Bahan Bakar Pemimpin

BUKU 2

SSEERRII KKEEPPEEMMIIMMPPIINNAANN

BAHAN BAKAR PEMIMPIN:

SIKAP, SKIL, SENSITIVITAS,

PENDEKATAN SiSTEM DAN SPIRITUALITAS

      BUKU KEPEMIMPINAN

      Robby I Chandra

      DAFTAR ISI

HALAMAN

    Membangun Keunggulan Seorang Pemimpin 1

Spritualitas Seorang Pemimpin 3

Transformasi dan sisi gelap kepemimpinan 8

Bagaimana mengevaluasi Spiritualitas Pemimpin 12

Sikap Seorang Pemimpin 14

Skill Seorang pemimpin 19

Sensitivitas Seorang Pemimpin 23

    Peka Pada Apa yang Bernilai bagi Diri Sendiri

    Peka Pada Harga Diri

    Peka Pada Ambisi dan Kebutuhan

Sistem Thinking dan Kepemimpinan 24

Bagaimana membangun prasyarat kepemimpinan 31

Penutup 35

      PRASYARAT PEMIMPIN

      MEMBANGUN KEUNGGULAN SEORANG PEMIMPIN

      Pernahkah Anda melihat suatu pesawat udara sedang take-of? Sebuah pesawat udara meluncur di landasan pacu dengan kecepatan dua ratus kilometer per jam. Pesawat ini dapat bergerak secepat itu karena memiliki bahan bakar yang khusus, bukan hanya solar. Secanggih apapun kendaraan tu, tanpa bahan bakar yang tepat pesawat itu hanya menjadi seonggok logam dan fiber glass. Seorang petinju dapat bertarung non stop dengan tingkat stamina tinggi melalui ronde-ronde yang berat karena ia berlatih dengan mati-matian dan mengkonsumsi makanan yang diatur dengan khusus. Tanpa makanan itu, ia tidak akan mampu bertahan lama.

      Bila dianalogikan, apakah bekal yang diperlukan oleh seorang pemimpin agar ia dimungkinkan melaksanakan tugasnya dengan baik? Apakah "bahan bakar yang menjadi salah satu keunggulannya"?

      Kembali kita harus menjelaskan lagi apakah kepemimpinan itu. Seorang pemimpin bertugas merumuskan visi komunitasnya, kemudian menciptakan kondisi yang membuat komunitas atau organisasinya bergerak menuju visi tadi. Sementara ia dan pengikutnya bergerak, mereka mengalami perubahan atau transformasi. Kemampuan untuk menimbulkan gerak dan transformasi ini terjadi berakar pada kepercayaan, baik yang berasal dari Tuhan dan manusia lain.

      Cara lain untuk menjelaskan kepemimpinan itu ialah dengan merumuskan bahwa kepemimpinan yang Kristiani adalah suatu penugasan dari Tuhan agar rencanaNya tercapai melalui sang pemimpin, pengikutnya, dan komunitas mereka.

      Tuhan memberikan kepercayaan padanya untuk melaksanakan hal itu, karena alasanNya yang kita tidak paham. Selain kepercayaan dari Tuhan, orang memberikan juga kepercayaan kepadanya bila ia memperlihatkan bahwa ia memiliki keunggulan-keunggulan pribadi serta kualitas pengabdian yang melebihi orang lain. Tanpa keunggulan dan pengabdian tadi orang segan mengikuti orang yang tidak memiliki kelebihan dari diri mereka. Pakar kepemimpinan yang lain, menyebutkan bahwa seorang pemimpin memiliki "keagungan" sehingga orang mengikutinya.

      Keunggulan yang dimiliki pemimpin tersebut tercermin di dalam beberapa hal yang kentara:

          · Ia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap orang yang ia pimpin dan semua pihak lain yang terkait dengan gerakannya bahkan terhadap bias dirinya sendiri. Namun terutama ia terus bertumbuh dalam kepekaannya terhadap kehendakNya.

          · Ia memiliki skil atau keterampilan dasar kepemimpinan yang didukung dengan skil dasar kehidupan (Basic Life Skills), seperti berkomunikasi dengan baik atau mengambil keputusan

          · Ia memiliki sikap kepemimpinan. Sikap kepemimpinan atau dapat juga disebut pola-pola respon kepemimpinan yang dimilikinya membuat dirinya berbeda dengan orang lain

          · Ia memiliki kemampuan untuk melakukan pendekatan sistem terhadap segala situasi yang dihadapi. Ia bahkan juga mengenali sistem yang ada bahkan mampu mengubah sistem tadi dimana perlu

          · Sebagai dasar dari semua hal di atas,, ia memiliki spiritualitas kepemimpinan yang mendalam sebagai dasar atau pusat dari semua yang ia miliki tadi.

      Dengan menunjukkan pada kelima keunggulan yang saling terkait tadi, pada dasarnya kita menunjuk pada sebuah kata kunci yang membuat seseorang menjadi pemimpin sejati. Seorang pemimpin dan mereka yang dipimpinnya berada di dunia nyata sedangkan dunia itu terus berubah, maka pemimpin yang baik adalah seorang yang terus belajar. Ia mempelajari lingkungannya, mereka yang ia pimpin serta seluk beluk dirinya sendiri. Ia tidak berhenti meningkatkan kepekaan dan intuisinya. Ia pun senantiasa belajar mengenali sistem dimana ia berada beserta segala dinamikanya. Juga ia terus belajar mendalami skil dan sikap kepemimpinan.

      Mengapa seorang pemimpin jadi seperti itu? Seorang pemimpin pada dasarnya adalah seorang yang tidak ingin hidup biasa. Ia menolak untuk menjalani hidup tanpa makna. Ia menolak untuk menjadi orang yang ,,lumayan" saja. Ia terdorong untuk memberikan suatu sumbangsih ke tengah hidup ini karena ia menyadari bahwa hidup ini akan berakhir dan ia harus meninggalkannya. Itulah sebabnya kepemimpinan bukanlah suatu pekerjaan atau kegiatan. Kepemimpinan adalah masalah eksistensi si pemimpin.

      Seringkali orang banyak memiliki gambaran yang keliru bahwa pemimpin itu memiliki penampilan seperti Jenderal Sudirman, wawasan seperti KH Dewantara atau kemampuan komunikasi seperti Martin Luther King Jr. Sebagian terbesar pemimpin pada awalnya hanyalah seorang biasa. Pemimpin-pemimpin yang hebat tidak selalu memiliki sosok seperti Saul yang lebih tinggi dari orang lain atau seperti Daud yang tampil lugu dan berani. Orang-orang seperti Bunda Theresa atau Martin Luther mulanya hanya seorang biasa. Ahli-ahli seperti Peter Senge dengan tajam menyatakan bahwa

,,Most of the outstanding leaders I have worked with are neither tall nor especially handsome; they are often mediocre public speakers; they do not stand out in a crowd; they do not mesmerize an attending audience with their brilliance or eloquence. Rather, what distinguishes them is their clarity and persuasiveness of their ideas, the depth of their commitment, and their openness to continually learning more." (Umumnya, pimpinan-pimpinan hebat yang saya sempat tahu tidak luar biasa tampan atau tinggi, mereka sering tidak merupakan pembicara hebat di depan publik, mereka tidak juga menonjol di antara orang banyak, mereka tidak memukau. Yang membedakan mereka adalah kejernihan gagasan-gagasan mereka dan kedalam komitmen mereka serta keterbukaan untuk terus menerus belajar)

      PERSIAPAN MENJADI PEMIMPIN

      Bagaimana mereka belajar? Apa yang seorang pemimpin pelajari tentang system, sensitivitas, skil dan sikap tadi tidak akan muncul sebagai hasil yang saling memperkuat kalau tidak terlebih dulu ia memastikan adanya kedalaman spiritualitasnya. Kini para pakar studi kepemimpinan menyimpulkan bahwa kualitas hidup spiritual inilah yang menjadi akar dari semua keunggulan yang menghasilkan kepemimpinan yang sejati. Bagaimana kita memahami pertumbuhan spiritualitas ini?

      Seringkali para pemimpin memiliki suatu kesamaan. Mereka mampu menggali makna atau menetapkan visi yang dibutuhkan komunitasnya karena mereka memandang hidup berbeda dari orang lain. Beberapa faktor menentukan kekhasan ini. Keseluruhan atau salah satu faktor tadi dapat mempengaruhinya sehingga ia menjadi pemimpin. Suatu hal yang pasti ialah seorang pemimpin merupakan sosok yang agung, demikianlah menurut Koestenbaum.

      A. LATAR BELAKANG KELUARGA

      Suatu kasus yang paling mengejutkan di dalam kasus-kasus kepemimpinan adalah kasus pendeta Frank Norris, yang melayani di gereja First Baptist di North Worth Texas dari tahun 1909 sampai tahun 1952. Selain melayani jemaat itu iapun serentak melayani sebuah jemaat Detroir selama 14 tahun dan tiap tahun anggota jemaatnya bertambah sampai akhirnya mencapai angka 25 ribu warga. Borris dikenal sebagai pengkotbah yang memukau dan menggerakkan orang. Ia juga terus menerus menerbitkan tulisan-tulisannya sebagai tokoh findamentalis yang mungkin paling berpengaruh di jamannya. Namun, di samping hal itu ada sisi gelap kehidupannya yang aneh.

      Secara berkala Norris diduga membakar rumah dan gerejanya sendiri, menekan bawahan-bawahannya, serta menyusahkan banyak orang di sekitarnya. Dalam suatu insiden ia menembak seseorang di dalam kantor gereja, serta iapun pernah memperkarakan gerejanya ke pengadilan.

      Mengapa demikain? Ternyata pengkotbah terkenal ini memiliki latar belakang yang gelap di masa kecilnya. Sambil mabuk, ayahnya memukuli Frank setiap hari. Ia juga merupakan seorang anak yang miskin dan berpakaian lusuh sehingga diejek kian kemari. Suatu hari ia melihat ayahnya diserang oleh dua orang badit dan ia menyerang dengan sebilah pisau di tangannya, namun ia tertembak dua kali.

      Presiden Amerika, Bill Clinton kehilangan ayahnya di waktu ia masih kecil dan selama tiga tahun ia tinggal dengan neneknya. Kemudian ia pernah harus bersaksi dipengadilan bahwa ibunya diperlakukan semena-mena dan menjadi kurban pemukulan ayah tirinya yang sering mabuk. Di keluarga semacam itulah ia tumbuh. Tak heran akhirnya ia sempat mengukir skandal besar di Gedung Putih.

      Abraham Lincoln tumbuh sebagai anak yang sangat miskin, sehingga kamar tidurnya tidak berbeda jauh dari kandang binatang, apalagi setelah ibunya meninggal.

      Memang pakar kepemimpinan Burns pernah mengatakan bahwa para pemimpin besar seringkali muncul dari keluarga yang tidak berfungsi baik. Namun perlu dicatat bahwa tidak berarti keluarga yang disfungsional merupakan suatu prayarat untuk melahirkan pemimpin yang baik.

      Henry dan Richard Blackaby menyatakan suatu pendapat yang mendalam mengenai dampak latar belakang keluarga pada kepemimpinan seseorang. Banyak pemimpin spiritual kini gagal memahami dan mengakui luka-luka yang mereka derita dimasa kecil yang disebabkan oleh keluarga mereka yang disfungsional. Karena hal itu mereka buta dalam mengenali kebutuhan spiritual dan emosional mereka yang dalam dan sebagai akibatnya mereka tidak pernah mencari pemulihan mengenai keduanya di dalam kuasa penebusan Kristus. (38) Mereka terus maju bekerja dengan giat bahkan mencapai banyak hal, namun mereka jarang berhenti untuk menyelami dorongan utama mereka di balik kepemimpinannya. Jadi, mereka mungkin di dorong oleh kemarahan daripada kasih, atau oleh kebutuhan untuk diterima, diakui dan dihargai. Banyak diantaranya sangat tidak merasa aman, sehingga tidak dapat menerima perbedaan dengan hati lapang. Dengan kata lain, jabatan kepemimpinan menjadi alat mereka menutupi luka atau dorongan tersembunyi tadi yang ada pada dirinya. Rencana Tuhanpun menjadi hal kedua di dalam urutan prioritas mereka.

      Sebaliknya, ada pemimpin yang memiliki latar belakang keluarga yang sangat menyedihkan, namun mereka bahkan keluar dari latar belakang tadi dengan hati yang luas dan kasih yang lebih mendalam. Mereka dapat mencapai hal tadi karena mengalami kebutuhan untuk pemulihan dan mengakui hal tadi. Setelah pengalaman krisis diikuti dengan pengalaman dikasihi dan dipulihkan Tuhan mereka menjadi lebih arif. Namun perlu dicatat seperti dituliskan oleh Gary McIntosh dan Samuel Rima, penulis "Overcoming the Dark Side of Leadership" sebagian besar pemimpin kini, walaupun di luarnya terlihat sukses masih terikat dan terluka oleh pengalaman masa lalunya.

      B. KRISIS DAN TITIK NADIR

      Salah satu hal yang dapat menyiapkan seseorang untuk kepemimpinan adalah peristiwa yang membawa krisis atau membenamkannya ke titik nadir.

      Theodore Roosevelt, seorang presiden Amerika yang terkenal, menghabiskan masa kecilnya sebagai penderita asma yang parah sehingga ia harus meninggalkan sekolah. Ibu yang mengasihinya mendidiknya dengan baik. Pada tanggal 14 bulan Perbuari tahun 1884, ibu dan istrinya meninggal hampir bersamaan. Kesedihan ini memberikan krisis, namun ia terus melanjutkan perjalanan hidupnya dan akhirnya menjadi presiden.

      Krisis memang dapat menghancurkan seorang calon pemimpin, sebaliknya dapat pula memperkuatnya dan menjadikannya manusia yang agung. Hidup dengan segala kekejamannya tidak dapat mengalahkan mereka. Dalam tulisan Cina, krisis mengandung dua komponen: kesempatan dan bahaya.

      Mengapa krisis dapat menghantar mereka pada kepemimpinan? Seorang pemimpin Kristiani yang telah melalui krisis seringkali lebih menghargai hidup dan kebaikan serta kuasa Tuhan. Mereka merasa berhutang untuk memberikan sumbangsih pada kerajaanNya.

      C. KEGAGALAN

      Kegagalan dapat terjadi pada siapa saja. Namun sikap orang terhadapnya berbeda. Abraham Lincoln barangkali adalah orang yang memiliki rekor kegagalan berturut-turut. George Washington telah mengalami kalah perang lima kali berturut-turut sebelum ia berperang dengan pasukan Inggris. Billy Graham, sang pengkotbah, diramalkan akan menjadi orang yang tidak berguna untuk apapun juga setelah ia mengalami kegagalan.

      Kegagalan berturut-turut mendesak seseorang untuk menentukan entah ia akan menyerah atau maju terus sehingga tersisa satu kemungkinan, yaitu ia harus berhasil pada akhirnya. Setelah mengalamiberbagai kegagalan, Winston Churchil akhirnya merumuskan bahwa keberhasilan adalah proses menghadapi kegagalan berturut-turut dan berulang kali tanpa kehilangan entusiasme.

      Mengapa kegagalan menghasilkan kepemimpinan? Kegagalan memberikan banyak hal yang dapat dipelajari. Thomas Alfa Edison setelah sekian ribu kali gagal menemukan lampu pijar mengatakan ,,Kini aku telah tahu berbagai cara yang tidak membawa keberhasilan untuk memberikan lampu pijar ke tengah dunia kita." Akhirnya, iapun tiba pada cara yang tepat. Maka kegagalan adalah suatu berkat berupa kesempatan belajar yang mendalam dan kaya.

      Bagi seorang pemimpin Kristen, kegagalan mengajarkan mereka untuk lebih menyandarkan diri pada Tuhan atau membuka ruang seluas-luasnya agar kuasaNya mengalir. Mereka belajar duduk diam di depan Tuhan (Yesaya 30:15)

      D. CACAD ATAU KEKURANGAN

      D.L. Moody, sang pengkotbah terkenal, adalah seorang menderita cacad tatabahasa dan kemampuan bicara, apalagi di depan umum. Gus Dur memiliki mata yang rusak dan tidak dapat diperbaiki, namun pengaruhnya tetap besar. Jenderal Sudirman dalam sakitnya tetap memimpin pasukan dengan satu paru-paru sehingga harus ditandu tentaranya.

      Masih banyak contoh pemimpin-pemimpin besar yang secara pribadi memiliki cacad atau kekurangan fisik atau masalah dengan jasmani mereka. Sepintas lalu hal-hal tadi membuat mereka mengalami kalah start dan dalam posisi rugi. Nyatanya, kelemahan-kelemahan dan cacad tadi bahkan mendorong mereka bekerja dengan giat dan semangat yang luar biasa.

      Cacad atau kelemahan jasmani atau kejiwaan membuat seorang pemimpin menyadari bahwa kalau bukan karena karunia Tuhan, ia tidak memiliki kesempatan apa-apa. Kesadaran inilah yang membuat mereka maju bersama Tuhan dan akhirnya berhasilk gemilang.

      Faktor-faktor di atas berpotensi membawa orang pada kedalaman spiritualitas. Apa arti spiritualitas?

      A. Spiritualitas seorang pemimpin: menggali makna sebagai fondasi

      Enam ekor kera dikurung di dalam sebuah kamar. Di langit-langit kamar ini terpasang beberapa keran yang dapat memancarkan air ke seluruh kamar tadi. Juga disana tergantung setandan pisang. Sebuah tangga dipasang sehingga dapat dipanjat oleh kera-kera tadi untuk menggapai pisang tadi namun tangga tadi memiliki sensor elektrik.

      Setelah seperempat jam berada bersama di dalam kamar tadi, seekor kera menyadari adanya makanan yang tergantung di langit-langit. Otak keranya berputar dan mulailah ia menghubungkan adanya tangga dengan makanan tadi. Sang kera beringsut ke arah tangga itu dan mulai memanjatnya. Namun, ketika ia menginjak anak tangga ke dua, secara otomatis air keluar dari keran di langit-langit dan membasahi kera-kera lain. Mereka menjerit-jerit dan berlarian kian kemari. Setelah keadaan tenang, kera tadi mulai kembali mendekati tangga dan memanjatnya lagi. Kembali, air memancar membasahi kamar. Semuanya kembali kalut.

      Dalam setengah jam, peristiwa tadi terjadi beberapa kali. Lambat laun, kera-kera ini menyadari bahwa bila anak tangga disentuh, maka air akan memancar. Karenanya, setiap kali seekor kera mendekati tangga, kelima ekor kera lainnya menyergap dan mencegahnya menyentuh tangga ini.

      Setengah jam kemudian, salah seekor kera yang basah itu dikeluarkan dari ruang tadi. Seekor kera yang baru dibawa masuk. Tidak sampai lima menit berada disana, sang kera baru ini melihat sang pisang dan bergerak menuju tangga. Betapa terkejutnya hewan ini ketika teman-temannya menyergapnya. Ia pun lari kian kemari. Setelah keributan mereda, ia berupaya maju kembali ke arah tangga. Sekali lagi kelima kera menyergapnya. Lambat laun, setelah beberapa lama, ia belajar untuk menjauhi tangga.

      Beberapa menit kemudian, seekor kera yang baru dibawa masuk. Bila kera ini juga mencoba menaiki tangga, ia akan mengalami keterkejutan pula. Semua kera lainnya, termasuk kera yang baru masuk setengah jam sebelumnya ikut menyerbunya. Lama kelamaan, terbentuklah suatu kebiasaan di kelompok kera-kera itu. Setiap seekor kera mendekati tangga, rekan-rekannya akan menyergapnya tanpa kejelasan mengapa hal itu terjadi. Bila satu persatu kera yang pernah basah digantikan oleh kera-kera baru, tetap kebiasaan untuk menyergap siapa yang menuju tangga dilanjutkan. Kera-kera itu tidak pernah basah, namun mereka tetap memelihara perilaku yang tidak jelas maknanya bagi mereka.

      Hal yang digambarkan di atas seringkali terjadi dalam hidup para pemimpin. Berbagai hal dilakukan dengan kesungguhan, gairah dan resiko yang tinggi, namun tidak ada seorangpun yang berupaya untuk berhenti sejenak dan mempertanyakan maknanya. Dunia modern memang membuat orang hidup aktif tergopoh-gopoh. Untunglah masih ada segelintir pemimpin berani mempertanyakan makna tersebut. Merekalah yang membuat dunia mengalami perubahan-perubahan dahsyat. Orang-orang seperti Abraham Lincoln, Martin Luther King Jr, dan ibu Theresa adalah contoh nyata dari orang-orang yang tidak sekedar menjalani kehidupan mereka, tapi berani menggali dan mempertanyakan makna dari apa yang mereka lihat, dengar, atau alami. Spiritualitas berporos pada keberanian serupa itu.

      Membahas spiritualitas sering terasa sulit karena ada berbagai paham yang berbeda-beda. Spiritualitas menurut Romo Alex Dirdjo akan berbeda dari apa yang dipahami oleh Catherina dari Siena. Thomas Merton tentu juga menangkap nuansa spiritualitas yang berbeda dari pada apa yang ditangkap oleh penulis 'Life-style Evangelism". Di luar warisan Kristen, konsep dan praktik spiritualitas juga dikembangkan. Orang-orang seperti Kahlil Gibran atau Dalai Lama juga memiliki pemahaman tersendiri. Urusan spiritualitas jadi lebih merepotkan lagi, karena banyak orang telah menggumuli urusan ini tanpa menyadari bahwa ia sebenarnya sedang menyumbangkan berbagai pemikiran yang mendalam dan berharga tentang hidup spiritual.

      Untuk mendapatkan suatu definisi kerja, baiklah spiritualitas dipahami sebagai suatu kesediaan dan kemampuan menggali makna dari kenyataan-kenyataan hidup dimana pusat hidup itu yaitu TUHAN terus menerus diperhitungkan. Definisi ini membedakan spiritualitas dengan agama atau dengan filsafat hidup.

      Makna yang dihayati tadi mengaitkan realitas dengan inti yang terdalam dari dirinya. Bagi seorang pemimpin Kristen, hidup bukan hanya untaian peristiwa tanpa desain. Justru makna kenyataan berpusat pada Kristus. Filipi 1: 20 dsl menunjukkan bagaimana Paulus, misalnya, menganggap makna hidup adalah bagi Kristus, bahkan kematian tidak menakutkannya karena dianggapnya sebagai keberuntungan. Makna hidup kerja juga adalah bagi Kristus dan anak-anakNya.

Spiritualitas =kesediaan dan kemampuan menggali makna dari kenyataan-kenyataan hidup

      Ada mungkin kenali bahwa spiritualitas Timur dan Barat, atau Laut Tengah memiliki perbedaan tekanan. Dari Laut Tengah, spiritualitas dipahami sebagai suatu pemahaman tentang Tuhan serta keintiman denganNya yang kemudian diikuti dengan perasaan kagum, kesediaan mengabdikan diri dan hidup dengan rasa syukur. Dengan demikian, bagi seorang pemimpin Kristen misalnya, keintimannya dengan Kristus tidak mengharuskan dirinya meninggalkan atau mengabaikan dunia, bahkan kuasa Kristus harusdibawanya di setiap aspek kehidupan. Berbeda dengan paham tadi, di dalam berbagai aliran di Timur, spiritualitas seringkali dipahami sebagai kemampuan untuk mencapai pencerahan, atau pelepasan dari keterikatan dunia. Dapat juga dipahami spiritualitas, sebagai saat penyatuan dengan zat yang asali. Sekaligus dalam spiritualitas ini kehidupan kasat mata diabaikan atau dianggap tak berguna.

      Apa saja dimensi dari spiritualitas Kristiani ? Orang yang memiliki kadar spiritualitas yang baik adalah seorang yang memiliki tingkat keintiman yang dalam dengan Tuhan. Keintiman ini tercermin bukan hanya dalam pemahamannya, namun juga dalam penghayatan syukur dan terimakasih dalam semua aspek hidupnya atas berita baik (eu angelion/injil) dari Tuhan. Selanjutnya ia rindu untuk merasakan kuasa dan peka pada kehendakNya, hal mana tercermin dalam keberaniannya menempuh jalur baru dan resiko yang berat bagi Nya. Kemudian ia terus menerus waspada dalam menggali makna dari segala hal yang terjadi di dalam realita dalam kaitan dengan karya besarNya (the Master's Plan) disertai dengan kerinduan untuk menjalani hidup dengan transformasi terus menerus.

      Dalam perspektif Kristiani serupa itu, terutama dalam paham Kristiani yang tidak dualis dan memisahkan dunia rohani dari kenyataan lainnya, maka spiritualitas selalu harus bermuara dalam perbuatan dalam hidup sehari-hari atau sekurangnya pada transformasi diri. Dengan demikian muncullah istilah "walk the talk" sebagai salah satu ukuran otentiknya suatu spiritualitas.

Dengan pemahaman tadi spiritualitas harus sekaligus mengandung aspek-aspek sebagai berikut:

o pendalaman pemahaman dan perasaan,

o pergumulan dan perenungan makna,

o perubahan diri dan,

o melakukan perbuatan nyata, termasuk yang bersifat ritual maupun yang kegiatan sehari-hari seperti yang bersifat hubungan antar pribadi, perilaku manajerial dan perubahan sistem

      TRANSFORMASI DIRI DAN SISI GELAP KEPEMIMPINAN

      Seorang pemimpin adalah orang yang menggerakkan orang dan mengubahkan orang agar rencana Tuhan tewujud. Ia hanya dapat melakukan hal tadi dengan efektif dan efisien bila terlebih dulu ia sendiri mengalami digerakkan dan diubahkan Tuhan.

      Sebelumnya telah disinggung, ada pemimpin yang jatuh kedalam dosa keserakahan karena luka masa lalu membuatnya tidak menyadari bahwa uang merupakan faktor utama dalam hidupnya, ada juga pemimpin yang jatuh ke dalam dosa seksual karena ia tidak menyadari bahwa ia mengidap rasa sepi yang kronis sejak kecil, dan ada juga pemimpin yang jatuh ke dalam kesemena-menaan karena kehausan kuasa merupakan sesuatu motiv nya yang berakar pada masa lalu yang pahit. Ciri-ciri mereka terlihat dalam terpisahnya gambar diri, nilai dan visi mereka. Jadi seorang pemimpin Kristen perlu terus belajar dan diubahkan.

      Pertama, terjadi ia belajar dan menyempurnakan pahamnya tentang siapa dirinya sendiri. Perubahan ini membuatnya memahami riwayat pribadinya dalam kaitan dengan rancangan agung Tuhan bagi semesta. Selanjutnya, dengan penghayatan tentang makna hidupnya ini, ia mengalami rekonsiliasi (pemulihan) dari luka-luka yang diakibatkan oleh berbagai peristiwa yang menyakitkannya bahkan membuatnya kehilangan keyakinan atas kasih atau keagungan Sang Pencipta. Seorang pemimpin yang tidak secara serius dididik untuk mengenali luka-luka tadi akan serupa seorang penari di istana yang mempertontonkan seni geraknya tanpa terlebih dulu mandi setelah ia mengangkat tong sampah di dapurnya.

      Kedua, ia berubah dalam hal-hal yang dianggapnya bernilai. Paulus menunjukkan dengan sangat tajam: Tetapi apa yang dulu kuanggap keuntungan bagiku kini kuanggap rugi karena Kristus ... bahkan segala sesuatu kuanggap kerugian karena pengenalanku akan Kristus lebih mulia daripadanya (Ef 3:7-8) Jelas dalam contoh ini nilai ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tentang siapa dirinya dan tujuan hidupnya.

      Ketiga, akibat dari ke dua transformasi tadi terjadi suatu perubahan dalam impiannya atau visinya dan misi atau sasaran hidupnya. Keselarasan antara penghayatan siapa diri seseorang dengan nilainya serta visinya akan berdampak nyata. Ia tahu dengan jelas peran yang ia patut mainkan dalam hidup.

      Bila tidak terintegrasi, ketiga hal tadi membuat sang pemimpin tidak konsisten. Ia tidak lagi peka dengan Kehendak Tuhan, namun mengatas namakan Tuhan demi bias pribadinya. Inilah sisi gelap dari kepemimpinan Kristiani.

      Sebaliknya integrasi ketiga transformasi hal tadi akan menghasilkan kesediaan untuk menghasilkan sikap kepemimpinan dan skil kepemimpinan--dua hal yang perlu dipelajari terus menerus. Integrasi tersebut juga membuatnya berani mengambil resiko yang tinggi bahkan mati demi imannya. Dari Stephanus di Perjanjian Baru sampai jaman kini, orang-orang kuat serupa itu menghiasi sejarah gerejaNya.

      Jadi, bagi seorang pemimpin yang melayani, ia melakukan tugas kepemimpinan karena ia menyadari, memiliki pandangan hidup dan nilai bahwa ia diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk ambil bagian di dalam kehidupan semesta untuk membuat transformasi dan menolong orang bergerak.

      Kuasa yang ia miliki adalah pemberian dari sang pencipta dan bukan sesuatu yang harus ia kejar dan pupuk sendiri. Kepemimpinan adalah upaya baktinya bagi sang Pencipta. Dengan pemahaman seperti ini maka ia tahu siapa diri dan keterbatasannya. Ia tahu pula apa yang menjadi ambisinya yaitu melakukan semuanya dalam proses kepemimpinan seakan untuk menyembah sang Pencipta. Melayani sebagai pemimpin adalah bagian dari ibadah pengabdian. Kepemimpinan baginya adalah suatu proses belajar dan transformasi diri sebagai abdiNya.

      I. Bagaimana Anda mengevaluasi spiritualitas diri Anda sebagai seorang pemimpin?

      Kualitas spiritual seorang pemimpin dapat terukur dari kepekaannya membaca realitas kasat mata, terutama tren perubahan masyarakat. Kepekaan ini amat penting dalam dunia modern yang penuh dengan kepelbagaian, bertempo cepat, serta riuh rendah.

KEPEKAAN, KEINTIMAN DAN PENYERAHAN

DIRI

Kualitas spiritualitas ini tercermin juga dari keintiman hubungan sang pemimpin dengan Penciptanya. Setelah ia memiliki kepekaan ia perlu mampu menemukan makna dari semua gejala yang orang biasanya hanya tangkap secara inderawi serta direspon secara emosional dan nalar. Tanpa kemampuan untuk peka, kemudian diikuti dengan kemampuan menggali, mengungkap atau mengenali makna dari realita yang kompleks maka seorang pemimpin sulit mengajak pengikutnya bergerak ke visi yang baik. Hanya keintiman dengan Tuhan membuatnya merasa damai dan tenang sehingga ia bebas untuk menggali makna dari arus hidupnya.

      Kualitas spiritual sang pemimpin juga terbaca dari kedalaman penyerahan dirinya pada Tuhan. Seorang pemimpin harus mampu meneladani pengikutnya dalam penyerahan dirinya pad sang Pencipta. Penyerahan diri terlihat dari kebergantungan dan syukurNya. Penyerahan diri bukan berarti ia harus hidup secara pasif dan sepenuhnya tidak berbuat apa-apa. Ia tetap giat namun menyadari dan yakin bahwa ia dapat mempercayakan seluruh urusannya ke dalam tangan sang Pencipta. Dari sudut pandang orang Kristen Asia, kualitas penyerahan diri tadi tercermin di dalam tingkat keheningan yang seseorang alami atau kebebasan dari ikatan-ikatan yang menjauhkannya dari kebenaran.

      Pemimpin yang tidak spiritualis dan tidak mampu mengenali makna daripada apa yang ia hadapi sebenarnya adalah orang yang termiskin di dunia. Ia hanya menjalani hari-harinya. Ia terus merangkai hidupnya tanpa memahami pola yang sedang ia bentuk. Ia juga tidak menyadari jebakan persepsi-persepsi atau penangkapan inderawi serta respon emosinya terhadap realita. Bagi seorang pemimpin, tanpa makna yang diyakininya maka ia akan mudah bosan. Ia juga dapat mabuk kekuasaan, atau menangani berbagai hal detil saja. Iapun tidak dapat mentransformasi pengikutnya untuk mengenali makna dari gerakan mereka bersama menuju cita-cita mereka.

      Sebaliknya pemimpin yang mampu memahami makna urusannya kerapkali menjadi orang yang tegar, tahan derita, tetap konsisten, serta mampu mensyukuri apa yang ia hadapi -- walaupun mungkin pahit. Semakin dalam makna yang seorang pemimpin temukan, semakin kokoh kepemimpinannya. Ia dapat menentukan hal yang utama dari hal-hal sampingan. Sekurangnya ia dapat memimpin dirinya sendiri sesuai dengan makna yang ia yakini.

      Entah diakui atau tidak, orang yang tidak bergantung pada Yang Mahakuasa berarti harus menggantungkan dirinya pada suatu hal yang lain. Pilihan-pilihan sumber untuk diri bergantung misalnya ialah, kemampuan dirinya, koneksinya, sistem yang ia yakini, atau berbagai-bagai hal lain yang pada dasarnya adalah hasil ciptaan Yang Maha Kuasa. Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang manusia memiliki dua pilihan, yaitu bergantung pada Sang Pencipta atau pada ciptaanNya.

      Selanjutnya, seorang pemimpin yang tidak peka pada berbagai hal di balik hal-hal yang kasat mata dan trend yang muncul serta tidak bergantung pada sang Pencipta, akan mudah menjadikan dirinya sebagai pusat segala kepentingan yang ada. Ia akan menggantikan posisi sang Mahakuasa dengan dirinya. Dengan mengatas-namakanNya, ia mengejar kehendak dirinya sendiri. Dengan demikian, pada dasarnya ia sudah mengusir sang Pencipta dan menjadikan dirinya allah ciptaan benaknya. Sebaliknya, kepekaan pada hal-hal yang tidak kasat mata membuat orang terus menerus mewaspadai apa yang ia sendiri rasakan, kerjakan, dan impikan.

      Bila kepekaan tadi sudah dimilikinya, gerak majupun dapat terjadi. Namun cerita belum berakhir. Seringkali pemimpin yang puas dengan hal tadi menghasilkan gerakan yang belum tentu cukup lancar dan langgeng.

      II. Sikap seorang pemimpin

      Sikap adalah pola-pola yang mendasari perilaku. Sikap seorang pemimpin dalam hal ini dipahami sebagai pola-pola yang harus dimiliki seorang pemimpin. Pola-pola seorang pemimpin teramati dari perilaku mereka dalam pelaksanaan peran kepimpinan. Namun pola-pola tadi berakar pada pemahaman dan pengendalian respons emosi mereka dalam tugas memimpin. Keduanya terkait dengan nilai, ambisi dan gambar diri seorang pemimpin. Contoh sikap yang baik ialah, seorang pemimpin yang menyadari bahwa melayani berarti ia bersedia mengurbankan diri dan meletakkan dirinya di balik ketenaran pengikutnya.

      Dari mana datangnya pola-pola tadi? Pola-pola tadi merupakan gabungan dari dua pengaruh besar. Pertama, pengaruh yang merupakan bawaan (herediter), dan kedua adalah pengaruh dari proses belajar yang membekas dan tersimpan dalam ingatannya. Dengan demikian, lahirlah kebiasaan. Dalam hal ini ada dua hal penting yang dapat dipelajari dari kenyataan tadi.

      Pertama, sebagian besar dari pola-pola merupakan hasil dari pengaruh proses belajar. Hal ini merupakan kabar baik bagi kita. Semua yang telah dipelajari berarti dapat diteliti atau dipelajari ulang dan dibuang bila tidak lagi berguna. Dalam bahasa bahasa Inggrisnya dikenal istilah learned and unlearned.

      Contoh yang paling jelas adalah pola pemarah. Pada dasarnya kebiasaan menjadi pemarah disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya disebabkan karena faktor bawaan biologis yang membuat individu lebih mudah marah. Beberapa anak pemarah dinasehati, ditenangkan, dan diajak berpikir mengenai kemarahan mereka. Akhirnya, mereka menjadi orang yang mengenali mudahnya mereka marah dan kemudian belajar untuk mengendalikan kemarahannya atau menyalurkannya dengan cara yang wajar. Sebaliknya, ada anak-anak pemarah yang setiap kali mereka marah, menerima pukulan dari orang tuanya. Akibatnya, mereka jadi takut untuk marah terhadap atau di depan orang-orang yang mereka anggap lebih kuat. Anak-anak ini belajar untuk marah hanya kepada orang-orang yang lebih lemah dari mereka. Setelah dewasa dan menjadi pemimpin, seringkali mereka menjadi orang yang sadis, bahkan cenderung marah dengan kasar kepada orang-orang yang menjadi bawahan mereka. Di pihak lain, mereka dapat pula menyamarkan diri menjadi orang yang manis dan penurut di depan atasan. Mereka belajar bahwa cara ini lebih aman. Pola marah ini menjadi bagian dari diri mereka. Kecuali mereka dengan sengaja belajar mengenai pola asal mula, akan sulit mereka menjadi pemimpin yang sesungguhnya.

      Kedua, seringkali suatu pola perilaku menjadi bagian dari diri seseorang tanpa disadarinya. Banyak orang tidak menyadari bahwa hal tersebut dapat diubah bila mereka dengan sengaja memperhatikan dan merancang perubahan dalam diri. Dalam hal ini, kaitan antara perilaku dan ingatan atau apa yang dipelajari dari masa lalu sangat berperan aktif. Dalam bahasa ilmu jiwa terjadi proses conditioning atau pembiasaan.

      Ahli ilmu jiwa, Pavlov melakukan pembiasaan ini pada anjingnya. Setiap kali si anjing lapar, Pavlov memberinya makanan sambil membunyikan bel. Lama-kelamaan si anjing ini terbiasa mengaitkan bunyi bel dengan kehadiran makanan. Ia mempelajari hubungan antara bel dengan makanan. Pada suatu hari ketika bel tadi dibunyikan, si anjing bereaksi seakan makanan hadir, misalnya mengeluarkan air liur.

      Bila anjing terus menerus mendengarkan bel, namun makanan tidak juga hadir pada suatu titik tertentu, ia dapat belajar lagi bahwa bel dan makanan tidak selalu terkait. Ia membuang asosiasi atau kaitan yang telah dipelajari-nya sebelumnya, kemudian hal itu dicerminkan di dalam perilakunya (unlearned).

      Seorang manusia seringkali mempelajari begitu banyak hal dalam lima tahun pertama dalam hidupnya sehingga ia tidak lagi menyadari kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa ia mempelajari hal tadi. Dalam arti tertentu, apa yang dipelajari dapat memberikan faedah bagi dirinya, namun sekaligus secara potensial menjebak dirinya untuk terus menerus menggunakan pola yang telah dipelajari tadi di dalam hidupnya. Anjing Pavlov pun terjebak ke dalam pola yang ia buat, yaitu mengeluarkan liur setiap ia mendengar bel. Namun, pengalaman atau rangsangan baru membuatnya mempelajari ulang hal tadi. Manusia tidak sesederhana sang anjing, karena dapat memilih dan menghindari pengalaman atau rangsangan yang bertentangan dengan pola yang telah dipelajarinya. Ia akan menghindar dari rangsangan yang memaksanya mengadakan proses unlearned. Seorang pemimpin juga sering terjebak dalam pola itu. Misalnya, seorang penakut akan menghindari pengalaman-pengalaman yang membawanya menghadapi resiko tinggi, apalagi resiko yang dapat melukai dirinya. Ia belajar di masa kecil bahwa melarikan diri dari kesulitan, bahaya, dan tantangan akan memberikan keberhasilan baginya. Pola ini diterapkannya bertahun-tahun dan berhasil.

      Walaupun suatu budaya mempengaruhi tata nilai dan akan menentukan pemahaman tentang pola kepemimpinan, ada beberapa pola yang berlaku universal yang ditampilkan dalam hidup tokoh-tokoh besar dalam sejarah manusia. Pemilik dari pola-pola ini dapat disebutkan sebagai orang yang memiliki pola atau sikap kepemimpinan.

      Pertama, mereka sangat kentara dalam mengendalikan diri untuk mengatasi kecenderungan manusiawi-nya. Mereka sering menyadari kesulitan dan aniaya yang akan dialami mereka ketika mereka mengejar pencapaian misi hidup mereka, namun mereka tidak membiarkan naluri manusiawi yang selalu ingin menghindar dari derita menguasai keputusan-keputusan mereka. Orang-orang seperti Abraham Lincoln, atau Martin Luther dan Bonhoeffer kentara dalam hal ini. Contoh yang jelas dalam hal ini ialah bagaimana seorang pemimpin menghadapi kritik. Bila seorang biasa menghadapi sepuluh kritik yang tidak benar serta disampaikan bersama dua kritik yang tepat, ia akan tersinggung karena sepuluh kritik yang menyakitkan perasaannya. Namun seorang pemimpin akan brterimakasih untuk kedua kritik yang tepat dan mengabaikan sepuluh kritik yang lain.

      Kedua, kerangka pendekatan atau sudut pandang para pemimpin sangat berbeda dari orang di sekitarnya. Misalnya, Kristus Yesus. Ketika Ia menderita kelelahan yang sangat berat dan sekelompok anak-anak kecil datang, Ia tidak meremehkan mereka. Berbeda dengan kita, Ia tidak mendahulukan kepentingan-Nya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak dalam kerangka pikir Allah merupakan mahluk yang penting. Di dalam bagian lain bahkan Ia menunjukkan pada kerinduan seorang anak yang menerima-Nya sebagai model dari cara yang tulus menerima Tuhan, padahal anak kecil sampai masa kini pun sering disepelekan. John Burke dari Johnson and Johnson juga mengambil keputusan yang luar biasa dengan menarik produk Tyllenol yang segelintir diantaranya diracuni orang. Padahal keputusan tadi merugikan posisinya dalam jangka pendek. Biaya penarikan saja telah mencapai 5 milliar dollar. Belum lagi kehilangan pangsa pasarnya. Ternyata 2 tahun kemudian, ternyata keputusan dan pola pikirnya sangat tepat.

      Ketiga, dengan meneliti hidup tokoh-tokoh yang mempengaruhi sejarah manusia dapat disimpulkan bahwa mereka bekerja sangat keras, menyadari daya pengaruh yang ada di dalam diri mereka serta pantang menyerah. Abraham Lincoln dengan segala keanehannya merupakan suatu contoh manusia yang sangat bekerja keras. Demikian juga John Calvin, atau Kagawa, teolog Jepang yang terkenal. Mereka menjadi teladan karena kerja keras mereka dan sikap pantang menyerah.

      Keempat adalah, bagaimana sebagian besar tokoh-tokoh yang berhasil mengubah hidup dan meninggalkan jejak yang dalam cenderung memiliki dapat meletakkan diri pada posisi orang lain. Mereka memiliki kepekaan pada apa yang orang butuhkan, rasakan, dan tanggung. Penulis buku Uncle Tom's Cabin yang mengubah sejarah, demikian juga penulis Tom Sawyer, atau perjuangan Multatuli merupakan contohnya.

      Kelima adalah pola yang mungkin tidak banyak teramati, yaitu mereka mengamati dan memperhatikan hal-hal yang kecil dan terus memperbaiki apa yang telah mereka capai dengan konsisten. Pematung-pematung di Bali, atau pembuat batik di Jawa Tengah merupakan contoh hal ini.

      Keenam, para tokoh merupakan orang yang sangat teratur dan berdisiplin menangani dirinya sendiri. Mereka tidak membuang-buang waktu apalagi untuk bergossip atau sekedar berseloroh kian kemari. Mereka terus giat belajar dalam keadaan yang sulit dan miskin fasilitas sekalipun. Ada di antara mereka yang terus menerus mendoakan orang yang sama secara teratur dan berdisiplin untuk waktu yang panjang. Mereka juga memeriksa diri dengan serius secara berkala. Keseluruhan sikap di atas yang teramati oleh orang lain membuat mereka unggul dan dipercaya orang. John Christosotomus, sang mulut emas, adalah seorang bapak gereja yang bekerja keras dengan disiplin untuk menghafal Alkitab dengan rinci. Selama proses itu yaitu dua tahun ia mendisiplinkan dirinya untuk tidak tidur berbaring, namun dengan duduk.

      Ketujuh, para pemimpin memiliki sikap tegas dan berani memberi arah. Di dalam situasi yang membingungkan sikap pemimpin yang tegas akan menenangkan dan memberikan kepastian yang dibutuhkan komunitasnya.

      Dapat juga dicatat bahwa sikap seorang pemimpin juga memiliki ketegangan. Di satu pihak ia mampu mengendalikan diri, di pihak lain ia harus berani melepaskan kendali banyak hal secara berkala. Juga, ia harus mampu tekun dan berdaya juang, namun di pihak lain ia harus mampu untuk diam, merenung dan tidak berbuat apa-apa. Seorang pemimpin juga harus mampu memiliki sudut pandang yang berbeda-beda untuk situasi yang berbeda-beda, namun di pihak lain, ia juga harus mampu tetap menjaga konsistensi dan keteguhan pendirian. Sementara itu dengan pengikut dan pihak lain yang terkait ia harus mampu menjalin hubungan yang akrab, namun di pihak lain, ia harus pula mampu menjaga jarak. Demikianlah ketegangan yang para pemimpin harus dipikul mereka dalam mengembangkan sikap kepemimpinan.

      III. Skil atau keterampilan seorang pemimpin

      Sikap seorang pemimpin membuat pengikutnya mempercayakan diri padanya. Namun seorang pemimpin perlu membuat gerak dan perubahan. Untuk itu selain sikap diperlukan serangkaian keterampilan atau skil kepemimpinan. Secara sederhana definisi keterampilan adalah kemampuan mengubah sesuatu yang ada menjadi apa yang dikehendaki sesuai dengan rencana. Keterampilan menyangkut pengenalan bahan, input, atau apa yang dapat diolah. Keterampilan juga terkait dengan tahap-tahap pelaksanaan pengolahan, serta bobot atau jumlah energi yang dibutuhkan, bahkan kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dan perkecualian.

      Dalam bahasa Inggris, keterampilan adalah sesuatu yang dapat Make things happen. Sesuatu yang terjadi, diolah, atau diubah tadi dapat berupa hubungan antar rekan, cara kerja, cara ber-organisasi, bangunan, dana, informasi, dan sebagainya.

      Keterampilan dapat juga disebut sebagai suatu daya transformasi yang memungkinkan seorang pemimpin menjadikan apa yang tersedia menjadi sesuatu yang bermanfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Cara mengubah atau menjadikan ini adalah proses pengubahan yang paling efektif dan efisien. Artinya, dapat tepat mencapai sasaran serta menggunakan porsi yang dikehendaki.

      Suatu hal yang membedakan dunia sebelum ini dengan zaman ini adalah manusia harus semakin bergantung satu sama lain. Oleh sebab itu, salah satu keterampilan kepemimpinan yang paling mendasar untuk dunia modern adalah keterampilan untuk mengelola hubungan dengan baik. Untuk situasi komunitas Asia, dimana kompleksitas organisasi dan hubungan antara manusianya cukup tinggi, maka sangat dibutuhkan keterampilan kepemimpinan yang menghasilkan hubungan baik tadi. Untuk menyokong hal tadi sebuah keterampilan lain dibutuhkan.

      Seorang pemimpin perlu memiliki keterampilan berkomunikasi secara interpersonal, dalam kelompok, maupun secara massal. Kegunaan keterampilan nyata dalam beberapa hal:

      mencari data,

      mengubah sudut pandang orang,

      menjelaskan sudut pandang kita,

      menyimak orang lain,

      menggunakan komunikasi yang memungkinkan terjadinya sinergi, atau menangani konflik.

      Keterampilan lain yang sangat penting terutama agar dapat menciptakan sinergi dalam lingkup kerja, adalah keterampilan menggalang tim kerja yang mampu bekerja sama (dan bukan cuma sama-sama bekerja). Akibatnya, orang belajar untuk meningkatkan entusiasme kerja, kompetensi, dan kesadaran saling menopang yang akan menuju pada produktivitas yang tingkatnya lebih tinggi.

      Tim kerja yang baik harus memiliki kemampuan mengambil keputusan secara runtut dan masuk akal. Keterampilan pengambilan keputusan antara lain menolong orang untuk membedakan antara informasi dan persepsi atau tafsiran tentang informasi tadi. Keterampilan pengambilan keputusan membuat kita mampu mengenali alternatif atau pilihan-pilihan, bahkan menentukan prioritas-prioritas kita.

      Akhirnya, seorang pemimpin di dalam konteks Indonesia pada khususnya harus mampu memiliki keterampilan untuk mencari alternatif dan kerangka yang lebih besar, terutama dalam situasi konflik dan persaingan ketat di tengah masyarakat yang majemuk.

      Keseluruhan jenis keterampilan yang diuraikan di atas dapat disimpulkan ke dalam tiga jenis yang sangat dibutuhkan dewasa ini, di samping keterampilan yang bersifat teknis spesifik, seperti keterampilan memasak, mengecat, memotong rambut, mengukir es, mengaudit pembukuan, dan lain-lain.

      Pertama: jenis-jenis keterampilan untuk merumuskan apa yang mau dicapai bersama dalam jangka pendek.

      Kedua: jenis-jenis keterampilan dalam proses mengajak orang lain untuk menyusun tahap-tahap kerja sama serta pelaksanaannya

      Ketiga: jenis keterampilan untuk mengelola diri sendiri dan memberikan kontribusi yang tepat pada waktu yang tepat.

      Bila keterampilan kepemimpinan dihasilkan, bersama dengan sikap yang seharusnya, maka seorang pemimpin tumbuh melalui pengalamannya bukan saja untuk menjadi semakin handal dan terampil namun tumbuh pula dalam kebijaksanaannya (wisdom/hokma).

      IV. Pemimpin dan sensitivitasnya

      Seorang pemimpin harus memiliki radar yang tajam. Namun radar ini atau kepekaan seorang pemimpin hanyalah berguna kalau dirinya tenang. Bila ia tergopoh-gopoh, penuh dengan kekuatiran atau merasa kurang, maka kepekaan tadi sulit muncul dan menjadi berguna, sama seperti seorang pembaca radar yang ingin cepat-cepat pulang.

Kepekaan ini hanya muncul kalau seorang pemimpin senantiasa peka terhadap dinamika yang ada di dalam dirinya sendiri. Tanpa kepekaan ini ia akan mudah jatuh ke dalam bias dalam menangkap hal-hal di sekitarnya.

      Kepekaan apakah yang seorang pemimpin perlu kembangkan dalam ia membaca dirinya sendiri?

      Pertama-tama, kepekaan atas asumsinya tentang gambar dunia atau kepekaan pada world view nya. Setiap orang memiliki suatu gambaran tentang dunia dimana ia berada. Ada yang memahami dunia sebagai arena. Adapula yang menggambarkannya sebagai rimba yang menakutkan, suatu mal yang menarik, atau sebuah perjalanan pulang. Ia perlu peka bagaimana gambaran yang hidup dan ia gunakan ini mempengaruhi keputusan, hubungan-hubungan serta tindakannya.

      Kedua adalah bahwa seorang pemimpin harus peka tentang apa yang ia anggap bernilai di dalam hidup. Sadar atau tidak hal ini akan menentukan arah kerja, besarnya upaya, dan tingkat resiko yang akan diambil seorang pemimpin di dalam pekerjaannya.

      Ketiga, seorang pemimpin juga perlu peka terlebih dahulu pada kadar harga diri dan gambar dirinya.

      Keempat, ia perlu peka juga terhadap ambisi dan kebutuhan diri pribadinya.

      Keseluruhan kepekaan tadi akan membuatnya peka terhadap persepsinya sendiri dibandingkan dengan realitas yang ditangkap oleh persepsi itu.

      Bagaimana dengan kepekaan budaya? Tanpa disadari budaya merupakan bagian hidup. Tanpa pernah hidup dan berkecimpung dalam budaya lain, seringkali orang tidak menyempatkan diri untuk menilai budayanya. Budaya tadi tercermin di dalam hal-hal yang kasat mata, seperti warna dan penampilan. Misalnya, warna yang dianggap "mencolok" di suatu budaya dapat dianggap sangat pantas dan lumrah di budaya lain. Kemudian lebih dalam lagi, budaya tercermin di dalam perilaku orang. Misalnya, perilaku dalam memberi salam (dari sentuhan jari, sentuhan pipi, sampai menggosok-gosok hidung). Masih lebih dalam lagi, tiap budaya memiliki apa yang dianggap bernilai.

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 
AttachmentSize
bahan_bakar_kepemimpinan.pdf512 KB

Komentar