Konsep Diri yang Alkitabiah
Diringkas oleh: Dian Pradana
Dunia ini semakin egois. Bahkan, Rasul Paulus mengatakan bahwa "manusia akan mencintai dirinya sendiri ... daripada menuruti Allah" (2 Tim. 2:3,4). Satu hal yang jelas dan nyata adalah bahwa kita semua menjadi egois dan terikat dengan kata-kata seperti aktualisasi diri, penghargaan diri, dan pemenuhan diri.
Lalu apa solusinya? Apa yang kita perlukan? Satu-satunya jalan adalah kita harus dapat melihat diri kita dalam terang anugerah Tuhan dan tidak ikut terseret dalam keegoisan dunia.
Alkitab juga menyatakan agar kita berpikir mengenai diri sendiri dengan benar. Roma 12:3 mengatakan, "Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing."
Konsep diri yang alkitabiah, yang berkembang dari konsep kita mengenai Tuhan dan anugerah-Nya, adalah sesuatu yang penting agar kita memiliki kedewasaan rohani yang kokoh untuk melayani, mampu memimpin sesama, dan khususnya supaya kita mampu menjadi pelayan. Oleh karena itu, agar kita dapat memimpin dan melayani sesama dengan efektif, kita harus mengenal diri kita secara alkitabiah. Hal ini berarti kita harus mengetahui kemampuan dan keterbatasan kita, sekaligus mengingat pandangan Tuhan yang alkitabiah, anugerah-Nya kepada kita melalui Kristus, dan menyadari bahwa kecukupan kita selalu ada di dalam Tuhan, kemampuan dan kelemahan kita tidak akan menambahinya.
Mengapa kita perlu berpikir demikian? Karena tanpa pengenalan diri yang cukup, kita akan terombang-ambing di antara ketakutan dan gengsi atau antara ketidaknyamanan dan kepercayaan diri yang berlebihan. Tanpa pengenalan diri yang cukup, kita akan berkutat dalam keriuhan aktivitas untuk mencoba merasa diri baik karena prestasi kita. Kedewasaan iman Paulus dan kualifikasinya sebagai seorang pemimpin terlihat dalam kebebasannya melayani sesama, karena anugerah-Nya, ia telah dipanggil sebagai pelayan, ia tidak mencoba menutupi citra dirinya yang buruk atau membuat orang lain terkesan dengan kehebatannya (lih. 1 Kor. 4; 1 Tes. 2:1-6).
Perasaan rendah diri akan merampas energi, kekuatan, dan perhatian kita untuk berhubungan dengan orang lain karena kita terserap oleh perasaan kita -- bahwa kita kurang baik. Hal itu benar, terutama saat kita ada di hadapan orang yang mengingatkan akan kekurangan kita. Dalam situasi tersebut, kita menjadi sangat sadar diri sehingga kita tidak dapat memberikan perhatian yang cukup kepada orang lain. Akibatnya, kita mungkin akan dicap sebagai orang yang acuh tak acuh dan sombong. Perasaan rendah diri menghalangi kita untuk mengasihi dan memedulikan sesama.
Orang dengan pengenalan diri yang kurang akan melihat pendapat orang lain, baik itu pujian atau kritik, sebagai faktor penentu dalam pikiran atau perasaan mereka tentang diri mereka sendiri. Orang yang tidak dapat mengenali diri sendiri adalah budak pendapat orang lain. Mereka tidak bebas menjadi diri sendiri.
Apa yang kita perlukan adalah kepercayaan diri yang didasarkan pada pengenalan akan Tuhan dan penyerahan diri kepada-Nya, sambil juga menyadari bahwa kita masing-masing adalah makhluk ciptaan-Nya yang unik, baik secara fisik maupun spiritual.
Tapi bagaimana kita bisa mencapai keseimbangan kedewasaan rohani tersebut? Untuk dapat mencapainya, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, terapkan, dan hubungkan. Setidaknya ada tiga kebenaran alkitabiah yang diperlukan agar kita memiliki konsep pengenalan diri yang dewasa. Dengan memahami dan menghubungkan kebenaran alkitabiah ini, seseorang akan mampu menerima diri apa adanya tanpa rasa takut dan gengsi, atau tanpa ketidaknyamanan maupun pemahaman yang salah dalam kesombongan atau kearogansian.
ORANG PERCAYA YANG DEWASA ROHANI MEMILIKI KONSEP ALKITABIAH MENGENAI CITRA DIRI MEREKA.
Seseorang yang dewasa rohani mendapatkan rasa penghargaan atas dirinya dari persekutuan mereka dengan Yesus Kristus dalam segala pemenuhan, talenta, dan kecukupan dalam hidup yang disediakan-Nya, serta pemahaman bahwa Dia memunyai kehendak dan tujuan bagi setiap orang percaya (band. Rm. 12:3; Ef. 1:3; 2:10; Kol. 2:10 dengan 1 Tim. 1:12-15; 1 Kor. 15:9-11). Sayangnya, banyak orang menganggap diri mereka menurut potret yang mereka kembangkan dari pesan yang mereka terima sejak mereka kecil dalam lingkungan -- orang tua, guru, teman, dan lain-lain. Hal itu mungkin baik, mungkin juga buruk, mungkin benar, atau mungkin salah, na mun itulah hal yang mendasari bagaimana orang berpikir tentang diri mereka sendiri. Bagian dari proses pendewasaan sebagai orang percaya adalah kemampuan untuk melihat diri kita yang baru dalam Kristus, yang telah diciptakan ulang seturut dan dalam gambaran Allah untuk kehidupan yang baru (lih. Ef. 4:21-24; Kol. 3:9-11).
Cara untuk mencintai diri berdasarkan latar belakang agama, suku, atau status sosial bukanlah kebencian terhadap diri sendiri atau penolakan atas nilai diri, namun kesadaran akan di mana dan bagaimana nilai diri tersebut diperoleh melalui anugerah Tuhan kepada kita melalui Kristus.
Cara untuk menghargai diri (berdasar status sosial, performa, penampilan, latar belakang agama, dll..) bukanlah penyangkalan diri, melainkan pemahaman dan penerimaan anugerah dan kecukupan yang diberikan-Nya pada kita dalam Kristus yang adalah satu-satunya yang memberikan kita makna dan nilai yang sejati.
Cara untuk memenuhi diri bukanlah hidup yang tanpa arti dan tujuan, melainkan hidup yang sepenuhnya terpikat dalam Tuhan dan tujuan-Nya sehingga pemenuhan diri dapat dicapai secara alami (atau rohani) melalui hubungan dan keterlibatan dengan Tuhan, bukan dalam keasyikan akan diri sendiri.
Perhatikan ayat-ayat berikut: Rm. 12:3; Kej. 1:26-27; Maz. 139:12; Ams. 16:1-4, 8; Ef. 1:3, 6; 2:10; Kol 2:10; Rm. 12:4; 1 Kor. 12; Ef. 4:7; 1 Pet. 4:10; Kol. 3:10; 2 Kor. 3:18.
Apa arti semua itu? Artinya kebenaran rohani itu harus memberikan sebuah tujuan spesial dan keyakinan akan kuasa Tuhan dalam hidup setiap orang percaya. Masalahnya banyak orang cenderung melihat talenta, prestasi, dan popularitas orang lain, kemudian mengukur diri dengan apa yang mereka lihat pada orang lain itu. Kita membandingkan orang dengan orang. Hal ini tidak hanya akan membuat kita tidak melihat anugerah dan rencana-Nya, namun hal ini juga akan menimbulkan perasaan inferioritas, kecemburuan, dan gengsi. Hal ini berujung pada prinsip penting kedua dalam kita memandang diri secara alkitabiah.
ORANG PERCAYA YANG DEWASA IMAN MENGGUNAKAN TOLOK UKUR YANG BENAR UNTUK MENILAI KESUKSESAN.
Tuhan Yesus dan prinsip-prinsip Injil harus menjadi tolok ukur kita untuk mengukur nilai dan citra diri kita (band. 1 Kor. 3:4-7; 4:1-5; 15:9-11; 2 Kor. 10:12; Ef. 4:13). Berikut adalah beberapa alasan mengapa tolok ukur yang benar itu diperlukan.
Kita adalah alat Tuhan. Keefektifan selalu merupakan hasil karya Tuhan, bukan kerja keras, cara kerja, kepandaian, dan hikmat kita (1 Kor. 3:4-7).
Apa yang dilihat Tuhan adalah kesetiaan kita terhadap anugerah-Nya! Apa yang dilihat Tuhan adalah kesetiaan kita dalam menggunakan kesempatan, kemampuan, dan pelayanan yang Ia berikan pada kita dan bukan kesuksesan yang sering kali diukur oleh manusia (Luk. 12:42; 2 Tim. 2:2; 1 Kor. 4:1-2).
Segala yang kita punya adalah karena anugerah Tuhan. Apa pun yang kita punya -- kemampuan, talenta, pelayanan, dan bahkan kesempatan -- adalah anugerah Tuhan, bahkan udara yang kita hirup (Rm. 12:3a; 1 Kor 15:9-11).
Yesus Kristus adalah standar dan tujuan kita, bukan manusia. Manusia dapat menjadi teladan keilahian, namun itu dapat terjadi saat manusia itu membawa kita kepada Kristus dan menjadi seperti-Nya (1 Kor. 11:1). Kristus, sebagai standar kita adalah standar kualitas, namun kita tidak mengukurnya dengan pendapat dan standar ukuran yang digunakan manusia. Kita mengukurnya dengan ajaran Injil, kedewasaan karakteristik moral keilahian. Bagi kehidupan Kristen, Kristus adalah standar pokok bagi pertumbuhan dan kedewasaan dan porsi yang kita terima seiring kita bertumbuh di dalam-Nya dan menjadi seperti-Nya oleh anugerah Allah. Kita juga harus menjadi pelayan yang setia (1 Kor. 4:1-3). Artinya, kita tidak boleh mengukur diri atau mengizinkan diri diukur oleh standar manusia seperti yang diungkapkan pada ayat itu. Tuhan mungkin menggunakan berbaga i cara untuk membantu kita belajar dan bertumbuh dalam standar keilahian, namun ujian akhir kita adalah Injil, bukan pendapat manusia.
Standar yang benar itu penting bagi stabilitas rohani. Memiliki dan menggunakan standar yang benar untuk keefektifan dan kesuksesan itu penting untuk menghasilkan pertumbuhan, kedewasaan rohani, dan kepemimpinan atau pelayanan yang sukses. Mengapa? Karena tanpa standar yang benar itu, Anda akan mengukur diri, nilai, kemajuan, dan kesuksesan Anda menggunakan standar manusia dan respons mereka terhadap Anda. Biasanya, standar manusia adalah hal-hal seperti angka, nama, kepribadian, karisma, dan sejenisnya. Itu salah. Paulus menulis, "Memang kami tidak berani menggolongkan diri kepada atau membandingkan diri dengan orang-orang tertentu yang memujikan diri sendiri. Mereka mengukur dirinya dengan ukuran mereka sendiri dan membandingkan dirinya dengan diri mereka sendiri. Alangkah bodohnya mereka!" (2 Kor. 10:12). Mengapa bodoh? Karena standar ukuran yang salah akan membahayakan kemampuan kita dalam melayani dan melakukan tugas kita sebagai berkat bagi sesama menurut tujuan Tuhan (band. Yer. 1:17-19; 1 Kor. 4:1-5; dengan 2 Kor. 10:10 dan 6:11-13). Sederhananya, standar kesuksesan yang salah selalu berujung pada sejumlah masalah yang merusak pelayanan yang efektif dan kehidupan rohani. Standar yang salah biasanya menimbulkan ambisi egois, persaingan tidak sehat (Fil. 1:17), rasa bersalah, frustrasi, depresi, perasaan gagal, takut gagal yang berujung pada penarikan diri dan rendah diri.
