BAB VII

MENGENAL AGAMA-AGAMA LAIN

Dalam kotbahnya kepada orang-orang Athena, Paulus mendapat ijin untuk mengutip dua syair dari dua penyair non-Kristen, dengan cara menyanjungnya (Kisah Para Rasul 17:28). Tindakan Paulus ini mengandung banyak dampak penting, beberapa di antaranya yang akan kita bahas dalam bab ini.

MENGUTIP PENGARANG NON KRISTEN

Yang perlu kita tekankan dalam bab ini adalah pertama, meskipun Paulus telah mengutip ungkapan dua penyair bangsa Athena, bukan berarti bahwa Paulus menerima sistem agama dari filsafat mereka. Paulus menunjukkan adanya "bias kebenaran" pada sistem filsafat mereka yang bisa menunjang dasar Kekristenan.{1} Pendengar Paulus sudah terbiasa dengan filsuf tersebut dan bahkan menerima mereka sebagai guru. Dalam hal ini Paulus melihat bahwa dalam proses penginjilan dirinya dapat menggunakan sesuatu dari apa yang pernah mereka katakan.

Demikian pula halnya dalam penginjilan kita, seperti yang telah dikatakan F.F. Bruce, "Kita boleh saja mengutip kata-kata dari penulis atau pengkotbah yang terkenal tanpa harus tunduk pada konteks dan latar belakang pemikiran orang tersebut."{2} Kita juga boleh menggunakan sindiran yang dipakai seniman saat kita membicarakan kehadiran Kristus yang nyata. Demikian pula dalam kita menyatakan kematian Tuhan Yesus sebagai harga yang harus dibayar untuk menebus dosa manusia, kita bisa menggunakan desakan bahwa kesalahan harus ditebus, banyak agama yang mengajarkan hal yang sama.

MENEMUI MEREKA DENGAN HORMAT

Dengan mengakui keunggulan filsuf Yunani, Paulus memberi kita prinsip penting mengenai sikap orang Kristen terhadap iman agama lain. Stephen Neill menjelaskan, "Kita harus berusaha menemui mereka dengan hormat."

Neill membandingkan pendekatan ini dengan pendekatan lain yang dengan mudah mengambil nilai dari agama lain dengan cara "membandingkan kebaikan agamanya dengan kelemahan-kelemahan agama lain." Ada orang-orang yang mencoba menyampaikan Kekristenan dengan membahas kegagalan dari orang-orang non-Kristen. Dan mereka menunjukkan bahwa Kekristenan merupakan jawaban bagi perilaku yang tidak baik orang-orang non-Kristen.

Pada tahun 1983 terjadi bentrokan di Sri Lanka dimana banyak orang Budha yang memegang peranan. Beberapa orang Kristen menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan agama Budha. Tetapi saat orang-orang mendapat penjelasan yang lebih lanjut mengenai kejadian tersebut, ternyata terdapat orang Kristen yang juga terlibat dalam bentrokan tersebut. Keterlibatan orang Kristen tersebut tidak menonjol seperti orang Budha, karena orang Kristen merupakan kelompok minoritas di Sri Lanka. Disamping itu, jika kita menggunakan pendapat ini, yang harus dilakukan oleh seluruh orang Budha adalah sama seperti situasi Nazi di Jerman. Kita tidak boleh menyamakan orang Nazi dengan orang Kristen. Tetapi mereka termasuk anggota gereja sehingga orang lain yang tidak tahu akan tetap mengatakan bahwa orang Nazi adalah orang Kristen. Kejadian semacam ini tentu saja akan melemahkan dan merugikan Kekristenan.

"Kekejaman" dari dunia non-Kristen pada masa lalu digunakan untuk memotivasi orang Kristen agar terlibat dalam misi pelayanan. Dan pada masa sekarang ini orang-orang non-Kristen menggunakan pendekatan yang sama untuk pelayanan yang disebut Kekristenan bangsa Barat. Orang Budha percaya bahwa pengendalian moral adalah jawaban dari kebejatan moral yang terjadi di dunia Barat. Sementara itu orang Hindu percaya bahwa ketaatan Hindu adalah jawaban dari materialisme yang terdapat di dunia Barat. Kemudian orang Islam percaya bahwa persaudaraan Islam adalah jawaban dari kecurigaan ras yang ditemukan di dunia Barat.

Kita tidak memperdebatkan kebenaran kekristenan dengan menunjukkan kelemahan agama lain. Kita seharusnya mendiskusikan kehancuran umat manusia yang disebabkan karena dosa manusia dan bukan karena kegagalan agama-agama lain di dunia ini. Dosa ditemukan baik di lingkungan orang Kristen maupun di lingkungnan orang yang bukan Kristen. Mereka yang dilahirkan dari latar belakang Kristen perlu diselamatkan dari dosa mereka, demikian pula mereka yang dilahirkan dari agama lain.

Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa kita harus hati-hati dalam penginjilan kita dan jangan menyerang agama-agama lain. Kita harus menunjukkan kepada orang yang non-Kristen mengenai kepercayaan mereka tidak efektif dan tidak mampu menyelamatkan mereka. Paulus melakukan hal semacam ini dalam hubungannya dengan penyembahan berhala yang dilakukan oleh bangsa Athena. Kita juga dapat menunjukkan ketidak efektifan mereka dalam mencari keselamatan melalui materialisme, penyembahan berhala, dewa-dewa, dan usaha mereka sendiri. Tetapi kita juga harus mengingat bahwa kotbah penginjilan Paulus bukanlah suatu debat persaingan yang harus dimenangkan dengan cara apapun untuk menjatuhkan lawan. Kerinduan Paulus adalah untuk memberitakan kebenaran Injil. Apabila ada kebenaran lain yang ditemukan dalam kepercayaan agama lain, Paulus pun tidak takut untuk mengakuinya. Tetapi Paulus juga menunjukkan, seperti yang dia lakukan terhadap orang-orang Athena, bahwa kebenaran tertinggi dalam agama-agama ini tidak jauh berbeda. Paulus tahu bahwa kebenaran yang terdapat dalam agama lain tidak akan memberikan keselamatan yang kekal karena Kristus-lah satu-satunya jalan menuju keselamatan.

Hal ini disebabkan oleh kepercayaan kita akan keagungan Kristus, sehingga kita tidak perlu takut untuk mengakui kebaikan yang terdapat di dalam agama lain. Kristus adalah Tuhan itu sendiri. Pendiri agama lain merupakan seorang manusia yang juga mencari arti keilahian. Kristus adalah Allah sendiri yang menjadi manusia. Kristus berfirman, "Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" (Yohanes 14:9). Dia juga berfirman, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6).

Kita telah datang kepada Bapa melalui Kristus dan merasakan hidup dan kebenaran. Kita juga tahu bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak dapat dibandingkan dengan Kristus. Perlindungan Kristus pada kita membuat kita tidak perlu takut untuk mengakui kebaikan agama lain. Akan tetapi karena kita mengetahui bahwa hanya Kristuslah satu-satunya jalan keselamatan, maka kita juga harus mengajak orang lain datang kepada Kristus.

Kita tidak begitu terkejut dengan cara penginjilan Paulus yang berbeda dengan para filsuf Yunani yang dia kutip ucapannya. Saat Paulus menyampaikan kebangkitan Kristus ia memang kehilangan sebagian besar pendengarnya. Tetapi Paulus tidak akan memaksakan pendengarnya agar menyetujui kotbahnya.

BEBERAPA KESULITAN

Banyak orang Kristen saat mempelajari kebaikan agama lain menjadi tidak setia pada Injil. Beberapa generasi sesudah Paulus terdapat ahli-ahli apologetik Kristen yang mengikuti contoh Paulus dengan mengutip ucapan dari para penulis non-Kristen tetapi dalam proses tersebut mereka membuat dua kesalahan besar. Pertama, saat mereka mencoba mencocokkan diri mereka dengan pendengarnya, mereka justru berubah "menyerang" Kekristenan. Kedua, mereka menerima beberapa kebaikan agama lain dan menyamakan dengan Kekristenan. Mereka mencoba menerapkan kebenaran Injil dalam agama lain, tetapi berakhir dengan mengaburkan kebenarannya. Mereka menjadi sinkretis, seperti yang sering terjadi sekarang ini.

Beberapa orang Kristen yang lain mencoba mempelajari agama lain tanpa memiliki pengertian yang penuh mengenai keagungan Kristus. Selama mereka belajar, mereka terlalu menghargai pokok ajaran yang baik dari agama yang mereka pelajari, sehingga setelah berinteraksi dalam jangka waktu yang panjang dengan agama-agama lain tersebut, mereka merasa bahwa agama-agama non-Kristen sejajar dengan kekristenan. Akhirnya mereka mengorbankan keunikan Kristus.

Sedangkan beberapa orang lainnya, yang belum menghargai sepenuhnya keagungan Kristus, menjadi malu dan takut dalam bersaksi. Mereka belajar setia dan taat pada wahyu Firman Allah. Mereka mencoba untuk menyatakan Firman Tuhan tetapi memiliki keraguan untuk bersaksi bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan. Mereka kemungkinan setuju bahwa jalan Kristus adalah jalan yang terbaik. Tetapi mereka tidak memiliki kepercayaan diri untuk bersaksi pada orang non-Kristen dan mengajak mereka untuk bertobat serta mengikut Yesus Kristus. Sehingga kesaksian mereka meragukan dan sangat meragukan untuk mendorong seseorang pada pertobatan.

Karena ada beberapa orang Kristen yang belajar agama lain telah menyimpang dari kebenaran kekristenan, menyebabkan praktek Alkitabiah yang lebih utama dibanding kontektualisasi menjadi semakin tidak dihormati. Beberapa orang Kristen telah melenceng jauh dari ajaran agar tetap bersih dari ajaran agama lain. Kita disarankan untuk memberitakan Injil "dengan cara yang sudah biasa dilakukan". Sebenarnya hal ini juga merupakan bentuk kontekstualisasi yang dipengaruhi dengan penginjilan yang berani pada masa lalu. Tetapi bertahun-tahun kemudian terdapat kekosongan dalam pikiran manusia yang menyebabkan mereka beranggapan bahwa hanya cara Alkitabiah yang dapat diterima untuk melakukan penginjilan.

Sebagai contoh cara berpikir semacam ini dapat dilihat dalam Alkitab versi King James yang dihormati oleh banyak orang. Alkitab versi King James telah muncul kurang lebih 375 tahun yang lalu. Selama lebih dari 15 abad sebelum versi King James muncul, beberapa versi Alkitab yang lain sudah muncul, pada saat itu Injil sudah diberitakan dan banyak orang sudah menerima Kristus. Akan tetapi sampai sekarang masih ada orang yang mengira bahwa versi King James adalah satu- satunya terjemahan yang bisa diterima dari yang pernah ada, seolah- olah tidak ada terjemahan lain yang dapat memperbaiki versi King James ini.

Kita dinasehatkan bahwa untuk mengadaptasikan penginjilan kita kepada para pendengar adalah dengan berkompromi dengan mereka. Kalau kita melakukan penginjilan yang "sederhana dan apa adanya" maka orang akan datang pada Kristus karena kuasa Injil dan kedaulatan Tuhan.

Kritik-kritik mengenai kontekstualisasi ini mengambil suatu contoh, misalnya ada orang dari latar belakang non Kristen yang dalam waktu sekejab diubahkan melalui penginjilan yang sederhana. Saya dapat membuktikan banyak pertobatan semacam itu dan puji Tuhan. Tetapi kita akan salah kalau mengambil contoh kejadian seperti ini lalu membuat aturan mengenai penginjilan secara sederhana ini. Jelaslah bahwa kesaksian Alkitab, termasuk Yesus sebagai Saksi yang Agung, dapat dipraktekkan dalam penginjilan secara kontekstual. Kalau mereka melakukan maka kita pun harus bisa melakukannya!

MENGHINDARI KESULITAN

Mereka yang sudah menyimpang tidak dapat dipersalahkan karena mereka tidak berinteraksi dengan iman dan kepercayaan lain. Kesalahan mereka hanyalah saat mereka berinteraksi, mereka mengabaikan beberapa disiplin yang diperlukan dalam kehidupan Kekristenan. Ketika seorang tentara ada di garis depan peperangan, ia harus hati-hati dan menjaga beberapa disiplin dalam peperangan, sebab jika tidak hati-hati itu berarti membunuh dirinya sendiri. Disiplin ini merupakan bentuk kewaspadaan untuk menjaga keselamatan pribadi, kewaspadaan ini juga berguna dalam kehidupan biasa. Tetapi mereka menjadi lebih kritis dalam medan perang. Demikian pula bagi orang Kristen yang berani keluar dari "kepompong Kekristenan" saat beradaptasi dengan orang non- Kristen harus tetap memiliki kewaspadaan dan tetap bersandar pada ajaran Kekristenan.

Tiga ajaran yang akan kita bahas lebih lanjut di sini adalah Alkitab, Komunitas Kristen dan Amanat Agung.

  1. ALKITAB

    Yesaya 55:8,9). Sebab kita adalah manusia, kita mudah dipengaruhi oleh pikiran manusia daripada pikiran Allah. Pikiran manusia seringkali terasa lebih cocok secara alamiah dengan akal manusia daripada pikiran Allah, sehingga pikiran manusia perlu secara terus menerus dihadapkan dengan cara pikiran Allah, prinsip-prinsip dan nilai-nilai Allah. Kita hanya bisa mencapai hal ini melalui penjelajahan Alkitab yang panjang dan terus menerus. Alkitab harus senantiasa ada dalam suasana dimana kita hidup. Charles Spurgeon menjelaskan prinsip ini secara gamblang:

    "Diberkatilah kamu yang menikmati makanan rohani dari jiwa Alkitab, sampai akhirnya kamu dapat berbicara dalam bahasa Alkitab, dan rohmu berkata-kata dalam bahasa Roh Allah, dan darahmu adalah aliran Alkitab dan inti terdalam dari Alkitab mengalir dalam dirimu." {4}

    Satu-satunya cara untuk berpikir secara Alkitabiah adalah melalui makanan rohani dari Alkitab. Ini merupakan alasan mengapa Paulus memerintahkan Timotius, pada waktu dia mengajar Timotius tentang bagaimana menanggapi pengajaran sesat, yaitu Timotius harus memperlengkapi dirinya secara terus-menerus dengan kebenaran iman dari pengajaran yang benar (1Timotius 4:6). Orang yang belajar agama-agama lain, pertama-tama harus belajar Alkitab lebih dulu. Dengan latar belakang dan dasar pada penjelasan Alkitab maka dia boleh membuka diri bagi pengajaran agama-agama lain.

    Kita juga mengatakan bahwa hubungan kita dengan Firman Allah haruslah dinamis. Sebab Firman Allah adalah hidup dan kuat (Ibrani 4:12), sehingga pengaruhnya yang kuat itu juga harus hidup dan aktif dalam diri kita. Pada waktu kita bersama dengan Firman Allah sebenarnya merupakan percakapan kita dengan Tuhan, percakapan yang kita lakukan dengan hati dan pikiran terbuka, serta siap mendengar pesan yang disampaikan yang dapat mengubah hidup kita. Kita jangan mendekati Alkitab seperti seorang murid yang ingin mendapatkan fakta atau penjelasan. Kita mendekatinya seperti seorang bayi yang haus akan susu dan taat seperti hamba yang menunggu perintah apa yang akan dia lakukan. Jika bentuk hubungan kita dengan Alkitab seperti ini, maka Alkitab akan mengubah hidup kita, dan pikiran kita akan sehati dan sejalan dengan pikiran Allah.

    Kalau pikiran kita adalah pikiran Allah, kita akan melihat keunikan Kristus, sebab Firman Allah secara jelas menunjukkannya. Kita juga akan percaya penuh pada pewahyuan Allah dalam proses kontekstualisasi kita. Meskipun pesan yang kita sampaikan dengan kata- kata dan metode yang umum di lingkungan orang non-Kristen tetapi pesan yang kita sampaikan mengalir sepenuhnya dari kebenaran Alkitab. Salah satu contoh yang paling jelas di dalam Alkitab adalah pidato Paulus di Atena, yang sudah kita bahas sebelumnya, jelas sangat alkitabiah meskipun Paulus menggunakan kutipan-kutipan dan metode dari filsuf Yunani yang non-Kristen.

    Apakah kita menyerahkan kebebasan intelektual kita dengan mengikat pikiran kita pada batasan-batasan Alkitab? Tidak! Keputusan kita untuk mengikatkan diri kepada Alkitab adalah pilihan yang kita buat. Kita harus menerima fakta bahwa Alkitab berisi kebenaran, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan hal itu bukanlah suatu kebenaran. Pilihan semacam itu bukan merupakan pilihan yang buta, keputusan yang tidak masuk akal, tetapi berdasar pada bukti yang meyakinkan yaitu percaya pada kebenaran Alkitab, sesuatu yang jauh di luar jangkauan yang dapat kita bicarakan dan diperlihatkan dalam buku ini. Keputusan kita untuk hidup dalam ikatan Alkitab adalah pilihan yang bebas kita buat, pilihan yang kita percaya sebagai pilihan yang paling bijaksana yang kita buat.

    Logika dari pilihan ini dapat dijelaskan dari alam. Saya mempunyai kebebasan penuh untuk melompat dari sebuah tebing yang tinggi. Tetapi saya menghormati kekuatan grafitasi dan memutuskannya kapan akan melompat, saya mengikat diri saya sendiri dengan batasan-batasan kebijakan yang digariskan dalam hukum grafitasi. Saya tahu kalau melompat dari ketinggian tertentu saya akan cedera. Saya tidak merasa dihalangi atau terikat karena fakta ini. Ada lebih banyak hal yang menguntungkan daripada melompat dari sebuah tebing yang tinggi.

    Pilihan ini adalah sama dengan Alkitab. Saya telah memilih untuk mengikatkan pikiran saya pada batasan-batasan yang diijinkan oleh Alkitab. Tetapi Alkitab memiliki kekayaan yang tidak ada habis- habisnya. Kesempatan untuk berpikir secara kreatif di dalam batasan Alkitab sangatlah luas sehingga seorang yang kreatif pun akan lebih dari cukup untuk menelusurinya sepanjang ia hidup.

  2. KOMUNITAS KRISTEN

    Gereja di Antiokia adalah sebuah model mengenai kehidupan komunitas Kristen yang efektif dalam penginjilan. Ini adalah komunitas kreatif yang secara nekat memotong jalan orang lain yang berani melewati batas. Saya percaya bahwa tindakan mereka untuk membuka jalan bagi gerakan misi adalah suatu tindakan yang paling menggairahkan dalam sejarah umat manusia.

    Kita melihat bahwa di gereja Antiokia ada nabi-nabi dan guru- guru agama yang bekerja bersama-sama (Kisah Para Rasul 13:1). Nabi- nabi adalah orang radikal yang mengemukakan dengan berani, dan mencari usaha baru. Sedangkan guru-guru merupakan orang yang lebih konservatif dan menekankan kebenaran yang tidak tidak dapat diubah dan mendasar. Kedua tipe ini diperlukan untuk membentuk komunitas yang sehat. Satu dan yang lainnya saling melengkapi.

    Orang radikal seringkali tidak sabar terhadap orang yang konservatif, sehingga mereka menjadi mandiri. Tetapi dengan berbuat demikian mereka akan mengurangi pengayaan yang berasal dari komunitas kehidupan dan mengurangi kesempatan pelayanan yang efektif yang kekal. Kadang-kadang orang yang koservatif sangat berhati-hati sehingga mereka justru menentang pendapat yang telah dikemukakan dengan berani oleh para peramal-peramal.

    Golongan radikal dan konservatif dapat bekerja bersama-sama secara efektif kalau keduanya sadar bahwa mereka tunduk pada kuasa Firman Allah dan jika keduanya saling berbagi tujuan orientasi misi mereka. Kemudian, dari kombinasi pendapat kedua golongan ini, komunitas akan muncul, sementara yang tetap setia pada prinsip-prinsip Allah yang abadi, akan maju pada suatu pengalaman yang berani dan menantang untuk Kristus.

  3. AMANAT AGUNG

    Kesaksian adalah unsur yang sangat penting dalam kehidupan Kristen. Untuk itulah Kristus, setelah kebangkitan-Nya, terus menerus menekankan panggilan untuk pergi ke seluruh dunia. Pendeta Vedanayakam Azariah dari India biasanya mengundang orang-orang yang baru saja dibaptis untuk menempatkan tangan mereka ke atas kepala mereka dan menirukan ucapannya: "Aku seorang Kristen yang dibaptis; celakalah aku kalau aku tidak memberitakan Injil."{5} Kalau seorang tidak terlibat secara aktif dalam memenuhi panggilan Amanat Agung, berarti ia tidak taat kepada Kristus. Demikianlah, ia ada dalam tahap kemunduran. Sangat berbahaya bagi orang yang mundur imannya untuk merumuskan teologia dan metodologi gereja.

    Kerinduan untuk menulis buku ini muncul dalam diri saya kira-kira 11 tahun yang lalu ketika saya menjadi mahasiswa pasca sarjana di sebuah seminari teologi. Pada saat itu saya mengesampingkan kerinduan ini dengan dua alasan. Pertama, saya merasa saya tidak punya cukup pengalaman tentang agama-agama lain untuk menulis buku seperti itu. Kedua, mengetahui bahwa cara banyak orang yang sudah mendekati topik ini berakhir dengan hasil yang sangat mengecewakan, saya takut bahwa saya akan tersesat dari kesetiaan saya kepada wahyu Firman Allah dan kepada misi-Nya.

    Menulis selalu merupakan tanggung jawab yang besar. Saya percaya ketakutan untuk memberikan pimpinan yang salah pada orang lain merupakan ketakutan yang wajar sebagai seorang penulis. Tetapi kali ini, ketika saya merasa perlu bekerja pada proyek ini, saya tidak melepasnya karena takut. Saya percaya satu alasan untuk hal ini adalah bahwa saya sangat aktif terlibat dalam mengerjakan Amanat Agung.

    Selama sembilan tahun sekarang saya telah aktif dalam pelayanan yang berhubungan dengan penginjilan bersama dengan orang-orang non- Kristen. Saya sudah mengalami kuasa Allah yang bekerja dalam hidup saya. Saya telah diajarkan agar tidak gentar sebagai pembawa Injil Kristus. Ada rasa di mana sebagian besar kuasa Injil aktif bekerja ketika kita berani memberikan kesaksian sebagai orang Kristen. Pengalaman kuasa ini menghilangkan rasa malu saya tentang "skandal" dari Injil (Roma 1:16) dan itu menciptakan di kerinduan dalam hati saya untuk memberitakan Injil pada semua orang (Roma 1:14-16).

    Saya telah melihat sukacita mereka yang datang kepada Kristus dari agama yang lain. Saya cukup tahu kehidupan-kehidupan orang yang non- Kristen melalui kontak pribadi yang diyakini bahwa kebutuhan terbesar adalah keselamatan yang dibawa Tuhan Yesus. Keterlibatan dalam pekerjaan penginjilan meningkatkan kasih saya kepada orang yang non- Kristen dan juga memperdalam keyakinan saya tentang keunikan Kristus. Untuk alasan inilah saya tidak takut menyelidiki topik tentang sikap orang Kristen terhadap agama-agama lain.

    Jadi, kita tidak perlu takut berinteraksi dengan orang dari agama lain jika kita mendekatinya dengan latar belakang hidup dengan Firman Allah, persekutuan yang terbuka dengan komunitas Kristen dan komitmen yang aktif dalam Amanat Agung.

Catatan-catatan:
  1. I. Howard Marshall, "The Acts of the Apostles, The Tyndale New Testament Commentaries" (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), hal. 289

  2. F.F. Bruce, "First Century Faith" (Leicester: InterVarsity Press, 1977), hal. 45

  3. Stephen Neill, Crises of Belief (London: Hodder and Stoughton, 1984), hal. 32.

  4. Ernest W. Bacon, "Spurgeon: Heir of the Puritans" (Grand Rapids: Eerdmans, 1967), hal. 109.

  5. Terdapat dalam John R. W. Stott, "Our Guilty Silence" (Downers Grove, III: InterVarsity Press, 1967), hal. 59.