Selama enam belas tahun Raja Ahas bergelimang dalam kejahatan, Ia membuat patung-patung tuangan untuk para berhala dan membakar anak- anak dalam api seperti perbuatan bangsa yang keji. Ia menutup pintu bait Allah dan mendirikan mezbah berhala di setiap pojok kota Yerusalem. Setelah enam belas tahun tersebut, dia meninggal dan sesuai adat ketika itu puteranyalah yang menggantikannya, yaitu Hizkia. Usianya 25 tahun saat diberi kekuasaan untuk mengambil alih pemerintahan ayahnya.
Hizkia telah melihat akibat dari dosa-dosa serta korupsi ayahnya dan ia membenci hal tersebut. Ia bertekad untuk mengubah segalanya dan membawa bangsanya kembali kepada Allah. Jika kita merenungkan warisan kondisi kacau dari pemerintahan ayahnya, mungkin kita menduga takkan banyak yang dapat diperbuatnya. Namun, kita keliru. Dalam waktu singkat situasinya berubah total. Hizkia membuat dampak yang mengagumkan demi Allah.
Dari hidup Hizkia, kita akan melihat bahwa ada beberapa prinsip dasar yang menjadi ciri khasnya dalam membuat perubahan itu terjadi, di antaranya dijelaskan berikut ini.
Kesungguhan Hati
Prinsip pertama dalam membuat dampak demi Allah adalah kesungguhan hati. "Dalam setiap usaha yang dimulainya untuk pelayanannya terhadap rumah Allah, dan untuk pelaksanaan Taurat dan perintah Allah, ia mencari Allahnya. Semuanya dilakukannya dengan segenap hati, sehingga segala usahanya berhasil" (2 Tawarikh 31:21).
Nasihat serupa dari Rasul Paulus, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia" (Kolose 3:23). Salomo juga mengatakan, "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi" (Pengkhotbah 9:10).
Dari ayat-ayat di atas kita dapat melihat bahwa Allah menginginkan manusia yang antusias serta bersemangat. Namun, di zaman kita ini seringkali kita tidak menemukan kesungguhan hati. Hampir setiap hari kita mendengar, "Santailah", "Jangan bekerja terlalu keras", atau "Jangan keterlaluan mengerjakannya". Yang berbahaya adalah bahwa kurangnya kesungguhan hati ini dapat juga menjangkiti pemimpin Kristiani. Jika demikian, karyanya akan biasa-biasa saja bahkan gagal.
Seorang pemimpin harus merenungkan fakta berikut ini. Ia bukan saja sedang membangun untuk masa sekarang melainkan juga untuk masa depan. Jika hatinya suam-suam kuku, bagaimana masa depannya nanti? Bagaimana orang-orang yang dilatihnya nanti? Akankah hati mereka berkobar-kobar dengan semangat bagi Allah? Jika hatinya hanya suam- suam kuku, jawabannya adalah tidak. Karena hanya apilah yang akan mengobarkan api.
Kesungguhan hati serta semangat adalah luapan dari kasih yang membakar dalam hati seorang pemimpin. Dari sana ia menyebar ke hati serta hidup orang lain yang turut merasakan kobarannya. Ada orang yang menganggap bahwa seorang pemimpin harus "dingin" agar tidak membuat pengikutnya takut. Bukan begitu. Jika seorang pemimpin memainkan permainan manusia, yang lain akan turut bermain. Hukum yang terutama masih berlaku, "Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu" (Markus 12:29-30).
Pikiran yang Tidak Bercabang
Hal kedua yang perlu kita amati dalam kehidupan Hizkia adalah pikirannya yang tidak bercabang. Ia berkonsentrasi pada tugas utamanya.
"Pada tahun pertama pemerintahannya, dalam bulan pertama, ia membuka pintu-pintu rumah Tuhan dan memperbaikinya. Ia mendatangkan para imam dan orang-orang Lewi, dan mengumpulkan mereka di halaman sebelah timur. Katanya kepada mereka: `Dengarlah, hai orang-orang Lewi! Sekarang kuduskanlah dirimu dan kuduskanlah rumah Tuhan, Allah nenek moyangmu! Keluarkanlah kecemaran dari tempat kudus!`" (2 Tawarikh 29:3-5).
Pikirannya tidak bercabang, entah oleh kesulitan-kesulitan yang luar biasa, olokan, ataupun penentangan.
Dari Alkitab kita dapat melihat hal-hal yang menjadi alasan untuk tidak memiliki pikiran yang bercabang.
Semangat Juang
Selain pendekatannya yang segenap hati serta dengan pikiran yang tidak bercabang, Hizkia juga memperlihatkan semangat juang yang luar biasa. Terlepas dari kesulitan-kesulitan yang luar biasa yang dihadapinya, ia terus maju dengan antusias serta penuh iman. Utusan- utusannya diejek oleh sementara orang. "Ketika pesuruh-pesuruh cepat itu pergi dari kota ke kota, melintasi tanah Efraim dan Manasye sampai ke Zebulon, mereka ditertawakan dan diolok-olok" (2 Tawarikh 30:10). Apakah hal itu menghambatnya? Sama sekali tidak. "Demikianlah perbuatan Hizkia di seluruh Yehuda. Ia melakukan apa yang baik, apa yang jujur, dan apa yang benar di hadapan Tuhan, Allahnya" (2 Tawarikh 31:20).
Berikut semangat dasar yang kita lihat dalam hidup para pemimpin pilihan Allah dalam Alkitab.
Bagaimanakah sikap Paulus dalam melalui segala kesulitannya itu? "Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia" (Filipi 1:29).
Semangat juangnya tampak dari jawabannya. "Tetapi kami berdoa kepada Allah kami, dan mengadakan penjagaan terhadap mereka siang dan malam karena sikap mereka" (Nehemia 4:9).
Lagi-lagi para musuhnya menyerang agar Nehemia gagal mencapai tujuannya, dan setiap kali ia menang.<
Inilah yang menjadikan hamba-hamba Kristus di zaman Perjanjian Baru begitu menonjol. Mereka memiliki semangat juang seperti prajurit- prajurit Allah yang setia. Mereka seperti "dua orang yang telah mempertaruhkan nyawanya karena nama Tuhan kita Yesus Kristus" (Kisah Para Rasul 15:26). Apakah ini mencirikan kepemimpinan Kristiani di zaman sekarang? Dalam beberapa kasus, ya, namun terlalu sering kita memandang daya intelektual serta prestasi pendidikan seseorang sebagai puncak dari segala kebaikannya.
Di awal hidupnya sebagai umat Kristiani, apa yang akan diderita Rasul Paulus diperlihatkan. "Tetapi firman Tuhan kepadanya [Ananias]: `Pergilah, sebab orang ini [Paulus] adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku`" (Kisah Para Rasul 9:15-16). Ia diperlihatkan hadiah yang akan disediakan baginya, namun diperlihatkan juga harga yang harus dibayarnya. Ia tahu harga menjadi murid Yesus.
Belakangan ia mengatakan, "Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia .... Selanjutnya janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena pada tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus" (Galatia 6:14,17). Jika ingin melawan musuh-musuhnya, sang rasul memperlihatkan tanda-tanda di punggungnya.
Umat Kristiani di zaman dulu menghadapi bahaya, cambukan, serta singa. Mereka benar-benar pahlawan dalam arti yang sebenarnya. Sedangkan kita menghadapi tombol tekan, televisi, serta karet busa. Semoga Allah memberi kita daya tahan serta iman yang sama seperti yang dimiliki oleh orang-orang pilihan Allah.
Jadi, ketiga hal inilah yang penting dalam memberikan dampak sebagai seorang pemimpin. Kita harus memiliki kesungguhan hati, pikiran yang tidak bercabang, serta semangat juang yang tinggi. Program-program bisa saja berjalan tanpa ketiga hal ini, namun pemimpin yang hidupnya ingin digunakan oleh Allah untuk menghasilkan buah yang kekal harus memastikan dirinya memiliki ketiganya.
Sumber diringkas dari:
Judul buku | : | Jadilah Pemimpin Sejati | (Be The Leader You Were Meant to Be) | Penulis | : | Leroy Eims | Penerbit | : | Gospel Press, Batam Centre 2001 |