Rasul Paulus menggambarkan tugas perintisan Jemaat dalam bentuk bangunan dan menyebut dirinya sendiri sebagai "ahli bangunan yang cakap" (I Korintus 3:9-10). Rumusan ini hanya merupakan satu dari banyak cara untuk melihat perintisan jemaat. Tidak ada satu pun analogi atau rancangan yang dapat menjelaskan kerumitan atau segala sesuatu yang menyangkut tugas kita. Namun demikian, penggambaran bangunan pada halaman selanjutnya dapat membantu kita untuk melihat apa yang terlihat dalam tugas merintis jemaat baru secara lintas budaya. Sesuai dengan gambar bangunan tersebut, proses perintisan jemaat lintas budaya dibagi dalam enam tahap dan kurikulum Pelatihan juga diatur sesuai dengan enam tahap itu.
Batu Dasar
Seperti semua bangunan, fondasi adalah bagian yang tidak terlihat, namun dalam beberapa hal merupakan bagian yang terpenting. Fondasi menentukan kekuatan bangunan. Di bawah fondasi ada batu dasar yang paling penting yang menggambarkan dasar dari jemaat itu sendiri, yaitu Yesus Kristus (Isa Al-Masih). Yesus Kristus bukan saja Juru Selamat dan Junjungan Ilahi kita. Dia juga adalah batu dasar dari jemaat (I Kor. 3:10,11). Jemaat-jemaat yang kita rintis harus dibangun secara kuat di atas Kangjeng Yesus Sang "Batu Penjuru yang Mahal" (I Petrus 2:6). Perintis jemaat harus memahami hal ini baik sebagai kebenaran doktrin maupun sebagai kenyataan kehidupan rohani.
Al-Masih juga menggambarkan diri-Nya sebagai "Pendiri Jemaat". "Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya" (Mat. 16:18). Pendirian jemaat benar-benar merupakan gagasan dan pekerjaan DIA! Ini bukan kata-kata indah tanpa makna, tetapi merupakan keyakinan hakiki untuk perintisan jemaat. Pada saat nanti perjalanan terasa sulit (dan ini pasti akan terjadi) kebenaran-kebenaran ini berfungsi sebagai pedang rohani untuk melawan tipu daya Iblis yang merongrong semangat. Jemaat Yesus Kristus akan dibangun di antara semua orang dari tiap-tiap bahasa, suku, dan bangsa (Wahyu 5:9; 7:9).
Membangun Fondasi ( Tahap I )
Fondasi itu sendiri terdiri dari enam bagian yang seluruhnya merupakan Tahap I dalam rancangan bangunan ini. Enam bagian ini sangat penting sebagai persiapan untuk orang yang ingin merintis jemaat secara lintas budaya.
Persiapan Pribadi: Kita perlu perintis-perintis yang berkepribadian kuat, baik dari segi talenta pribadi maupun dari segi rohani. Talenta yang mereka harus miliki antara lain termasuk identitas yang dapat diterima di lapangan, keterampilan yang sesuai dengan karunia mereka, kemampuan untuk mengelola diri dan pelayanan mereka dengan efektif, dsb. Dari segi rohani, mereka harus mewujudkan karakter yang rohaniah dan dewasa, mampu membimbing rumah tangga sebagai contoh kesalehan, dan taat serta dewasa dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Merintis jemaat dalam kata lain adalah melipatgandakan hubungan rohani yang Allah sudah lakukan dalam diri perintis jemaat ke dalam diri orang lain. Proses perintisan jemaat bukan hanya menjelaskan atau membagi informasi saja, tetapi yang lebih penting adalah membagi "hidup kami sendiri" (I Tes 2:8 ; Luk. 6:40 ; I Kor. 11:1). Itu sebabnya perintisan jemaat pada dasarnya adalah perubahan hidup. Yang diperlukan adalah perintis-perintis yang telah diubahkan rohaninya agar dapat membangun jemaat yang termasuk orang yang diubahkan secara rohani.
Budaya Setempat: Di dalam pelayanan perintisan jemaat lintas budaya, "Kontekstualisasi" sangatlah penting karena kita ingin mendirikan jemaat yang alkitabiah tetapi juga yang relevan dan berarti kepada budaya yang sedang dijangkau. Untuk mendirikan jemaat yang kontekstual, perintis-perintis harus menjadi pelajar budaya. Mereka harus memahami budaya orang-orang yang hendak mereka jangkau. Pemahaman itu dapat dicapai melalui kuliah atau ceramah dari seorang ahli budaya setempat yang mengerti budaya mereka, atau dari buku-buku, dan juga melalui persahabatan pribadi.
Keterampilan Bahasa/Seni: Karena pengertian budaya begitu penting dalam pelayanan lintas budaya yang kontekstual, perintis-perintis yang mau mendirikan jemaat yang sungguh relevan dan berarti kepada orang setempat harus menjadi terampil dalam bahasa setempat dan mengerti kesenian setempat, khususnya musik. Tanpa pengertian bahasa maka pemahaman budaya, pikiran dan hati orang yang sedang dijangkau akan sangat terhalang karena budaya mereka berhubungan erat dengan bahasa mereka. Itu sebabnya dalam Paranti Cai, bahasa dan seni sangat diutamakan supaya perintis-perintis mempunyai kesempatan untuk menjadi terampil dalam kedua hal ini sebelum masuk ke lapangan secara penuh.
Prinsip Lintas Budaya: Karena kebanyakan orang yang sedang dipanggil Allah menjadi perintis jemaat kepada suku setempat bukan dari latar belakang suku setempat atau mereka adalah orang dari suku setempat yang berasal dari keluarga Kristen dan tidak dibesarkan di luar lingkungan suku fokus yang asli, maka perintis tersebut akan melayani secara lintas budaya. Untuk membantu perintis-perintis tersebut, Pelatihan ini nantinya akan mengajarkan prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dengan harapan peserta-peserta Pelatihan akan menjadi lebih efektif dalam pelayanan perintisan jemaat yang kontekstual. Sekali lagi tujuan kita ialah membangun jemaat yang "berakar di dalam Kristus dan erat berhubungan dengan kebudayaannya" (Ikrar Lausanne, Tahun 1974, Bab 10).
Membentuk Tim Perintisan: Dalam Firman Tuhan kita melihat bahwa Allah sering memakai orang yang dapat bekerja sama daripada mereka yang lebih senang bekerja sendirian, terutama dalam pelayanan PI atau perintisan jemaat. Dalam Lukas 10 Yesus mengutus murid-murid-Nya melayani berpasang-pasangan. Gereja di Antiokhia dalam KPR 13 juga mengutus satu tim yang anggotanya termasuk Rasul Paulus, Barnabas, dan Yohanes. Oleh sebab itu untuk menghadapi kesulitan dalam pelayanan antara suku yang belum terjangkau, peserta-peserta Pelatihan akan didorong untuk bekerja sama sebagai tim dengan rekan-rekan yang lain yang punya visi yang sama. Tim yang ingin bekerja sama dan melayani secara efektif harus tahu bagaimana bekerja sama dengan baik sebagai tim, harus menentukan status dan peranan anggotanya, dan harus mampu menyelesaikan konflik antar pribadi, dsb.
Rancangan Pelayanan: Melayani seorang diri ataupun sebagai bagian suatu tim bukanlah masalah, tetapi perintis-perintis akan jauh lebih efektif kalau ada rancangan pelayanan yang dipikirkan dan dibahas sebelum masuk ke lapangan dan sering dievaluasi dan diubahkan sesuai dengan kondisi dan situasi yang muncul dalam perkembangan pelayanan. Rancangan itu termasuk tempat tinggal perintis, masyarakat target, visi/impian pelayanan, strategi pelayanan, tugas-tugas anggota tim masing-masing, dsb.
Masuk Ke Dalam Masyarakat ( Tahap II )
Di dalam gambar bangunan, Tahap II ini merupakan lantai bangunan dan bagian pertama yang tidak berada di bawah tanah tetapi kelihatan. Tahap I adalah fondasi atau persiapan. Baru pada Tahap II ini perintis mulai merintis jemaat baru sesuai dengan rancangan pelayanan yang sudah dia siapkan.
Walaupun perintis-perintis belajar budaya dan bahasa daerah, mereka, khususnya yang dari suku lain, harus menjadi terampil masuk ke dalam lingkungan setempat dan bergaul akrab. Ini sangat penting supaya perintis itu tidak dianggap orang luar atau asing namun dihargai oleh orang setempat sebagai orang yang perduli. Orang setempat akan menilai perintis itu berdasarkan apakah dia rela terbuka dan bergaul atau tidak. Orang yang terbuka dan rela bergaul dianggap sebagai teman dan yang lain dianggap sombong.
Supaya perintis-perintis bisa menjadi lebih efektif, mereka harus belajar bagaimana menjalin hubungan dengan masyarakat, ikut kegiatan sosial, melibatkan diri dalam struktur masyarakat dan secara umum dikenal sebagai orang yang menjadi berkat kepada lingkungan itu. Dengan cara ini kehidupan perintis akan bersaksi tentang kasih Yesus dan menjadi dasar untuk menyebarkan Injil dalam suasana persahabatan.
Menginjili ( Tahap III )
Pemahaman budaya setempat yang terdiri dari latar-belakang, cara berpikir, nilai-nilai penting, dan bahasa daerah bersama dengan kesaksian hidup perintis dalam lingkungan, semua menjadi persiapan dan dasar untuk Tahap III ini, yaitu Menyebarkan Kabar Baik.
Contoh penginjilan yang sangat membantu dalam konteks perintisan dapat dilihat dalam perumpamaan tentang seorang penabur (Markus 4, Matius 13 ), dan juga dalam Yohanes 4:34-38, serta Galatia 6:7-9. Walaupun berwawasan untuk menuai, namun kita perlu memahami bahwa penginjilan di daerah baru adalah suatu proses seperti yang dialami seorang petani. Ini bukan kegiatan suatu ketika saja, tapi suatu proses yang terus menerus. Penginjilan bermodel seperti pertanian ini melibatkan 4 tahapan: membajak, menabur, mengusahakan/mengolah dan menuai. Penggambaran proses ini dikenal dengan nama Skala Engel.
Pemahaman tentang jaringan sosial juga sangat penting untuk memberitahukan Injil. Fokus utama dari penginjilan ini seharusnya adalah teman-teman dan jaringan keluarga dari petobat baru (sebagai contoh lihat Markus 5:19; KPR 10:24). Injil yang tersebar dengan jaringan sosial seperti ini digambarkan misiolog Donald MacGavran sebagai "jembatan-jembatan Allah".
Memuridkan ( Tahap IV )
Melalui pemuridan, petobat baru dibantu untuk mengembangkan dasar-dasar rohani dan tingkah laku dalam kehidupannya. Semua orang yang percaya dalam Yesus Kristus mempunyai hak untuk memperoleh pemeliharaan dan pertumbuhan. "Setiap orang Kristen baru, diharapkan akan menumbuhkan kemampuannya secara penuh bagi Allah. Dan kebanyakan dari mereka akan bertumbuh secara demikian jika ada seseorang yang mau memperlihatkannya dan mau sedikit menderita, sedikit berkorban, dan banyak berdoa untuk dia." (Pemuridan: Seni yang Hilang, Leroy Eims )
Tujuan Tahap IV ini adalah untuk memuridkan petobat baru agar dia dibimbing dari saat pertobatannya sampai dia menjadi seorang murid yang kokoh, berserah, mengabdi, berbuah dan dewasa; dan yang pada suatu waktu dapat mengulangi proses itu dalam kehidupan orang lain. Dengan cara ini rantai-rantai pemuridan bisa dibentuk dan pelayanan pemuridan yang kuat dapat menyentuh seluruh jemaat yang sedang dirintis.
Meskipun pemuridan melibatkan pribadi, orang per orang, cara ini dapat juga dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Hal ini dapat terlihat dalam pelayanan Yesus dan Paulus. Meskipun Yesus melayani banyak orang, fokus utama Dia adalah memuridkan kedua belas rasul. Sementara Paulus berfokus kepada mendirikan jemaat-jemaat sepanjang wilayah Asia Kecil dan sekitarnya, dia juga selalu memuridkan para pemimpin (Timotius, Titus, Epafroditus, Priskila dan Akwila, Lukas, Silas, dsb. ( I Kor 4:16; 11:1; II Tim 2:2; I Thes 2:4-12; Ef 4:11-12 ).
Membentuk Jemaat ( Tahap V )
Pada tahap ini sudah ada beberapa petobat baru yang sedang dimuridkan, dan mereka perlu dibentuk dalam satu jemaat baru. Proses ini melibatkan pembentukan jemaat atau kumpulan-kumpulan untuk persekutuan, ibadah, dan kegiatan khusus. Bentuk kumpulan-kumpulan itu harus diperhatikan supaya unsur-unsurnya sesuai dengan budaya setempat dan konteks setempat. Ini sangat penting supaya jemaat suku setempat itu sungguh-sungguh sesuai dengan kehidupan orang setempat dan petobat-petobat baru merasa jemaat itu milik mereka bukan milik perintis yang berasal dari suku lain.
Jemaat baru ini juga perlu digembalakan dan dibimbing. Pada mulanya, hal ini merupakan tugas perintis, tetapi perintis harus melibatkan murid baru secepat mungkin supaya pemimpin-pemimpin muda dapat muncul ke permukaan. Orang percaya baru perlu didorong untuk bersaksi kepada yang belum percaya, berdoa untuk orang sakit, membantu orang lain menjadi murid, dan mengambil bagian dalam acara jemaat sedikit demi sedikit. Dengan cara ini pemimpin-pemimpin akan muncul dan bisa dilatih dalam konteks tubuh yang hidup.
Melatih Pemimpin ( Tahap VI )
Jika jemaat baru itu dapat bertahan lama, maka harus ada pria-pria setempat yang diakui oleh jemaat sebagai pemimpin-pemimpin jemaat itu. Perintis-perintis harus mundur, pemimpin-pemimpin setempat harus muncul. Ini menjadi tujuan terakhir perintis-perintis jemaat, sebab dengan demikian maka jemaat yang didirikan menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri.
Latihan kepemimpinan merupakan pemuridan lanjutan yang tingkatnya lebih tinggi daripada pemuridan dasar, yaitu mempersiapkan orang-orang percaya yang teguh untuk menjadi pemimpin dalam jemaat tersebut. Pada dasarnya calon pemimpin dilatih untuk membina pengikut Yesus menjadi murid yang kuat. Dia juga dilatih untuk mengatur kegiatan-kegiatan jemaat dan pertemuan. Tetapi, yang terutama dia diperlengkapi untuk menjadi pemimpin melalui Kursus Pelatihan Penggembalaan yang dijalankan oleh perintis jemaat untuk mengajar keterampilan dan teologia yang dia perlukan untuk berfungsi sebagai pemimpin atau gembala jemaat.