ORANG PERCAYA YANG DEWASA IMAN HIDUP OLEH IMAN DALAM KEBENARAN ALKITABIAH.
Mereka akan mewujudnyatakan kebenaran identitas mereka dalam Kristus. Alkitab mengajarkan bahwa setiap orang Kristen diciptakan dalam gambar Tuhan (Kej. 1:26-27), bahwa setiap orang percaya dibentuk Tuhan secara unik sejak dalam kandungan (Maz. 139:12), bahwa setiap orang percaya dalam Kristus, telah diciptakan ulang dan adalah ciptaan rohani baru dalam Yesus Kristus (2 Kor. 5:17), dan bahwa melalui iman dalam Kristus, setiap orang Kristen adalah anak-anak Tuhan yang baru lahir (Yoh. 1:12-13; 3:3-6; 1 Pet. 1:3, 23;). Sungguh suatu identitas yang luar biasa! Nilai seperti itu tidak dapat dibandingkan dan tidak dapat diukur dari respons dan pendapat manusia.
Mereka akan bersandar dan mewujudnyatakan kemampuan yang diberikan Tuhan kepada mereka -- talenta alami dan bakat rohani. Dalam Mazmur 139:1-12, pemazmur menyatakan imannya dalam hikmat Allah atas semua kehidupan. Pemazmur juga percaya pada tujuan pribadi Allah dalam hidupnya. Tuhan tidak hanya Pencipta dan Penguasa, tapi juga Yang Kekal yang secara intim peduli pada manusia yang telah Ia ciptakan bahkan sejak dari kandungan dan sebelumnya. Pemazmur juga menyadari bahwa ia diciptakan unik dan meresponi apa yang diciptakan dan diberikan Allah-Nya dengan ucapan syukur.
Orang percaya yang dewasa iman juga akan menyatakan tujuan Allah dan sifat dari kehidupannya. Aktivitas kreatif dan keterlibatan Tuhan secara alami menyertakan tujuan atas keberadaan kita serta tempat dan waktu di mana kita berada sekarang. Jika kita benar-benar tahu dan menyatakan siapa kita di dalam Kristus, mengapa kita ada (duta-Nya), dan ke mana tujuan kita (kekekalan), kita harus mampu berserah dan tenang dalam melayani dan mengasihi sesama tanpa memedulikan keberhasilan orang lain dan respons yang ditujukan pada kita. Ini artinya mengamalkan kesempurnaan Kristus dan keunikan kita: (a) identitas kita dalam-Nya, (b) kemampuan rohani yang berasal dari-Nya, (c) tujuan Allah untuk setiap orang percaya karena-Nya, (d) dan anugerah surgawi yang datang dari-Nya.
Mereka akan memiliki tingkat kepercayaan diri dalam Tuhan; hadirat dan pemenuhan Allah menjadi sumber kehidupan dan pelayanan mereka. Adalah penting untuk kita mengenal diri sendiri, apa yang dapat dan tidak dapat kita lakukan, namun di atas semuanya itu, kita harus memiliki keyakinan dalam Tuhan yang diikuti nyali untuk bergerak maju. Hal ini penting bagi pelayan itu sendiri dan yang dilayaninya (Fil. 4:13; 1 Kor. 3:6; 4:1-5; 2 Kor. 2:14). Tak seorang pun dari kita merasa cukup dengan diri sendiri; tak peduli siapa kita, latihan yang kita lakukan, keunggulan fisik kita, kedewasaan iman kita, atau bakat dan talenta kita. Hal ini diilustrasikan dengan luar biasa di 2 Kori ntus 2:14-16; 3:4-6, dan 2 Korintus 12:9-10. Ayat-ayat itu mengingatkan kita bahwa Tuhan akan menggunakan kemampuan kita, seperti Ia menggunakan kemampuan mengajar dan ketajaman pikiran Paulus -- keduanya adalah anugerah Tuhan -- namun terkadang Ia memberikan kelemahan pada kita dan entah bagaimana berkarya dalam kita untuk menunjukkan anugerah dan kuasa-Nya.
Mereka akan berusaha menemukan dan membenahi kelemahan yang dapat diperbaiki. Meski semua orang percaya memiliki talenta dan kelebihan, mereka juga memunyai kelemahan. Beberapa di antaranya dapat diubah dan beberapa tidak. Bagian dari kedewasaan iman adalah menemukan kelemahan yang dapat diubah dan kemudian berusaha memerbaikinya dengan anugerah Tuhan sambil belajar untuk hidup dengan kelemahan yang tidak dapat diubah. Tuhan menciptakan apa adanya kita, tidak dalam keberdosaan kita, namun dalam kelebihan dan kelemahan kita.
Kita harus melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan dengan kelebihan kita (1 Kor. 15:9-10). Artinya, kita harus puas dengan kelebihan kita dan jangan pernah iri dengan kelebihan orang lain yang lebih dari kita. Namun demikian, kita harus berusaha mengubah kelemahan yang bisa kita ubah melalui anugerah Tuhan dan seturut dengan standar Alkitab, bukan dunia. Tidak hanya itu, kita juga harus mensyukuri apa yang tidak dapat kita ubah.
Pemahaman tentang konsep di atas akan membawa kita kepada setidaknya empat langkah penting:
- Kita harus bersyukur kepada Tuhan atas diri kita -- makhluk unik dan spesial yang dibekali tujuan hidup (Ef. 2:10; Maz. 39:14; Rm. 12:3; 1 Pet. 4:10).
- Kita harus berusaha mengetahui kekuatan kita dan mengembangkan kemampuan kita sampai pada puncaknya. Dengan kata lain, kita harus menjadi yang terbaik menurut karya kreatif Tuhan dalam hidup kita.
- Kita harus memerbaiki apa yang ada dalam hidup kita yang dapat kita benahi sebagai pelayan yang baik, yang ada karena anugerah Tuhan dan menurut arahan dan standar Alkitab.
- Kita harus menerima apa yang tidak dapat kita ubah, percaya kepada karya Allah, dan memaksimalkan kelebihan orang lain dalam Tubuh Kristus.
Hal-hal yang tidak dapat kita ubah: Beberapa kelemahan atau kekurangan yang tidak dapat kita ubah; bukan masalah moral atau masalah dengan dosa. Malahan, kekurangan ini adalah beberapa hal dalam hidup kita yang tidak dapat kita ubah, di antaranya: leluhur, sejarah, ras, kebangsaan, kelamin, keluarga, fitur fisik, kemampuan mental (bakat alami, keterbatasan mental, dan talenta), ukuran fisik, kemampuan dan cacat tubuh, serta penuaan dan kematian.
Hal-hal yang dapat kita ubah: Hal-hal ini meliputi hal-hal yang dapat kita ubah. Dalam beberapa kasus, hal-hal ini menjadi masalah dalam kehidupan rohani seseorang sementara dalam kasus lain tidak. Di antaranya adalah berat badan, kondisi fisik, kekuatan fisik, karakter atau kedewasaan rohani, pengetahuan dan kegunaannya, pakaian, perawakan, sikap dan sudut pandang, ekspresi wajah, kebiasaan atau pola hidup, keterampilan, dll.. Jelas semua yang tidak sesuai dengan Alkitab dan kehendak moral Tuhan adalah dosa dan harus diubah melalui anugerah Tuhan (Rm. 6:1; Ef. 4:22; Kol. 1:9; 3:4; Ams., Maz. 119) (t/Dian)
Diterjemahkan dan diringkas dari: