BAB XI

PENDEKATAN PERSUASI DAN SIKAP TANPA TOLERANSI

Dalam penyelidikan kita mengenai pelayanan Paulus di Athena, kita melihat bahwa dia menggunakan metode persuasi (membujuk dan meyakinkan orang) ketika mengabarkan Injil. Penginjilan dalam Perjanjian Baru seringkali digambarkan secara detail sebagai persuasi (Kisah Para Rasul 17:2-4; 18:4, 13; 24:25; 26:28; 28:23,24). Kata "peitho" , yang digunakan hampir di dalam setiap contoh, memiliki arti: "untuk menerapkan bujukan; untuk membujuk; untuk memenangkan; untuk meyakinkan, untuk mengubah pikiran dengan mempengaruhi pertimbangan akal dan moral." {1}

Persuasi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Donald McGavran mengingatkan kita bahwa persuasi ini merupakan "dasar dari semua pengajaran, kemajuan dan kegiatan perdagangan."{2} Dua hari sesudah kematian Indira Gandhi yang tragis, koran berbahasa Inggris di Sri Lanka membuat pernyataan mengenai Indira Gandhi sebagai berikut, "Gagasan hari ini": "Kita adalah sebuah negara demokrasi. Kita harus meyakinkan orang-orang daripada memaksa mereka. Kita harus membawa suatu perubahan dalam penampilan luar orang melalui pendidikan dan persuasi."

Mahatma Gandhi pernah berkata kepada Stanley Jones, "Jangan coba-coba mempropagandakan imanmu; yang penting jalanilah. Jadilah seperti bunga mawar, yang tanpa kata-kata, secara diam-diam memancarkan aroma wanginya dan menarik perhatian orang." Dr. Jones menanggapi pernyataan itu dengan mengingatkan Gandhi bahwa ia adalah seorang propaganda terbesar, yang berusaha untuk mempropagandakan pandangannya mengenai kemerdekaan dan kebebasan pada Kerajaan Inggris dan kepada seluruh dunia."{3}

APAKAH PERSUASI MERENDAHKAN IMAN?

Ada banyak alasan mengapa orang menolak untuk menggunakan metode persuasi dalam penginjilan. Beberapa orang Kristen menolaknya, dengan mengatakan bahwa ketika kita menggunakan cara ini kita membuat kekristenan menjadi agama intelektual dan dengan demikian berarti merendahkan pentingnya iman. Tanggapan kita terhadap pernyataan ini adalah bahwa tujuan dari persuasi adalah untuk membuka pintu bagi orang dalam menjalankan dan melatih imannya. Iman adalah mempercayakan diri pada Allah berdasarkan pada fakta-fakta Alkitab. Kita harus menerima fakta-fakta ini sebagai kebenaran jika kita hendak melakukannya. Tuhan sendiri berkata, "Marilah, baiklah kita berpekara. Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju: sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:8). Orang-orang yang berdosa perlu menerima jalan Tuhan sebagai jalan yang terbaik dan benar sebelum mereka datang pada Tuhan untuk menerima pengampunan-Nya. Jadi, Allah perlu berpekara dengan mereka.

APAKAH PERSUASI MERENDAHKAN PEKERJAAN ROH KUDUS

Orang Kristen yang lain menolak metode persuasi sebab mereka merasa berjalan melawan ketergantungan mereka pada Roh Kudus dalam karya penginjilan mereka. Mereka mengatakan bahwa orang akan bertobat melalui pencerahan Roh, bukan melalui hikmat manusia. Untuk mendukung pendapat ini mereka menggunakan penjelasan Paulus dalam pelayanannya di Korintus: "Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh," (1Korintus 2:4).

Penekanan Paulus dalam 1Korintus 2:4 adalah bahwa jika bukan karena Roh Kudus yang bekerja melalui pengkotbah dan dalam hati pendengar, hikmat dan kefasihan berbicara pengkotbah sangat tidak efektif. Kita sangat menyetujui pendapat ini. Kotbah yang benar adalah "Berkotbah dalam Roh". (Preaching in the Spirit) judul buku yang sangat bagus mengenai kotbah karya Dennis Kinlaw. {4} Penginjil harus betul-betul yakin bahwa ia dipenuhi dengan Roh. "Pengurapan roh" merupakan salah satu kata penting dalam perbendaharaan kata penginjilan. Dr. W.E. Sangter membandingkan pengurapan roh dengan sebuah perahu yang berlayar dengan cepatnya sehingga kapal ini bergerak searah dengan angin segar dari Roh Allah. {5} Seorang yang mempunyai pengurapan roh, yang dikontrol, dikuasai dan diarahkan oleh Roh. Inilah yang membuat doa menjadi sangat penting dalam kehidupan penginjil dan pelayanan. Doa memperdalam ikatan kita dengan Roh dan membukakan pintu bagi kita untuk melakukan apa yang Dia harapkan dan agar Dia memberkati apa pun yang kita lakukan.

Sementara itu 1Korintus 2:4 mengabarkan keunggulan karya Roh Kudus, tetapi itu tidak mengurangi kebutuhan akan persuasi. Maksud Paulus di sini adalah untuk membandingkan kepercayaan terhadap Roh dengan kepercayaan terhadap hikmat manusia. Roh bisa menggunakan hikmat dan persuasi sebagai alat untuk menggambarkan pribadi Kristus. Alat yang digunakan tersebut mungkin adalah seorang pengkotbah Kristen. Sehingga meskipun dia bekerja giat menggunakan persuasi, pada dasarnya ini bukanlah tindakannya, melainkan karya Roh Kudus.

Paulus dalam ayat ini juga menggunakan cara yang retorikal seperti yang biasa digunakan di Alkitab untuk menunjukkan hal yang utama. Yesus berkata, "Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya" (Yohanes 12:47). Apa yang Tuhan maksudkan di sini adalah bahwa tujuan utama dari kedatangan-Nya adalah untuk menyelamatkan. Tetapi dalam ayat berikutnya Yesus menunjukkan bahwa penghakiman juga termasuk hal yang penting sebagai konsekuensi kedatangannya: "Barangsiapa menolak Aku dan tidak menerima perkataan- Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakim-Nya pada akhir jaman" (Yohanes 12:48). Sehingga meski pun Dia berkata bahwa Dia datang bukan untuk menghakimi, Dia melakukan penghakiman. Tetapi hal ini bukanlah alasan yang utama bagi kedatangan-Nya. Sama halnya dengan kotbah Paulus, karya Roh Kudus merupakan hal yang utama, dan bukan hikmat manusia dan persuasi. Tetapi dalam karya penginjilannya, Roh Kudus menggunakan hikmat manusia dan persuasi sebagai alatnya.

Lukas menggambarkan pelayanan Paulus di Korintus yang menunjukkan bahwa dia juga menggunakan persuasi di sana. "Dan setiap hari Sabath, Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang- orang Yahudi dan orang-orang Yunani" (Kisah Para Rasul 18:4; dan juga 18:13). Kenyataannya, pernyataan Paulus disampaikan bukan hanya dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi juga dengan keyakinan akan kekuatan Roh Kudus (1Korintus 2:4). Hal ini merupakan contoh yang tepat dari cara persuasi dan karya Roh Kudus yang dikombinasikan secara bersamaan dalam penginjilan. Para pendengar Paulus di Korintus melihat dengan jelas apa yang telah Roh Kudus lakukan di antara mereka. Ini merupakan "demonstrasi" di depan orang. Kata Yunani yang diterjemahkan "demonstration" digunakan untuk membuat alasan dalam berargumentasi di pengadilan. Sehingga karya Roh Kudus dapat diartikan sebagai alat persuasi.

Ayat ini juga mengingatkan kita bahwa persuasi terjadi tidak hanya melalui argumentasi logis dan rasional, tetapi juga melalui tindakan yang memberikan bukti-bukti dari realitas Injil. Itulah sebabnya mengapa "tanda-tanda dan mujizat" memainkan peranan penting dalam meyakinkan orang-orang non-Kristen untuk mempertimbangkan Kritus meski pun sebelumnya mereka tidak tertarik. Orang non-Kristen melihat kekuatan Allah dan mereka diyakinkan oleh bukti yang nyata tentang Dia. Di waktu yang lain mungkin pendengar merasakan realitas Allah melalui suatu cerita. Cara ini akan bekerja lebih efektif pada orang- orang yang tidak berlatar belakang Barat.

Argumentasi logis bukan merupakan cara yang biasa digunakan oleh orang-orang Timur untuk memahami kebenaran. Pembelaan Injil yang sempurna, yang menggunakan logika yang benar-benar beralasan, bisa membuat orang desa dari Sri Langka yang beragama Budha tidak terkesan sama sekali. Kisah Yesus saat menyembuhkan orang buta, Bartimeus, bisa membangkitkan minatnya dan membuatnya ingin mengetahui lebih dalam lagi kebenaran tentang kasih Kristus. Dan hal ini bukan karena dia seorang penduduk yang rendah atau tak terpelajar, tapi karena dia lebih terhormat dan terpelajar dalam kategori yang berbeda. Satu cara berbeda, tapi tidak lebih baik dari yang lain.

Tentu saja, apa pun bentuk persuasi yang digunakan setiap orang, pemberitaan Injil tidak akan lengkap jika fakta-fakta Injil tidak diberitakan. Oleh karena itu, kita harus benar-benar beriman dalam bersaksi kepada orang lain.

APAKAH PERSUASI MENGGAMBARKAN SIKAP TANPA TOLERANSI?

Beberapa orang menolak persuasi sebab mereka melihatnya sebagai cermin dari sikap yang tidak bertoleransi. Penolakan ini mungkin dapat dimengerti, berdasarkan suasana kita saat ini. Agama-agama lain merasakan pembaharuan dan semangat penginjilan yang baru. Dalam lingkungan yang kita tuju, percayalah bahwa iman Kristen itu unik dan berusahalah untuk meyakinkan semua orang untuk menerima iman ini. Kita tidak boleh terkejut jika orang yang beriman lain menyerang pernyataan kita. Kelompok yang lain, yang akan menghormati pernyataan kita yang mutlak mengenai Kristus dan yang merasakan adanya persuasi sebagai akibat tidak adanya toleransi, merupakan orang-orang yang terbawa dalam suasana relatif, suatu sikap yang memimpin masyarakat modern. Pendeta Stephen Neil telah mengatakan bahwa dalam lingkungan seperti ini "toleransi dihormati hampir sebagai kebajikan tertinggi". {6}

Namun keunikan Kekristenan, di luar pelayanan persuasi yang ada, merupakan suatu hal yang tidak dapat disingkirkan, karena ini termasuk dalam hakekat Kekristenan. Ahli sejarah dari Inggris, Arnold Toynbee, menerima kenyataan bahwa hakekat kekristenan adalah percaya pada keunikan yang dimilikinya. Tapi dia menambahkan bahwa bagaimanapun sulitnya, kita harus membersihkan Kekristenan dari pemikiran eklusif ini. Pendeta Neill menyebut ini sebagai "argumentasi yang sangat aneh". Dia mengatakan, "Jika kekristenan membersihkan bagian keunikannya, ini akan membawa perubahan secara menyeluruh dari bentuk semula". {7} Dia mengatakan hal ini sama halnya dengan mencoba memindahkan klorin dari larutan hidroklorik. Jika Kekristenan tetap dipertahankan sebagai Kekristenan, dia harus menegakkan kepercayaan mengenai keunikannya.

Yesus Kristus menyatakan dirinya sebagai kebenaran (Yohanes 14:6). Sehingga segala sesuatu yang bertentangan dengan pernyataan-Nya tidak dapat dibenarkan dan harus dibiarkan begitu saja. Pendeta Neill menyebut hal ini sebagai "ketidaktoleransian yang mengerikan dan penting dari kebenaran." {8}

Jika seseorang membangun hidupnya pada suatu ketidakbenaran, kita mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dia pada kebenaran. Dan ini artinya mengajak dia untuk membuang ketidakbenaran dan menggantikannya dengan kebenaran. Jika kita melihat seseorang yang mencoba untuk minum campuran sianida yang berbahaya, percaya bahwa hal itu tidak berbahaya, maka kita tidak dapat mengabaikan kondisi itu dengan mengatakan bahwa ini merupakan kehendak pribadi yang dilakukannya dan kita tidak boleh ikut campur. Kita akan berusaha semampu kita untuk membujuk dia agar tidak meminum campuran berbahaya itu. John Scott bertanya, "Bagaimana orang Kristen secara intelektual dapat mentoleransi pendapat yang benar-benar salah dan tindakan yang tidak baik?" Dia menamakan ini sebagai "kesenangan yang tak berprinsip." {9} Kesamaannya, kepercayaan kita dalam iman lain yang tidak efektif, dan iman Kristen yang efektif membawa keselamatan memaksa kita untuk membujuk dan meyakinkan orang mengenai kebenaran dari Injil Kristus.

IMPOSITION DAN MANIPULASI

Ketika Alkitab menegakkan nilai persuasi, Alkitab juga menyarankan kita untuk memperlakukan seseorang dengan hormat. Petrus menggambarkan keharmonisan antara persuasi dan hormat dengan baik, "Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggung jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggung jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu" (1Petrus 3:15). Ini menggambarkan persuasi. Dan kemudian Petrus meneruskan perkataannya, "tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat". Sehingga orang Kristen itu tidak bertoleransi pada hal yang tidak benar tetapi menaruh hormat pada tiap-tiap orang.

Kita bertindak pada tata cara yang benar-benar tidak menaruh hormat secara penuh ketika kita menggunakan imposition dan manipulasi dalam penginjilan. John Stot mendefinisikan "imposition" sebagai "perang salib untuk memaksa orang-orang melalui undang-undang yang mengharuskan untuk menerima cara Kristen."{10} Kita dapat memberitakan Injil dengan kekuasaan, tetapi kita tidak boleh menggunakan kekuatan untuk memaksa orang. Donald Mac Gavran mengatakan, "Orang yang tidak bertoleransi adalah orang yang tidak hanya percaya bahwa mereka benar secara mutlak, tetapi menolak orang lain untuk memegang kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaannya. Orang yang tidak bertoleransi memaksa orang untuk percaya seperti yang mereka lakukan."{11)

Seringkali dalam sejarah gereja, orang Kristen telah merasa bersalah karena menggunakan tindakan kekerasan dan pencabutan undang- undang yang memaksa orang lain untuk menerima Injil. Stott menyebutkan penyelidikan di Eropa sebagai contoh dari "imposition". Hal ini merupakan pengadilan yang dibentuk oleh Gereja Katolik Roma di abad 13 untuk melawan klenik dan dilakukan selama hampir enam abad. Setelah pengadilan mereka, "Aliran sesat dibinasakan dengan pengucilan, hukuman penjara atau penyitaan barang atau diserahkan ke negara untuk dibakar hidup-hidup."{12} Sejarah kolonialisme juga menjelaskan adanya contoh yang patut disayangkan yaitu adanya bentuk pemaksaan dari Kekristenan di daerah non-Kristen yang mendapat dukungan dari undang- undang kolonial. Sikap Alkitab adalah menghormati kebebasan individu untuk memilih Tuhan yang akan disembah. Tuhan telah menjamin hal ini dengan memberikan kebebasan pada manusia untuk menerima atau menolak Injil. Tuhan tidak memaksakan keinginannya pada setiap orang.

Tindakan yang penuh tidak hormat kedua yang berhubungan dengan persuasi adalah "manipulasi". Hal ini sungguh menyedihkan untuk diceritakan, dan masih biasa dilakukan dalam penginjilan. Berikut ini kita akan membahas tiga jenis manipulasi. Pertama, manipulasi terjadi ketika Injil diberitakan dengan janji pertolongan atau pendidikan sebagai suatu insentif pada siapa pun yang mau menjadi "Kristen". Hal ini sudah menjadi tanggung jawab orang Kristen untuk membantu orang dalam nama Kristus. Tetapi mereka tidak boleh menggunakan hal ini sebagai maksud utama untuk memikat orang membuat komitmen pada kekristenan hanya karena adanya harapan pertolongan. Perhatian kita seharusnya ditunjukkan pada orang lain, menghormati bila mereka datang pada Kristus atau tidak, dan mereka seharusnya mengetahui hal ini.

Samuel Mendis merupakan salah seorang penginjil besar Sri Langka yang melayani di antara orang-orang miskin. Meskipun dia sendiri hidup sebagai orang miskin sepanjang hidupnya, dia menggunakan dana dari beberapa organisasi Kristen untuk membantu menaikkan kondisi sosial ekonomi orang-orang yang dia layani. Dia juga penuh percaya kepada imannya mengabarkan Injil keselamatan pada mereka. Kenyataannya ini merupakan tujuan utamanya. Tetapi dia tahu, sebagai orang Kristen dia tidak boleh mengabaikan kebutuhan yang lain. Akhirnya, selama melakukan penginjilan, dia seringkali meyakinkan orang-orang di depan umum bahwa tidak ada hubungan antara pemberian bantuan dengan penerimaan mereka pada Injil. Saya percaya akan ada lebih banyak lagi yang membuat keputusan untuk menerima Kristus, jika ada hubungan yang dekat antara pemberian bantuan dan penerimaan Kristus. Memang hal ini membuat mereka menjadi "Kristen" tetapi mereka tetap melayani Mamon bukan Tuhan!

Kedua, manipulasi yang terjadi ketika kita mengendalikan emosi orang-orang pada taraf tertentu sehingga mereka meresponi ajakan kita untuk mengikuti Kristus tanpa melibatkan pikiran dan keinginan mereka. Karena emosi merupakan bagian penting dalam pribadi seseorang, maka emosi harus dilibatkan dalam mengambil suatu keputusan untuk mengikut Kristus, di mana keputusan tersebut harus melibatkan seluruh kehendak dan akal manusia secara menyeluruh. Tapi ada masa dimana hanya emosi saja yang terlibat dalam memutuskan hal ini. Emosi tidak akan menghasilkan komitmen yang sungguh-sungguh pada Kristus. Sehingga saat kotbah kita menyentuh emosi, kita hendaknya berhati-hati untuk tidak berlebih-lebihan, khususnya di akhir kotbah pada waktu kita mengundang orang untuk meresponi panggilan Kristus.

Bahaya dari keputusan yang berkembang karena emosi pada Kristus juga tampak di kamp penginjilan pemuda, dimana orang yang tidak memiliki komitmen dibombardir dengan Injil siang dan malam yang dijadikan satu dengan program olah raga, drama, kepemimpinan dan kesenangan. Pemuda yang tidak memiliki komitmen sungguh-sungguh tidak akan memiliki banyak waktu untuk merenungkan diri secara mendalam pada pesan yang telah dia terima. Dia terjebak dalam kegiatan Kekristenan dan kepemimpinan yang membakar hati. Dia lelah secara fisik dan emosi. Undangan diberikan beberapa kali dalam sehari, dan akhirnya dia mengalah, tapi tidak melibatkan seluruh pribadinya. Ketika dia kembali ke dalam kehidupan normal, dia menyesali keputusan yang dia buat dan seringkali kembali pada kebiasaan lamanya. Oleh karena bahaya inilah, maka di dalam kamp penginjilan YFC, kami telah memperkenalkan waktu untuk bersantai yang lebih lama dan mengurangi jumlah ajakan untuk menerima Kristus. Dengan cara ini kami telah mencoba untuk mengurangi jumlah orang-orang yang mengambil keputusan untuk mengikut Kristus karena terlalu dipengaruhi oleh emosi dan suasana dalam kamp penginjilan.

Contoh ketiga mengenai manipulasi disebut dengan "mind bending". Disini seseorang dipengaruhi oleh pemimpin kelompok sehingga pada tingkat tertentu membuat dia menyerahkan otonominya pada pengaruh lain. "Mind bending" seringkali dipraktekkan oleh aliran sesat. Hal ini bisa berupa pencucian otak, dimana indoktrinasi sistem digunakan sehingga pikiran dipaksa untuk memikirkan hal-hal tertentu. "Mind bending" juga terjadi ketika seseorang yang berkepribadian kuat sangat memaksakan cara pandangnya sehingga seseorang menerima karena dia tidak memiliki kuasa untuk menentangnya. Pemimpin dengan kepribadian kuat harus berhati-hati dalam mengontrol pikirannya pada orang lain. Hal inilah yang membuat Adolf Hitler dapat mengendalikan orang Jerman. Orang semacam ini perlu mengendalikan dirinya sendiri untuk menjamin bahwa orang yang dipengaruhi dapat mengambil keputusan secara bebas dalam meresponi kebenaran.

KUASA PADA MASA KETIDAKPASTIAN

Pada dasarnya masalah persuasi dalam penginjilan merupakan suatu keyakinan bahwa kita memiliki pesan yang jelas, yang kita tahu kebenarannya dan yang dapat kita beritakan dengan penuh kuasa. Dalam penginjilan apa yang kita beritakan bukanlah pesan yang kita ciptakan namun kuasa dari Firman Allah, yang secara jelas telah diberitakan di dalam Alkitab.

Namun, ada hal yang menyebabkan penginjilan terhalangi, yaitu adanya penginjil yang berbicara dengan keras pada topik dimana Alkitab tidak mengungkapkannya dengan jelas. Sudah sering terjadi bahwa pesan dalam penginjilan berkaitan erat dengan pola khusus eskatologi, dengan ideologi politik tertentu atau dengan program sosial. Di mana waktu, pola, program yang ditunjukkan oleh pembicara tidak benar. Misalnya mengenai kedatangan Kristus, Kristus tidak datang kembali pada hari yang telah ditentukan. Lalu beberapa pemerintah sayap kanan atau kiri gagal untuk memecahkan masalah bangsa. Juga doktrin dari kekuasaan Aryan dibuktikan menjadi suatu mitos roh jahat.

Setiap orang memiliki hak untuk memberikan pendapatnya pada topik yang diberikan. Tetapi masing-masing pendapat mungkin tidak secara langsung diambil dari Alkitab. Kita harus berbagi dengan otoritas semua kebenaran yang digambarkan secara langsung oleh Alkitab. Kebenaran ini mungkin terdapat di alam spiritual, seperti keinginan manusia untuk berhubungan dekat dengan Tuhan. Atau mereka mungkin berada dalam kehidupan sosial, seperti Tuhan membenci rasialisme. Atau mungkin berada dalam alam lain. Tetapi jika dalam Alkitab tidak ada pengajaran yang jelas mengenai sesuatu, kita tidak boleh mengakui bahwa hal ini merupakan kuasa Alkitab.

Banyak penghancuran terjadi melalui orang yang salah menggunakan prinsip ini dengan memberitakan dengan kuasa pada masalah yang tidak dilatarbelakangi kuasa oleh Firman Allah. Beberapa orang yang melihat penyalahgunaan dari kuasa ini, telah berhenti percaya pada kemungkinan untuk mengetahui kebenaran yang mutlak. Banyak orang telah dikecewakan dan berbalik sinis setelah melihat kenyataan mengenai kesalahan dari "kebenaran yang mutlak" yang mereka ajarkan. Keberbalikan mereka dari kebenaran mutlak membantu mereka dalam menyesuaikan dengan suasana ketidakpastian yang memerintah sepanjang umur kita.

Suasana ketidakpastian dimana kita hidup telah melakukan banyak hal untuk menurunkan kemutlakan yang tidak sehat di gereja. Orang- orang menjadi merasa tidak aman ditengah-tengah ketidakpastian dan kurangnya pendirian di antara mereka, yang membuat mereka bereaksi yang berlebihan dengan hampir memuja tindakan untuk percaya. Mereka merasa jawaban atas ketidakpastian yang ada di sekitar mereka adalah dengan berbicara secara berapi-api tentang segala sesuatu. Proses itu akhirnya menghilang seluruhnya -- absolutisme yang tidak ditemukan menciptakan kesinisan dan sikap tidak pasti, yang telah diresponi oleh lebih banyak lagi kemutlakan yang tidak ditemukan.

Tuhan dalam kekuasaannya belum memperlihatkan semua kekayaan akan nasehat-nasehatnya pada kita. Dia telah cukup memberikan pada kita untuk hidup secara berkelimpahan. Tetapi Dia tidak memberikan pada kita jawaban yang jelas untuk pertanyaan lainnya, misalnya hari yang jelas kapan Kristus datang kembali. Kita tidak perlu takut untuk mengatakan bahwa kita tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Saya pernah mendengar orang berkata, "Pendirian yang dimilikinya mungkin salah, tetapi setidaknya dia yakin dengan apa yang dia percayainya itu." Mereka berpikir kepercayaan patut dihargai meskipun hal itu tidak beralasan. Mengenai hal ini, orang Kristen harus berhati-hati dalam bertindak. Komitmen orang Kristen yang Alkitabiah merupakan suatu kebenaran dan bukan tindakan yang utama untuk percaya. Kita berkomitmen untuk percaya pada kebenaran dan bukan pada yang lainnya. Kita tahu bahwa Tuhan telah menyatakan kebenaran yang tidak salah, dan mutlak yang diinspirasikan dalam Alkitab. Dan Alkitab ini merupakan pernyataan yang lengkap, di mana di dalamnya ditemukan segala sesuatu yang penting untuk melengkapi iman dan dalam penerapannya (2Timotius 3:16, 17). Tetapi ini bukanlah suatu pernyataan ensiklopedia, sehingga Alkitab tidak menjelaskan semuanya pada kita, seperti kapan Yesus datang kembali. Sehingga Alkitab penting bagi gereja untuk bergulat dengan topik-topik masa sengsara, hubungan antara gereja dan negara, serta bentuk pembabtisan. Namun, solusi bagi masalah semacam ini tidak berlaku bagi kehidupan yang lengkap. John Wesley, Charles Spurgeon, dan D.L. Moody memiliki pandangan yang berbeda mengenai Milenium, tetapi mereka bertiga merupakan murid yang sangat berhati-hati mengenai Firman Tuhan, orang Kristen yang besar, dan penginjil yang efektif.

Sehingga kita tidak perlu takut untuk mengakui ketidakpastian mengenai sesuatu dan mengenai gagasan yang tidak terpakai yang kita pegang, yang kemudian akan kita temukan sebagai ketidakbenaran. Batas ketidakpastian ini menuju hal yang remeh dalam terang keyakinan yang mulia dari Injil. Kita percaya pada kepastian ini dengan sepenuh hati kita. Kita telah mengalami pengaruh yang membawa perubahan baru dalam hidup kita. Kita tahu mereka tidak salah, sehingga kita tidak menantang untuk merusakkannya. Ketidaksalahan mengenai kebenaran ini juga membuat kita tidak merasa takut untuk memberitakannya dengan sungguh-sungguh dan tanpa keragu-raguan atas segala sesuatu yang tidak ditulis dengan jelas di Alkitab.

Kita tahu bagaimana kuasa Tuhan menyertai pemberitaan mengenai kepastian ini dan menerangi yang buta, dan mempercepat kematian rohani, memberi rasa nyaman pada kesedihan dan melepaskan rasa bersalah para pendosa. Jadi, tidak ada salahnya jika kemudian Paulus menyatakan, "Aku harus memberitakan Injil. Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil!" (1Korintus 9:16)

Orang Kristen mendekati orang yang belum percaya dengan penuh kuasa, suatu kuasa yang tidak ada dalam mereka, tetapi kuasa yang secara penuh diterima dari Tuhan, yang firman-Nya dia beritakan. Dengan kuasa semacam ini, orang Kristen dapat merasa yakin dalam mempraktekkan pelayanan secara persuasi. Orang Kristen tidak perlu ragu-ragu untuk memanggil orang yang belum percaya agar meninggalkan masa lalunya dan mengikuti Kristus sebagai satu-satunya Tuhan walaupun hal ini memerlukan kemauan besar untuk setiap langkahnya.

Catatan:

1. W.E. Vine, "An Expository Dictionary of New Testament Words", Vol III (Old Tappan, N.J.: Fleming H. Revell Co., 1940).

2. Arthur F. Glasser and Donald A. McGavran, "Contempory Theologis of Mission" (Grand Rapids: Baker, 1983), hal. 231.

3. Terdapat dalam J.T. Seamands, "The Supreme Task of The Church" (Grand Rapids: Eerdmans, 1964), hal. 77.

4. Dennis F. Kinlaw, "Preaching in the Spirit" (Grand Rapids: Zondervan, 1985).

5. W.E. Sangster, "The Approach to Preaching" (1951; reprint, Grand Rapids: Baker, n.d.), hal. 24-37.

6. Sthepen Neill, "Crises of Belief" (London: Hodder and Stoughton, 1984), hal. 30.

7. Stephen Neill, "Creative Tension" (London: Edinburgh House Press, 1959), hal. 11.

8. Terdapat dalam buku yang sama, hal. 12.

9. John R. W. Stott, "Involvement: Being a Responsible Christian in a Non Christian Society", vol. 1 (Old Tappan, N.J.: Fleming H. Revell Co., 1984, 1985), hal. 78.

10. Terdapat dalam buku yang sama, hal. 75.

11. McGavran, "Contemporary Theologis", hal. 224

12. Stott, "Involvement", hal. 75.