Kebesaran Seorang Pemimpin (1 Raja-Raja 1:32-47)
Keberhasilan seorang pemimpin bukan semata-mata dilihat dari berbagai hal yang dicapai selama masa kepemimpinannya. Lebih dari itu, ukuran keberhasilannya ialah sejauh mana ia telah berperan-serta dalam proses kepemimpinan itu, mulai dari awal hingga akhir kepemimpinannya. Ia mengawali kepemimpinannya dengan baik, menjalankan prosesnya dengan indah, dan mengakhirinya dengan agung.
Keagungan seorang pemimpin tidak ditentukan berdasarkan jabatan yang diduduki atau lamanya masa kepemimpinannya. Keagungan seorang pemimpin lebih ditentukan berdasarkan kepekaan hatinya dalam menanggapi berbagai tanggung jawab yang diberikan Allah dalam perspektif kekekalan, bukan sesuatu yang bersifat sementara. Seorang pemimpin yang agung rela meletakkan segala keberhasilannya di bawah kemuliaan Allah.
Mengacu pada permasalahan ini, tidak salah jika kita mencoba menemukan seorang tokoh yang dapat mewakili gambaran tersebut. Daud adalah seorang tokoh Alkitab yang layak untuk dijadikan panutan dan prinsip-prinsip kepemimpinannya layak untuk kita kaji. Daud merupakan seorang tokoh ideal yang memulai kepemimpinannya dengan satu keyakinan bahwa jabatan itu adalah anugerah Allah. Ia menjalankan proses kepemimpinannya dengan suatu kesadaran bahwa pelaksanaan tugas itu harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Ia juga harus mengakhiri semuanya dengan penyerahan diri untuk kemuliaan Allah. Daud sudah memberikan beberapa keteladanan.
1. Melihat Kepemimpinan dalam Perspektif Waktu Tuhan (28-37a)
Bagian ini menceritakan masa akhir kepemimpinan Daud. Ia sudah berusia tua dan menyadari masa pemerintahannya akan segera berakhir. Kondisi fisik sudah tidak memungkinkan ia mempertahankan pemerintahannya. Oleh sebab itu, ia memerlukan seorang pengganti kedudukannya sebagai raja di Israel. Daud menyadari bahwa semua keadaan ini bersifat alamiah, termasuk regenerasi kepemimpinan. Tidak seorang pemimpin pun yang tidak akan pernah berakhir masa kepemimpinannya.
Daud menyadari semuanya, bahwa ia melihat masa kepemimpinannya dalam perspektif Tuhan. Tuhan yang mengangkat dirinya menjadi raja, dan pelaksanakan kepemimpinan itu sudah didampingi dengan penyertaan Tuhan. Tuhan juga yang menentukan akhir masa kepemimpinannya. Berdasarkan semua pengertian ini, ketika akhir masa kepemimpinan Daud tiba, ia tidak mengalami gejala "post power syndrome" [sindrom pasca berakhirnya kekuasaan, Red.].
Pada suatu saat, Batsyeba dengan mengikuti nasihat nabi Natan, datang menghadap Daud untuk mengingatkan sumpah yang diucapkan sang raja kepadanya, bahwa putranya kelak akan menjadi raja. Daud menanggapi kata-kata Batsyeba dengan baik. Ia tidak menganggap kata-kata Batsyeba sebagai suatu upaya subversif, atau suatu penolakan terhadap dirinya. Ia justru menyadari bahwa penetapan masa kepemimpinannya oleh Tuhan akan segera berakhir.
Sikap Daud menunjukkan kebesarannya sebagai pemimpin, bahwa ia seorang pemimpin yang sungguh-sungguh agung. Pada sisi yang sama, ia seorang pemimpin yang memiliki kredibilitas yang sangat tinggi. Ia menepati janjinya. Kebesaran seorang pemimpin bukan ditentukan dengan lamanya masa kepemimpinannya, tetapi berdasarkan kerelaannya melihat dengan rendah hati masa kepemimpinannya dalam perspektif Tuhan. Ia tidak menjadi paranoid karena proses alih kepemimpinan itu. Tetapi sebaliknya, ia justru berani membukakan pintu untuk pemunculan pemimpin baru yang siap menggantikan dirinya.
2. Rela Menyerahkan dengan Hormat Segala Kemuliaan kepada Sang Pengganti (37b-45)
Pada akhir masa kepemimpinannya, banyak pemimpin menghadapi kesulitan besar berupa perasaan tidak dihormati lagi. Ketakutan akan hilangnya berbagai penghormatan itu dapat memicu terjadinya kemandekan proses regenerasi kepemimpinan. Namun, rasa dihormati dan berbagai bentuk prestise lainnya hanyalah atribut kepemimpinan, bukan tujuan kepemimpinan. Tujuan utama kepemimpinan Kristen ialah memuliakan nama Tuhan. Teladan ini tampak di dalam diri Daud.
Daud melihat atribut kepemimpinan dari sudut pandang yang berbeda. Ia tidak melihat akhir masa kepemimpinannya sebagai akhir penghormatan dan penghargaan terhadap dirinya. Tetapi justru sebaliknya, ia melihat penggantian kepemimpinan itu mengukuhkan penghormatan Tuhan kepada dirinya, yang dinyatakan dengan menunjuk penggantinya. Ia rela menyerahkan segala bentuk kehormatan, kemuliaan, kebanggaan, dan segala sesuatu yang baik lainnya kepada sang pengganti.
Sikap Daud yang menakjubkan tampak nyata pada saat orang-orang yang dahulu mengikutinya sekarang lebih menyanjung sang calon pengganti. Pertama, Benaya mengatakan "... semoga Ia membuat takhta Salomo lebih agung dari takhta tuanku raja Daud". Kedua, para pegawai kerajaan menyatakan "kiranya Allahmu membuat nama Salomo lebih masyhur dari pada namamu dan takhtanya lebih agung dari pada takhtamu". Daud tidak melihat ungkapan-ungkapan ini sebagai bentuk pelecehan dan penyangkalan terhadap dirinya, mengingat berbagai prestasi kepemimpinan yang telah dicapainya.
Kebesaran seorang pemimpin tidak didasarkan pada keberhasilan mempertahankan penghormatan dan pemuliaan dirinya sendiri. Tetapi justru sebaliknya, kebesaran pemimpin ditunjukkan dengan kerelaannya menyerahkan berbagai atribut kepemimpinannya kepada calon penggantinya. Itulah yang membuktikan kehormatan sejati. Kehormatan dan kemuliaan kepemimpinannya akan lebih dikukuhkan melalui calon penggantinya.
3. Mengakui dan Bersedia Dipimpin Sang Pengganti (46-47)
Kita sering mendengar pernyataan bahwa lebih sulit menemukan pemimpin-pemimpin yang besar sekarang dibanding pada masa lampau. Tampaknya, pemimpin-pemimpin yang seperti itu sulit atau bahkan mustahil ditemukan pada masa kini. Berbagai gambaran tentang kebesaran pemimpin masa lalu telah menyempitkan wawasan pemikiran kita mengenai pemunculan pemimpin baru. Acuan-acuan mengenai pemimpin baru ditetapkan dengan standar yang tidak logis.
Sebenarnya, permasalahannya bukan pada ketiadaan pemimpin baru yang sekelas pemimpin lama, tetapi pada soal kepercayaan. Apakah pemimpin lama dan para pengikutnya berani memberikan kepercayaan kepada sang pemimpin yang baru akan muncul? Pemahaman ini bukan tanpa suatu pertimbangan, tetapi sebaliknya, pertimbangan yang matang itu tentu mengandung berbagai kemungkinan risiko yang akan terjadi. Kepercayaan seperti itu sebenarnya adalah kunci untuk kemunculan dan pertumbuhan pemimpin-pemimpin baru yang sekelas pemimpin lama.
Pada proses alih kepemimpinan, kepercayaan merupakan fondasi yang paling menentukan kemunculan pemimpin-pemimpin besar pada saat ini. Salomo muncul sebagai pemimpin besar karena kepercayaan yang diberikan oleh Daud. Daud bukan hanya memberikan kepercayaan kepada Salomo, ia juga mengakui, mendukung, dan bersedia dipimpin oleh Salomo yang tidak lain adalah putranya sendiri. Alkitab menegaskan, "Dan raja pun telah sujud menyembah di atas tempat tidurnya (47b). Daud mengatakan: "Terpujilah TUHAN, Allah Israel yang pada hari ini telah memberi seorang duduk di atas takhtaku yang aku sendiri masih boleh menyaksikan" (48).
Kebesaran seorang pemimpin tidak diukur dari munculnya berbagai konflik yang mengikuti terjadinya proses pengalihan kepemimpinan itu, namun kebesaran itu dibuktikan dengan kesediaan pemimpin lama memberikan kepercayaan, dukungan, dan ketundukan kepada sang pengganti.
Daud memerintah di Israel selama 40 tahun: di Hebron 7 tahun dan di Yerusalem 33 tahun. Daud mengakhiri kepemimpinannya dengan sangat menakjubkan; "kemudian matilah ia pada waktu telah putih rambutnya, lanjut umurnya, penuh kekayaan dan kemuliaan ..." (1 Tawarikh 29:28). Daud wafat dengan meninggalkan warisan yang indah kepada penggantinya; kekayaan dan kemuliaan serta keagungan, bukan intrik, persoalan, dan pergunjingan yang sulit dicari jalan penyelesaiannya. Kita sebagai pemimpin, tentu saja, memunyai batas masa kepemimpinan. Sebelum batas akhir itu tiba, marilah kita merenung sejenak dan bertanya, apakah warisan yang hendak kita serahkan kepada calon pengganti? Kekayaan, kemuliaan, dan keagungan? Itulah yang kita harapkan.
Diambil dan disunting seperlunya dari: