Etos Kerja Kristen
Bacaan: Efesus 4:28, 2 Tesalonika 3:1-15
Alkitab menjelaskan secara jelas bahwa manusia diciptakan dengan jiwa dan natur yang bekerja. Manusia diberi mandat oleh Tuhan untuk mengusahakan dan memelihara taman secara seimbang. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar ekonomi (oikos-nomos), yaitu kita diberi akal budi dan kemampuan, dipanggil Tuhan menjadi pengelola sehingga menyejahterakan semua bagian. Manusia diberi kuasa untuk mengelola dan bertanggung jawab kepada Sang Pemberi otoritas. Dengan demikian, ketika bekerja, manusia harus bertanggung jawab terhadap Tuhan.
Salah satu masalah yang paling serius dibicarakan dalam bagian ini adalah 2 Tesalonika 3, yang seolah-olah menjelaskan bahwa kekristenan menjadi agama yang penuh cinta kasih sehingga harus berbelas kasihan, memberikan segala sesuatu, dan memperhatikan kemiskinan dengan luar biasa. Kekristenan memang merupakan agama yang penuh cinta kasih, tetapi itu tidak dilakukan begitu saja karena kita harus mengerti bagaimana memberi secara tepat. Paulus mengingatkan, "Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna." (2 Tesalonika 3:11) Ia juga berkata, "... jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." Menurut saya, prinsip ini harus tegas sehingga kita mengerti bagaimana kita harus berdaya guna. Ketika mempersiapkan bagian ini, saya tertarik dengan satu buku yang ditulis oleh dua orang Belanda, profesor bidang sosiologi dan sosial dari World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja Sedunia). Buku "Di Balik Kemiskinan dan Kemakmuran ("Beyond Poverty and Affluence") oleh Bob Goudzwaard dan Harry de Lange, diterbitkan oleh Kanisius, tahun 1998. Buku tersebut membicarakan aspek kekayaan dan kemiskinan, penulis mengemukakan enam paradoks permasalahan yang kita hadapi. Mereka membuka fakta enam paradoks di tengah abad modern yang berkembang, yang kelihatannya sangat bertentangan tetapi sebenarnya sangat terkait satu sama lain.
1. Paradoks Kelangkaan. Kekayaan manusia seharusnya dapat dipakai untuk mengelola kesejahteraan. Akan tetapi, justru terjadi kelangkaan yang bukan disebabkan oleh tidak adanya kekuatan mendayagunakan karena begitu banyak produksi yang diperlakukan secara tidak beres. Berjuta liter susu dibuang di sungai padahal banyak anak dalam kondisi kekurangan gizi dan membutuhkan susu. Demikian juga halnya dengan jeruk yang seharusnya dapat menjadi vitamin tanpa harus minum minuman yang mengandung bahan kimia, tetapi itu semua dihancurkan demi harga produksi menjadi tidak murah. Ketika daya begitu besar, pada saat yang sama terjadi perusakan dan penghancuran sumber yang seharusnya dapat dipakai oleh manusia.
2. Paradoks Kemiskinan. Meski negara-negara adikuasa semakin kaya, persentase peningkatan kemiskinan lebih besar daripada peningkatan pendapatannya karena hanya sekelompok orang yang bertambah kaya. Seperti yang pernah saya katakan, jika tidak hati-hati, di Indonesia akan tercipta generasi pengemis dan orang-orang yang menciptakan citra kemiskinan masa depan. Karena sistem, pola dari cara kerja, atau kebijaksanaan pemerintah telah kehilangan harga diri sehingga membuat kita mudah menjadi pengemis. Sungguh ini merupakan paradoks karena di satu pihak, kita melihat dunia semakin hari semakin sejahtera dan makmur, tetapi kenyataannya tidak meniadakan jumlah pengemis yang semakin meningkat jumlahnya.
3. Paradoks Sensitivitas Kepedulian. Di satu pihak, seharusnya setiap kita semakin maju dan makmur, semakin memikirkan kesejahteraan orang lain. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, kita berpikir bagaimana dapat menggunakannya untuk memanipulasi orang lain. Etos dan format kerja yang sudah diciptakan seharusnya memberi pengaruh positif pada seluruh cara hidup kita.
4. Paradoks Ketenagakerjaan. Di satu pihak, banyak yang membutuhkan tenaga kerja, tetapi di lain pihak, tidak ada tenaga kerja yang memadai dan tidak ada kesempatan kerja karena tidak adanya kemampuan untuk pekerjaan yang dibutuhkan, sehingga pengangguran semakin meningkat. Di sini, persoalannya adalah bagaimana mendidik dan menuntut kualitas orang bekerja untuk masuk dalam garis manusia. Fakta yang harus kita lihat adalah jutaan tenaga kerja yang bekerja dalam kondisi nonmanusia karena sering kali, mereka sengaja tidak diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas mereka dengan tujuan supaya mereka dapat diatur dan dimanipulasi. Itu merupakan pemikiran yang sangat pragmatis dan mengakibatkan kerugian besar karena berarti mereka tidak mampu memikirkan kesejahteraan secara totalitas.
5. Paradoks Waktu. Kita makin mempunyai kemampuan teknologi yang mengefisienkan waktu, namun kita bukan semakin kelebihan waktu tetapi justru kekurangan waktu dan semakin kekurangan kemampuan untuk menata waktu. Alkitab menuntut keseimbangan bekerja secara tepat. Pertama, kekristenan menuntut kita memberikan waktu untuk melayani dan mencurahkan pikiran bagi Tuhan (Efesus 4:1-16). Kedua, Tuhan memanggil kita untuk dikirim kembali ke dunia, bekerja, menghasilkan buah, dan menjadi teladan. Ketiga, bagaimana kita menjadi orang yang hidup sepadan di tengah keluarga sehingga mampu melayani Tuhan, bekerja serta memberikan kesaksian yang baik di tengah keluarga (Efesus 5). Ini kembali pada pengertian kita tentang apa itu bekerja, bagaimana bekerja yang tepat dan diseimbangkan dengan pelayanan, keluarga serta semua aspek yang lain.
6. Paradoks Kesehatan. Ketika negara makin maju, ternyata penyakit juga semakin banyak. Kemajuan teknologi, perkembangan sosial masyarakat tidak menjadikan manusia bertambah sehat. Goudzwaard dan de Lange menyatakan 3 problem utama yang menyebabkan terjadinya keenam hal di atas, yaitu: 1) Kemiskinan, 2) Ketenagakerjaan, 3) Lingkungan (Environment). Namun, saya sangat tidak setuju dengan solusi yang sangat humanis yang mereka kemukakan, yaitu "Mari kita kembali pada inti Ekonomi, 'Manusia dan kebutuhannya'" (Man and his needs). Sebab, firman Tuhan mengajarkan bagaimana saya bertanggung jawab di hadapan Allah mengelola alam semesta demi kesejahteraan manusia. Kalau manusia hanya memikirkan kebutuhannya, yang menjadi pusat adalah manusia, dan itu akan merusak seluruh sistem karena yang terjadi adalah saling berbenturan kebutuhan, yang akhirnya menjadi titik terciptanya destruksi dan tidak adanya penyelesaian apa pun.
Selanjutnya, bagaimana kita menurunkan format Kristen yang seharusnya dalam bekerja? Kejadian 2:15 dan Efesus 4:28 menyatakan bahwa kita harus bekerja keras dalam mengerjakan setiap pekerjaan yang telah dipersiapkan Allah dengan tangan kita sendiri agar menjadi berkat bagi orang lain. Dengan demikian, citra kerja Kristen:
1. Kerja yang berorientasi pada Allah ("God centre work") dan bukan pada diri, uang, kenikmatan, serta sekularisme atau keduniawian. Mari kita mulai berpikir mengubah paradigma total, yang berarti mengubah dari format dasarnya menjadi "Segala sesuatu adalah dari Allah, kepada Allah, dan untuk Allah, bagi Allah kemuliaan untuk selama-lamanya". Dengan demikian, ketika kita bekerja dan mulai studi hingga mulai menyelesaikan dan sampai masuk ke dunia kerja, memikirkan pekerjaan apa yang Tuhan bebankan kepada kita itulah yang akan kita genapkan. Sekalipun beban begitu besar, tetapi kita mempunyai kekuatan untuk menerobos dan tidak mudah patah karena itu dikerjakan bukan demi kepentingan kita sendiri.
2. Orientasi kerja berada pada tanggung jawab dan bukan pada hasil. Sering kali, ketika kita bekerja dan bersekolah, orientasinya selalu pada hasil. Akibatnya, kita tidak mungkin mencapai ketenangan. Dalam Alkitab dikatakan bahwa berikanlah kepada kami makanan kami yang secukupnya hari ini. Di sini, kita belajar bagaimana dapat bersandar; tahu mana bagian Tuhan dan bagian kita.
3. Perjuangan mencapai kualitas tertinggi yang mungkin kita capai. Orang Kristen tidak pernah diajar untuk membandingkan diri dengan orang lain. Semangat kerja mengejar mutu yang tertinggi yang mampu kita perjuangkan, tidak pernah takut susah, dan mau berkembang mencapai titik maksimal, itu yang harus kita miliki. Kalau kita berhenti (kecuali merupakan titik maksimal) itu berarti kita tidak bertanggung jawab terhadap setiap talenta yang Tuhan berikan.
4. Etika yang sejati (Truth Ethics). Etika yang sejati adalah panggilan kerja Kristen. Orang Kristen bukan hanya sekadar memiliki semangat kerja yang keras. Dalam Efesus 4 dikatakan, bahwa orang percaya harus "melakukan pekerjaan baik" dalam mencapai kualitas etik yang mencakup ketiga hal, yaitu tujuan, motivasi, dan cara yang baik. Ini merupakan satu prinsip penting dalam cara bekerja! Sebab, jika orang Kristen bekerja, tetapi tidak dapat menjadi garam di dunia kerja, ia seperti yang dikatakan dalam Alkitab, kalau garam telah hilang asinnya, itu akan dibuang dan diinjak orang.
5. Pertimbangan altruistis/memikirkan berkat bagi orang lain (Altruistic Consideration). Berpikir bahwa apa yang Tuhan percayakan kepada kita juga harus disalurkan kepada orang lain karena baik otak, kemampuan, kesempatan, harta, maupun segala sesuatu adalah dari Tuhan. Ketika kita mendapatkan hasil dari apa yang kita kerjakan, kita harus belajar untuk berbagi dengan mereka yang kekurangan.
6. Menjadi berkat buat seluruh alam semesta. Kita harus dapat bekerja mendayagunakan dan mengembangkan seluruh sumber daya dan potensi alam untuk kesejahteraan seluruh alam. Dengan demikian, kerja Kristen merupakan kerja yang memikirkan enam aspek yang membuat seluruh cara kerja Kristen diberkati. Jadi, kerja Kristen bukan saja sebagai suatu keharusan, tetapi juga sebagai tanda atau bentuk keunikan dalam bekerja. Mungkin, tidak mudah mendobrak konsep yang sudah bertahun-tahun kita pegang, tetapi saya minta setiap kita mempunyai jiwa mengubah konsep tersebut, berproses maju selangkah demi selangkah, mengubah cara kerja, hidup pelayanan, dan seluruh inti utama dari kerja dan studi kita supaya boleh kembali untuk kemuliaan Tuhan. Amin.
Diambil dan disunting dari: | ||
Nama situs | : | GRII Surabaya |
Alamat URL | : | https://griis.tripod.com/ringkasan_kotbah/19991212.htm |
Penulis | : | Rev. Sutjipto Subeno |
Tanggal akses | : | 13 Desember 2014 |