Sisi yang Berbeda dalam Penginjilan
Kesia-siaan Penyembahan Berhala
Pada ayat 29 Paulus menyebutkan dengan jelas hal-hal yang telah disampaikan secara tidak langsung sebelumnya: penyembahan berhala itu tidak benar. Dalam ayat-ayat sebelumnya Paulus telah mengatakan bahwa kita adalah anak keturunan Allah. Kemudian Paulus berkata, "Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia." (Kisah Para Rasul 17:29) Pada ayat-ayat selanjutnya Paulus menjelaskan bahwa penyembahan berhala disebabkan oleh ketidaktahuan.
Paulus sudah mengatakan bahwa Allah adalah satu-satunya sumber kehidupan. Jika demikian, bagaimana Allah bisa diwujudkan dengan benda mati seperti emas, perak dan batu? Di samping itu, betapa lancangnya manusia yang berpikir bahwa manusia dapat menggantikan Allah yang kekal dengan buatan tangannya.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Paulus sedih hatinya melihat banyak patung berhala di Athena. Tetapi Paulus tidak memperlihatkan kemarahannya. Telah kita sebutkan bahwa meskipun Paulus tidak menghardik terhadap penyembahan berhala seperti yang telah dilakukan para nabi dalam Perjanjian Lama, Paulus juga tidak memaafkan hal itu. Ia melakukan perlawanan, dengan metode yang paling sesuai untuk pendengarnya. Ia memermasalahkan penyembahan berhala itu dengan menggunakan kemampuan berpikirnya. Paulus terlihat tidak sopan jika mengabaikan kesalahan. Paulus menggunakan cara yang sopan, tetapi dia harus membeberkan kebodohan dan bahaya dari cara hidup orang Athena yang salah. Komitmen Paulus mengenai kebenaran sejati dan keprihatinan Paulus terhadap orang Athena mengharuskan dia melakukan hal ini. Paulus dapat menerima bahwa orang Athena ini sangat saleh dalam beragama, tetapi Paulus juga menunjukkan bahwa keagamaan mereka sia- sia.
Seorang pemimpin Kristen Sri Langka pada suatu saat mengatakan bahwa ketika dia melihat orang-orang Budha sedang sembahyang di kuil- kuil, ia melihat bahwa Roh Kudus juga bekerja dengan aktif dalam penyembahan itu, Roh Kudus menerima dan memberkati mereka. Paulus pasti akan terkejut mengetahui bahwa kalimat tersebut berasal dari mulut seorang pemimpin Kristen. Paulus memang dengan cara yang sopan mengakui kesalehan orang yang bukan kristen. Paulus tidak menggunakan kata-kata yang kasar kepada mereka sebab mereka tidak mengetahui tentang wahyu Kristus. (Tetapi saya percaya bahwa dia akan menyimpan kata-kata kasar tersebut untuk pemimpin Kristen, seperti yang baru saya sebutkan tadi.) Paulus bahkan menggunakan kesalehan mereka dalam beragama sebagai batu loncatan untuk menyampaikan berita Injil. Tetapi Paulus menunjukkan kepada mereka bahwa bentuk kesalehan mereka adalah tidak benar dan mereka harus bertobat.
Metode yang Paulus gunakan dalam melawan penyembahan berhala tadi merupakan metode "persuasi." Ia menggunakan kemampuan dalam berargumentasi untuk menarik perhatian para pendengarnya, sehingga mereka bersedia merubah kepercayaan mereka. Dalam bab XI, kita akan mendiskusikan lebih lanjut tentang penggunaan metode persuasi dalam penginjilan.
Panggilan untuk Bertobat (Kisah Para Rasul 17:30)
Setelah bertanya-jawab tentang kesia-siaan penyembahan berhala, Paulus mendesak pendengarnya untuk bertobat: "Dulu Tuhan tidak menghiraukan ketidaktaatan mereka, tetapi sekarang Allah memerintahkan semua orang di mana pun juga untuk bertobat". Setelah menarik pemikiran para pendengarnya dengan cara berdebat melawan penyembahan berhala, Paulus kemudian menarik keinginan pendengarnya dengan panggilan untuk bertindak melakukan kebenaran dan merubah jalan hidup mereka.
Kebenaran merupakan hal yang penting. Tetapi yang lebih penting adalah apa yang orang lakukan terhadap kebenaran itu. Kebenaran merupakan dasar dari tindakan seseorang. Tetapi apabila dia tidak bertindak berdasarkan kebenaran itu, maka dasar kebenaran itu menjadi tidak berguna. Tujuan utama kita dalam mengabarkan Injil adalah bagaimana supaya kebenaran dilakukan berdasarkan kehendak seseorang. Tidak cukup hanya menggerakkan emosi seseorang atau membuat orang menyetujui secara intelektual segala perkataan kita. Tetapi kalau pengaruh kita tidak membawa pada kehendak seseorang, maka pengaruh kita tidak akan terus ada dalam hidupnya.
Tanpa ada pertobatan, maka tak akan ada perubahan dalam hidup seseorang. Inilah sebabnya mengapa pertobatan menjadi kunci utama dalam khotbah nabi-nabi pada masa Perjanjian Lama, Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus, dan para rasul. Tuhan Yesus memulai pelayanannya di Galilea dengan pesan, "Waktunya sudah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Markus 1:15). Sesudah khotbah penginjilan yang pertama pada gereja mula-mula, Petrus mengajak pendengarnya, "Bertobatlah dan hendaknya kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus." (Kisah Para Rasul 2:38). Ajakan yang jelas pada masa lalu berupa ajakan, termasuk baptisan, sebagai tanda kebersamaan dalam kehidupan yang baru dan masyarakat yang baru.
Ada kecenderungan pada masa sekarang ini bahwa penginjil lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan untuk menerima fakta Injil daripada pertobatan. Hal ini telah dikaitkan dengan frasa "kerja untuk kebenaran". Beberapa penginjil bahkan memiliki keraguan untuk meminta seseorang untuk menerima Yesus sebagai Tuhannya, saat mereka mengundang seseorang tadi untuk menerima keselamatan. Mereka semua berkata bahwa yang perlu dilakukan seseorang adalah percaya bahwa Kristus mati untuk dosa-dosanya, sehingga seseorang tersebut harus meminta pada Tuhan agar mengampuni dosa-dosanya, dan menerima keselamatan yang telah Kristus berikan. Selanjutnya kita mungkin berkhotbah mengenai Ketuhanan Kristus bagi mereka yang sudah menerima keselamatannya. Bahkan pada situasi yang ekstrim, ketuhanan dianggap sebagai pilihan tambahan bagi orang Kristen. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan dan Ketuhanan Kristus bukan hal yang dapat dipisahkan. Jadi pada saat kita menerima Kristus sebagai Juru Selamat, kita juga harus menerima Dia sebagai Tuhan. Dua panggilan ini juga harus direnungkan dalam khotbah penginjilan kita.
Banyak orang yang ingin "berdoa untuk menerima Kristus" dalam kehidupan mereka apabila mereka diajak untuk melakukannya. Namun demikian doa ini belum tentu bisa mewakili komitmen hidupnya kepada Kristus. Orang Asia mungkin bisa menganggap ajakan seperti itu sebagai sopan santun saja karena menurutnya respon seperti itulah yang diharapkan oleh orang yang mengundangnya hadir pada acara itu. Dia merasa asing pada acara pertemuan itu. Sehingga ketika pengkhotbah meminta dia untuk mengangkat tangan, maka dia harus angkat tangan.
Yang lain mungkin akan mencoba percaya pada Yesus dengan harapan bahwa dapat memenuhi sesuatu yang kurang dalam hidup mereka. Orang berkata pengalaman "lahir kembali" akan memperkaya hidup seseorang. Jadi mengapa mereka tidak mencoba? Seorang Hindu mungkin mencoba berdoa untuk menerima Kristus dan menjadikan Yesus sebagai dewa tambahan dari dewa-dewa lain yang sudah dimilikinya. Dia memunyai gambar Shiwa, Krisna dan Yesus di dalam rumah mereka dan membaca Bhagavad Gita dan Alkitab secara khusuk. Seorang pedagang yang licik mungkin akan menerima Kristus sebagai Juru Selamatnya tetapi pedagang tersebut tetap sangat kikir dalam menggaji karyawannya dan menggunakan cara-cara yang tidak jujur untuk mendapatkan keuntungannya sendiri.
Ketika seseorang datang kepada Kristus, dia harus meninggalkan semua berhala-berhalanya. Paulus menjelaskan pertobatan jemaat Tesalonika: "..kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan benar" (1Tesalonika 1:9b). Berhala- berhala dalam kehidupan seseorang adalah segala sesuatu yang menentukan setiap keputusan akhir yang dibuatnya. Misalnya ada seseorang yang disakiti oleh orang lain dan dia merenungkan bagaimana menanggapi rasa sakit hatinya itu. Dia tahu Firman Allah mengatakan: "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membencimu" (Lukas 6:27). Tetapi sakit hatinya mengatakan: "Balaslah dendam; beri dia pelajaran; sakiti dia." Kalau dia menuruti keinginannya sendiri, maka dia membuat dirinya sendiri menjadi menjadi berhala. Apabila dia bertobat, dia terlebih dulu harus mati bagi dirinya sendiri, karena dirinya sendirilah yang bertentangan dengan jalan Tuhan.
Di Athena, Paulus mengajak orang-orang untuk bertobat dari berhala-berhalanya. Apabila orang Athena ini datang kepada Kristus, mereka harus menolak agama orang Athena. Sama halnya dengan sekarang. Sekarang banyak orang berkata bahwa seseorang dapat menjadi orang Kristen Budha atau Kristen Hindu. Pikiran semacam ini sangat bertentangan dengan Alkitab. Anda tidak bisa menyembah Siwa sekaligus menyembah Kristus, atau menyembah Budha dan sekaligus Kristus.
Memang, seorang Kristen baru harus tetap memelihara beberapa budaya-budaya tertentu yang telah membesarkannya. Kadang-kadang orang Kristen bisa saja salah menilai bahwa hal ini bertentangan dengan Kekristenan. Seorang pemuda Sri Langka yang dulunya beragama Budha tetapi kemudian dia menjadi orang Kristen, bisa saja menunda perkawinannya sendiri selama beberapa tahun, supaya dia bisa memunyai uang tabungan yang cukup untuk biaya pernikahan saudara perempuannya. Hal ini merupakan kewajiban tiap keluarga dan menjadi orang Kristen tidak berarti membebaskan dia dari kewajiban tersebut. Dia tetap akan membelikan hadiah untuk anggota keluarganya dan merayakan Hari Tahun Baru Sri Langka dengan keluarganya tiap bulan April. (Ada orang-orang Kristen di Sri Langka yang salah mengartikan Kekristenan, dan mereka sama sekali tidak mau mengikuti perayaan semacam ini, padahal perayaan seperti ini hanya berhubungannya dengan permulaan musim panen dan tidak ada hubungannya dengan perayaan keagamaan). Tetapi petobat baru tidak akan berpartisipasi dalam upacara keagamaan yang berhubungan dengan perayaan Tahun Baru. Upacara semacam itu bertentangan dengan kepercayaannya bahwa kedaulatan Allah melebihi semua kekuatan alam. Dalam perayaan Tahun Baru dia harus bersyukur atas hasil panennya dan berdoa untuk setiap kebutuhannya. Hal seperti ini dapat dia lakukan daripada ikut serta dalam upacara yang bertujuan merayu dewa-dewa dan kuasa-kuasa lain untuk mengirimkan berkat bagi mereka.
Sehingga pemuda ini dapat dibaptis sebagai tanda bahwa dia telah melepaskan kesetiaannya pada agamanya yang dulu dan kemudian bergabung dengan persekutuan orang Kristen. Dia bukanlah seorang yang Kristen Budha. Ia seorang Kristen Sri Lanka. Sayang sekali banyak orang Kristen di Sri Lanka menjadi seperti orang Kristen Inggris dari pada orang Kristen Sri Lanka. Hal seperti ini harus dirubah.
Manusia juga bisa memiliki berhala yang tidak berasal dari agamanya. Berhala yang dimiliki seseorang bisa jadi tidak berhubungan dengan suatu agama. Berhala seseorang bisa jadi adalah moralitas pribadi. Pada saat orang tersebut datang kepada Kristus, dia dapat berketetapan hati dan mencari dari pertolongan Tuhan, serta dapat mencari pengampunan bagi tindakannya yang tidak bermoral. Berhala lain bisa berupa materialism. Orang yang matrealis tidak mengindahkan prinsip-prinsip penting dalam mencari kekayaan. Ketika ia datang kepada Kristus, dia perlu menyerahkan semua praktek-praktek yang tidak benar ini, seperti menerima suap. Berhala yang lain lagi bisa berupa sikap rasial. Ketika orang yang rasialis ini datang kepada Kristus, dia harus berhenti melakukan hal-hal yang selama ini merugikan suku lain, untuk kesejahteraan sukunya sendiri.
Namun, akhirnya hal yang paling utama adalah pertobatan, berbalik dari jalan kita sendiri kepada jalan Allah. Bukti-bukti bahwa kita berjalan dalam jalan kita sendiri diwujudkan dalam bidang agama, moral, material atau sosial. Kita harus bertobat secara khusus dari dosa kita, karena jika pertobatan tidak sampai pada hal-hal ini, maka ini bukanlah pertobatan. Dosa kita yang utama adalah kita memilih melakukan jalan kita sendiri dari pada jalan Tuhan. Pada saat kita bertobat kita berkata kepada Tuhan bahwa kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Kita melakukan apa yang Tuhan ingin kita lakukan, bukan apa yang ingin kita lakukan.
Perintah Injil (Kisah Para Rasul 17:30)
Hal yang sangat penting adalah bahwa pertobatan merupakan suatu perintah. Paulus berkata, "Allah memerintahkan kepada manusia, bahwa dimana-mana mereka semua harus bertobat" (Kis. 17:30b). Kita tidak hanya sekadar menyampaikan kabar baik. Kita tidak hanya mengajak orang lain untuk menerima Kristus. Kita mengabarkan perintah Tuhan sebagai Tuhan dari seluruh alam semesta ini. Injil adalah kabar baik untuk diterima. Tetapi Injil juga suatu perintah yang harus ditaati. Jadi Paulus berkata bahwa mereka yang "tidak menaati Injil Tuhan Yesus" akan dihukum (2 Tesalonika 1:8).
Karena perintah untuk mengabarkan Injil inilah, kita dapat pergi dengan suatu otoritas dan keyakinan penuh bahwa kita adalah utusan Kristus. Kita adalah utusan Kristus yang menasehati orang-orang agar berdamai dengan Allah, di dalam nama Kristus (2 Korintus 5:20). Kita tidak perlu meminta maaf dalam memberitakan Injil. Kita melakukan dengan penuh kesopanan. Kita mengikuti peraturan yang berlaku di tempat kita melakukan penginjilan. Kita menghormati orang-orangnya, kebudayaannya juga pejabat penguasanya. Tapi kita pergi dengan keyakinan penuh, sebab kita adalah Utusan Allah alam semesta.
Perintah Allah ditujukan untuk "semua orang dimanapun mereka berada." Begitu jelas perintah Allah itu, jadi gereja perlu memberitakan Injil ke mana-mana dan kepada setiap orang. Setiap orang yang kita jumpai perlu bertobat dan berbalik kepada Tuhan. Kita sering mendengar orang mengatakan bahwa kita tidak harus membuat semua orang bertobat. Tetapi misi kita tidak untuk membantu orang Budha menjadi orang Budha yang lebih baik lagi. Sikap seperti ini sangat bertentangan dengan wahyu Allah dalam Alkitab. Seorang Yahudi yang beriman seperti Paulus, yang bertumbuh dalam agamanya, dia perlu meninggalkan sikapnya itu dan kemudian mengikut Kristus. Dia mengatakan bahwa "semua orang di mana pun mereka berada" diperintahkan agar bertobat. Perintah ini juga berlaku bagi orang Budha, Islam, Hindu dan juga penganut humanisme. Mereka semua berada dalam lingkaran yang digambarkan oleh Paulus tentang semua suku yang ada ketika dia mengatakan bahwa Tuhan "berfirman kepada semua orang agar bertobat." Semua orang harus berbalik kepada Kristus.
Peringatan Tentang Penghakiman (Kis. 17:31)
Paulus memberikan peringatan untuk memperkuat ajakannya untuk bertobat: "Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu dimana Ia dengan adil akan mengakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan- Nya." Menerima hidup baru bukan hanya satu-satunya akibat dari pertobatan. Seorang yang bertobat juga melepaskan diri dari hukuman pada hari penghakiman. Suatu saat nanti setiap orang harus menghadap penghakiman Allah. Penulis Ibrani menyebutkan bahwa "manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi" (Ibrani 9:27).
Sekarang ini banyak orang tidak suka dihadapkan pada fakta penghakiman. Banyak yang ragu-ragu untuk membicarakannya. Bahkan rasanya penghakiman merupakan topik yang tidak menarik dalam pembicaraan. Namun demikian penginjilan tanpa berita penghakiman bukanlah penginjilan yang Alkitabiah. Ketika kita mengabaikannya topik ini, berarti kita telah gagal dalam menyampaikan seluruh pesan yang telah Tuhan percayakan kepada kita agar diberitakan ke seluruh dunia.
Apabila berita penghakiman yang terdapat dalam Alkitab itu benar, maka sangat aneh apabila kita tidak mengungkapkannya dalam penginjilan kita. Seorang ahli meteorologi tentunya tahu mengenai angin topan yang akan datang, maka dia harus memberikan informasi ini kepada para nelayan yang akan melaut. Kalau dia gagal melakukannya, dan para nelayan itu tetap melaut dan akhirnya kehilangan nyawanya, maka ahli meteorologi itu akan mendapat sanksi kriminal karena kelalaiannya. Para nelayan bisa saja tidak mau mendengar peringatan itu, tetapi ahli meteorologi itu mau tidak mau harus tetap memperingatkannya.
Sama halnya dengan berita penghakiman itu. Berita ini masih merupakan suatu teka teki. Banyak orang menerima peringatan tentang bahaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka tidak menghiraukan adanya bahaya yang bersifat kekal. Beberapa orang gagal dalam memperingatkan datangnya penghakiman sebab mereka sendiri belum percaya dengan kenyataan ini. Beberapa orang lainnya tidak memberikan komentar karena mereka tidak yakin akan penghakiman ini. Tetapi penghakiman merupakan masalah serius jika diabaikan begitu saja. Mereka secepat mungkin harus berusaha untuk menemukan kebenaran mengenai penghakiman. Meskipun beberapa orang menerima kebenaran adanya penghakiman ini, tetapi mereka hanya diam saja dan tidak mencoba memberitakan kepada orang lain karena mereka berpikir bahwa topik ini tidak menyenangkan untuk dibicarakan. Kelalaian semacam ini tidak dapat dimaafkan (Yehezkiel 3:17-21).
F.F. Bruce mengingatkan kita bahwa: "Pemikiran Yunani tidak memberikan tempat bagi penghakiman terakhir seperti yang telah diwahyukan oleh Alkitab."
1. Mayoritas pendengar Paulus yang berasal dari kelompok yang sangat bergengsi di Athena tentunya meremehkan apa yang dikatakan oleh Paulus tentang penghakiman. Tetapi hal itu tidak menghalangi Paulus. Banyak yang mengatakan bahwa doktrin yang tidak menyenangkan semacam ini paling baik diperkenalkan sesudah seseorang memberikan komitmennya pada Kristus. Tetapi penghakiman adalah bagian penting dari Injil Perjanjian Baru. Penulis Ibrani mencantumkan doktrin ini sebagai "asas utama dari ajaran tentang Kristus" (Ibrani 6:1,2).
Kita harus mengajarkan kasih, yang merupakan sisi yang menyenangkan dalam penginjilan kita. Saya percaya bahwa kasih pasti merupakan fokus utama dalam khotbah penginjilan kita. Tetapi kita tidak boleh lupa untuk memperingatkan orang mengenai datangnya penghakiman. Hal ini sejalan dengan panggilan pertobatan yang merupakan sisi lain dalam penginjilan.
Kadang-kadang khotbah tentang penghakiman di dalam gereja dapat membuat beberapa orang Kristen merasa dipermalukan. Seolah-olah pendeta memberikan tekanan bahwa suatu saat nanti jemaat akan dilemparkan ke neraka. Tetapi penyalahgunaan doktrin seperti ini bukan penyalahgunaan perintah. John Stott mengatakan bahwa kita harus "jelas dan dogmatis...bahwa neraka merupakan suatu kenyataan yang mengerikan, kekal." Dia menambahkan, "Ini bukanlah hal yang dogmatis pada saat kita tidak membicarakan tentang kenyataan neraka, tapi dengan kata- kata dan tingkah laku yang sembrono."
2. Beberapa orang berkata bahwa kita seharusnya tidak menakut-nakuti orang lain agar mau menerima Injil. Dan saya menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa ketakutan bukanlah satu-satunya cara untuk membawa orang kepada Kristus. Tapi ketakutan bisa menjadi salah satu pendorong bagi seseorang untuk menerima Kristus. Ketakutan bisa membawa seseorang merenungkan sesaat untuk mempertimbangkan kebenaran Injil. Setelah mendapatkan perhatiannya kita dapat memberitakan Injil secara yang lebih lengkap.
Pernyataan Jonathan Edwards, yang berkhotbah mengenai kemurkaan Tuhan yang telah sangat disalahartikan dan disalahpahami, sangat sesuai dengan pembahasan di sini. Dia mengatakan bahwa beberapa orang mengira bahwa hal ini merupakan suatu hal yang bisa dipilih "menakut- nakuti seseorang tentang surga, tetapi menurut saya menakuti-nakuti seseorang agar tidak ke neraka adalah hal yang masuk akal."
3. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka tidak akan berkhotbah mengenai neraka tanpa meneteskan air mata. Tentu saja pasti ada kesedihan di dalam hati kita saat merenungkan mereka yang telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keselamatan. Tetapi perasaan seperti ini harus terus kita miliki. Paulus secara terus menerus memiliki "perasaan dukacita yang mendalam dan selalu merasa sedih hati, saat dia berpikir tentang orang-orang dari bangsanya sendiri yang tersesat" (Roma 9:1-3). Dan kita harus memiliki kerinduan untuk tetap bersikap seperti ini.
Tetapi ketidakmampuan kita untuk dapat merasa terharu dengan kenyataan ini tidak boleh menjadi halangan bagi kita untuk memberitakan mengenai kenyataan neraka. Apabila ketika ahli meteorologi memberitahukan kedatangan topan pada nelayan, dan saat itu dia memiliki perasaan dan pemikiran yang salah dalam memberitahukan berita tersebut, dia tetap harus berusaha memberitahukan kedatangan topan kepada para nelayan. Apabila dia harus menunggu suasana hati yang tepat untuk memberitahukan kedatangan angin topan, mungkin dia akan sangat terlambat. Demikian juga, kita harus sungguh-sungguh mencari sikap yang benar untuk berkhotbah mengenai penghakiman. Tetapi karena situasi yang serius kita tidak boleh menahan pemberitaan dengan mengatakan bahwa kita belum mendapatkan kesempatan yang tepat untuk memberitakan pesan mengenai penghakiman ini.
Harus saya tambahkan bahwa saya tidak percaya apabila pada saat kita berbicara tentang neraka, kita pasti selalu menangis atau terharu. Beberapa orang mungkin akan melakukannya. Tetapi untuk beberapa orang tentunya hal seperti ini tidak wajar. Kebutuhan yang penting bukanlah menangis, tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak, yaitu perasaan kasih yang mendorong kita untuk mengabarkan berita mengenai hal ini dengan kesetiaan. (2 Korintus 5:14)
Paulus mendesak kepada kita agar tetap mengingat "kemurahan dan juga kekerasan Allah" (Roma 11:22). Kombinasi antara kasih dan kekerasan ini harus menjadi ciri khas dalam pengabaran Injil. Seorang sarjana Perjanjian Baru dari Jerman, Joachim Jeremias, dalam buku perumpamaan-perumpamaan Kristus, berbicara tentang "dua sisi berbeda yang terdapat dalam semua pengabaran Injil." Dia menjelaskan dua sisi berbeda yang tidak dapat terpisahkan ini, seperti 'penawaran kasih dan ancaman penghakiman', 'pembebasan dan ketakutan', 'keselamatan dan penghancuran', "hidup dan mati".
4. Marilah kita merenungkan dan menerapkan dua kombinasi alkitabiah yang merupakan dua sisi yang berbeda ini dalam pengabaran Injil kepada orang non-Kristen.
Download Audio: Sisi yang Berbeda dalam Penginjilan
Diambil dari: | ||
- F.F. Bruce, "The Book of Acts, The New International Commentary on the New Testament" (Grand Rapids: Eerdmans, 1954), hal. 361. | ||
- John R. W. Stott, "The Biblical Basis of Evangelism," dalam 'Let the Earth Hear His Voice', ed. J.D. Douglas (Minneapolis: World Wide Publications, 1975), hal. 76. | ||
- Terdapat dalam Leslie Woodson, "What the Bible Says about Hell" (1973; reprint, Grand Rapids: Baker, 1976), hal.76. | ||
- Terdapat dalam buku yang sama, hal. 91. |
Attachment | Size |
---|---|
atitude05.txt | 24 KB |
atitude05.htm | 25 KB |