaligus menyedihkan untuk sebuah kisah yang sedemikian panjang dan mulia! Musa tidak diizinkan masuk ke Tanah Perjanjian. Tetapi sekali lagi, peristiwa ini menyangkut inti dari praktik kepemimpinan rohani: Kepemimpinan bukan tentang sang pemimpinnya. Kita mungkin diberi kesempatan memimpin satu bab di dalam cerita kehidupan ini, namun cerita tersebut tetap milik Allah.
Namun demikian, dalam hal inilah, bahwa kepemimpinan paling merupakan sebuah praktik kerohanian. Kepemimpinan memerlukan transformasi, suatu sikap mematikan diri sendiri. "Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Galatia 2:20). Hidup ini bukan tentang diri Anda, melainkan tentang pekerjaan-Nya, tentang Allah sendiri, dan impian Allah.
Hal ini bukan berarti seorang pemimpin harus mematikan egonya. Seorang pemimpin membutuhkan ego yang kuat (bukan ego yang besar; bedakan kedua hal ini). Pernyataan "kepemimpinan bukanlah tentang Anda" tidak berarti Anda tidak memperhatikan diri sendiri, tidak menyadari kebutuhan dan emosi Anda. Pemimpin harus memerhatikan diri mereka. Kesadaran diri, bukan pementingan diri sendiri.
Seperti jenis praktik yang lain, kepemimpinan sebagai praktik rohani memiliki banyak tuntutan, namun sekaligus sama menjanjikannya serta sama-sama transformatif. Kepemimpinan memenuhi kebutuhan pokok manusia: kebutuhan komunitas, jemaat dan institusi untuk menyelesaikan tantangan dan masalah-masalah mendesak yang mereka hadapi yang ditimbulkan karena perubahan lingkungan dan budaya. Kepemimpinan membantu orang memahami keadaan yang baru dan tugas yang baru. Selain itu, kepemimpinan adalah praktik yang dapat membentuk karakter moral dan dapat memperdalam substansi kepribadian. Kepemimpinan merupakan suatu pekerjaan yang baik dan berkenan di hadapan Tuhan. (t/Uly)
Diterjemahkan dan dirangkum dari: