Kita harus menyadari bahwa keinginan seksual itu tidak lebih memalukan dibanding rasa lapar pada makanan. Tetapi, keinginan ini tidak boleh diartikan seperti rasa lapar pada makanan, bahwa keinginan itu harus selalu dipenuhi. Kita tidak mungkin hidup tanpa makanan, tetapi kita dapat hidup tanpa seks. Masalah utama yang mendasari frustasi seksual adalah cara menyalurkan energi seksual. Untuk mereka yang telah menikah, tenaga ini dapat disalurkan secara sah melalui hubungan seksual, tetapi untuk mereka yang masih lajang hal ini dilarang oleh Kitab Suci. Bagaimana cara kaum lajang, dan kadang-kadang dalam kondisi tertentu juga mereka yang sudah berkeluarga, menangani dorongan seks yang menggebu-nggebu? Apakah masturbasi jawabannya? Kitab Suci tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini (kecuali pada kasus Onan yang masih diperdebatkan dalam kejadian 38:19), dan memang ada yang berpendapat jika tidak dapat ditemukan cara penyalurannya, masturbasi diperbolehkan asal tidak disertai gambaran-gambaran seksual. Tetapi ada "cara yang lebih baik": melalui sublimasi. Sublimasi adalah menyalurkan energi pada aktivitas lain yang lebih tinggi. Salah seorang yang mempraktekkan hal ini dengan baik sekali adalah Rasul Paulus. Dia jelas tidak menikah (lih. 1 Korintus 7:7), meskipun dorongan seksualnya tidak terpenuhi secara biologis, dia tidak frustasi, karena semua tenaganya dikendalikannya bagi pelayanan Kerajaan Allah. Dia kreatif dalam pikiran dan roh, jadi dorongan biologisnya disublimasikannya. Bila energi rohani dipusatkan pada Kristus dan kerajaan-Nya, energi seksual tidak dihilangkan, tetapi energi itu tidak akan menyebabkan frustasi. Banyak kaum lajang dengan dorongan seksual yang kuat menemukan bahwa kekuatan dorongan ini melemah ketika mereka menenggelamkan diri dalam pelayanan yang kuat untuk Tuhan.
Bapa yang penuh kasih dan karunia, tolonglah aku untuk belajar seni sublimasi, yaitu memakai apa yang terhambat di tingkat fisik yang lebih rendah dan menyatakannya pada tingkat yang lebih tinggi. Aku melihat orang-orang yang punya dorongan melayani yang kuat. Aku serahkan seluruh diriku kini untuk pekerjaan-Mu. Amin.