Visi bagaikan api unggun yang berkobar di mana umat Allah berkumpul mengitarinya. Ia dapat memberikan terang, energi, kehangatan, dan persatuan. Ia memungkinkan kita melihat melalui mata Allah, untuk mengerti segala maksud-Nya dan kemungkinan di dalam Dia. Ia menguatkan kita dengan keyakinan bahwa "segala sesuatu itu bisa terjadi melalui Kristus."
Penulis kitab Amsal memperingatkan, "Tanpa suatu visi, umat Allah akan binasa." Tetapi dengan suatu visi yang terlalu besar, umat Allah akan kebingungan sendiri. Setiap visi membutuhkan strategi. Jadi jika harus membatasi visi yang terlalu besar itu bukan berarti memadamkan Roh. Sebab jika visi menjadi terlalu luas, namun tidak mempunyai tujuan yang khusus, akibatnya visi itu pada dasarnya tak ada gunanya.
Sebagai contoh, gereja kami memiliki pernyataan tujuan seperti berikut ini: "Membawa semua orang untuk diselamatkan, mengembalikan mereka kepada Allah melalui iman di dalam Yesus Kristus Tuhan, membaptiskan mereka di dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, serta mengajar mereka untuk melakukan semua pengajaran Yesus Kristus, sebagaimana yang dinyatakan dalam Alkitab."
Tentu saja hal itu merupakan suatu visi yang sangat luas! Gereja kami yang beranggotakan delapan puluh orang jemaat tidak mungkin dapat mengerjakan visi itu. Visi semacam itu memang sangat penting, tetapi tanpa disertai dengan tujuan yang teratur serta strategi untuk mencapainya, sebuah gereja dapat menjadi kewalahan dan lumpuh.
Jika kita gagal menjalankan visi tersebut, periksalah di mana letak kesalahannya? Jawabnya sering kali ialah karena tidak adanya strategi. Bukan karena ingin memadamkan Roh, kami menolak untuk "membatasi visi kami". Kami beranggapan bahwa, visi kami itu luas, namun tidak mempunyai tujuan yang khusus, dan sebagai akibatnya visi itu pada dasarnya tak ada gunanya.
Apakah hubungan antara iman dengan kepraktisan? Dengan visi yang besar dan karunia yang bermacam-macam, tetapi dengan jumlah dan kemampuan yang sangat minim, apakah yang dapat dilakukan oleh sebuah gereja? Membatasi visi? Tentu saja tidaklah demikian.
Memfokuskan visi bukanlah merupakan suatu proses yang mudah, namun ada beberapa prinsip dalam mempertajam visi yang bisa menolong dalam hal ini:
Perhitungkan Sumber Daya, Manusia, dan Campur Tangan Allah
Iman dan kepraktisan tidaklah bertentangan, tetapi saling bekerjasama. Iman adalah realisme yang melibatkan campur tangan Allah di dalamnya. Alangkah bodohnya bila seseorang memutuskan sesuatu sebelum ia mengetahui kenyataan yang ada! Yesus pun berkata kepada murid-murid-Nya untuk memperhitungkan biaya sebelum mendirikan sebuah menara dan menyatakan kebodohan seorang raja yang hendak pergi berperang tanpa memperhitungkan kekuatan tentara dari kedua belah pihak (Luk. 14:28-31).
Iman tidak membawa kita ke dalam segala pelayanan yang dapat dikerjakan secara serampangan, karena hal itu hanya akan menghabiskan uang dan sumber daya manusia dengan sia-sia. Lebih daripada itu iman tidak akan membawa kita ke tempat perbekalan dengan bersukaria untuk memenuhi tas belanja kita, kemudian mengharapkan Allah untuk membayar bonnya. Hal itu adalah suatu kelancangan, bukanlah iman.
Iman tidaklah seperti hal tersebut di atas. Iman akan membawa kita untuk berlutut setiap saat dikala kita diperhadapkan pada suatu kesempatan, menyerahkan diri kita secara terbuka kepada Allah dan memohon kepada-Nya untuk menyatakan kepada kita, jika kita melakukan pelayanan itu, akan mampu menyelesaikan tanggung jawab kita.
Ada suatu batasan pada jumlah tanggung jawab yang tak terhingga yang dapat kita terima. Sejauh manakah sumber daya kita akan berperan? Kekurangan sumber daya tidak akan menutup pintu pelayanan yang baru, tetapi hal itu berarti kita mempertimbangkan tuntutan pribadi dan biaya yang akan dikeluarkan. Di lain pihak, kadang-kadang kami terlentang dengan kesakitan untuk mencapai suatu visi.
Bilamanakah kita harus berkata ya? Kapankah kita harus berkata tidak? Ada dua buah kriteria atau patokan untuk menentukannya:
Jika Allah telah memberikan kita visi serta kemampuan untuk memenuhi sumber dayanya terlebih dahulu, maka secara otomatis jawaban kita adalah ya. Jika kedua persyaratan itu masih tidak menentu, maka kita harus belajar untuk berkata "Tidak" atau "Belum".
Berikan Kepemimpinan yang Jelas dan Mantap
Peniup terompet Romawi memberikan isyarat untuk menyerang. Dia juga memberikan tanda kepada tentara supaya mundur ataupun pergi ke tempat tidur. Karena itu tidaklah mengherankan kalau Paulus mengatakan, "Jika terompet mengeluarkan suatu bunyi atau tanda yang tidak jelas, siapakah yang akan mempersiapkan dirinya sendiri untuk berperang?" Beberapa orang di antara kita dengan tak sabar barangkali akan segera menyerang, sedangkan tanda itu sebenarnya dimaksudkan untuk memerintahkan kita supaya segera tidur!
Demikian juga, bila para pemimpin gereja menghadapi jemaat dengan sikap memerintah sambil mengatakan, "Demikianlah kata Tuhan," hal itu akan memiliki kekuatan atau pengaruh yang sangat besar, tetapi hal itu harus dikendalikan dengan hati-hati sebagai sebuah senapan yang berisi. Jika Anda menembak dan tidak mengenai sasaran, mungkin sesudah itu Anda akan segera melihat bahwa sebagian besar jemaat meninggalkan gereja Anda.
Salah satu dari kata-kata sindiran yang favorit ialah "Kepercayaan saya jauh lebih baik daripada seperti yang diakui oleh sebagian besar jemaat!" Seorang pendeta mungkin yakin akan pimpinan Roh Kudus, tetapi jika jemaat telah merasa tertipu sebelumnya, mereka kemungkinan besar tidak akan mempercayainya pada saat itu.
Diperlukan waktu berbulan-bulan dengan penuh kesabaran untuk menyerahkan rencana yang terakhir sebelum keterkejutan para pengikut hilang dan mereka mulai percaya bahwa usulan tersebut benar-benar dapat dijalankan.
Capailah Tujuan Itu
Harapan-harapan yang tidak realistis seringkali hanya membawa kita pada kekecewaan dan keputusasaan.
Program-program yang luas sering kami coba untuk capai, tetapi kami menyadari keterbatasan kami. Karena itu kami mempersempit pusat perhatian kami, membatasi prioritas kami, serta menaruh harapan yang sesuai. Dengan tujuan-tujuan yang diperkirakan dapat tercapai, kami lebih mungkin bisa mengalami sukacita dan terdorong untuk mencapai keberhasilan.
Mencoba untuk melanting ke atas bubungan atap biasanya bukanlah merupakan strategi yang terbaik. Menempatkan sebuah tangga yang dapat didaki setingkat demi setingkat mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk bisa menyelesaikan pekerjaan yang baik.
Miliki Keberanian untuk Tetap Hidup walaupun Tujuan Anda Tak Tercapai
Majalah Newsweek pernah menggambarkan pelari Marry Decker sebagai "seorang perempuan muda cantik yang menempuh jarak dengan kecepatan yang sangat membahayakan dalam sebuah kendaraan pengangkut barang yang sulit dipercayai." Karena cedera yang pernah dialaminya pada masa yang lalu, pelatihnya mendesak dia supaya berlari dalam latihannya dengan para pelari yang lebih lambat untuk mencegahnya bekerja terlalu berat. Dia memiliki suatu visi untuk meraih mendali emas dalam olimpiade dan akan berlari dengan sekuat tenaga bila saatnya tiba. Namun dalam waktu itu, dia berlari dengan cepat tetapi tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Kadang-kadang gereja pun harus melihat kemampuan dirinya. Tak seorang pun dapat berlari dengan cepat sepenuhnya.
Meskipun visi itu sangat bagus, namun dengan melakukan pekerjaan terlalu banyak hampir pasti akan menyebabkan pekerjaan terlalu berat, kekecewaan, dan kegagalan. Bahkan pada saat visi itu merupakan sesuatu yang harus kami taati, dengan melibatkan pekerja yang belum waktunya barangkali akan menghasilkan sebuah proyek tanpa kekuatan yang memadai untuk melangsungkannya.
Ya, tanpa suatu visi, umat Allah akan "binasa", atau kata lainnya yang sama artinya yaitu "berlari-lari tanpa arah yang menentu" atau "tak dapat dikendalikan". Jika visi itu tidak dibatasi sampai jemaat dapat mengetahui bukan saja ke manakah tujuannya tetapi juga bagaimanakah cara untuk mencapainya, maka mereka akan tetap "berlari tanpa arah yang menentu."
Pusat perhatian kita harus jelas, tujuan yang kita tetapkan harus dapat tercapai. Kita harus menetapkan prioritas, menentukan sumber daya terbaik yang dapat digunakan, dan pada saat itu juga melihat kemampuan diri kita sendiri.
Akhirnya, kita tidak boleh merasa puas dengan apa yang telah kita kerjakan. Visi tidak akan memberikan kesempatan kepada kita untuk merasa puas bahwa kita telah mengerjakan segala hal yang dapat kita kerjakan. Ya, kita memang harus menyadari keterbatasan kita, tetapi dengan bekerja keras kita selalu dapat mengatasi keterbatasan kita. Milikilah keberanian untuk meneruskan impian-impian yang barangkali belum dapat Anda capai pada saat ini.
Rasa tidak puas yang kudus itu ialah suatu harga yang harus kita bayar untuk mengemban visi Juruselamat dalam mengembalikan dunia kepada pemeliharaan Bapa.
Sumber diedit dari | Nama Majalah | : | Kepemimpinan, Volume 5 Tahun II | Penerbit | : | Kepemimpinan | Penulis | : | David dan Becky Waugh | Halaman | : | 49-53 dan 56 |