Menilai Bukan Berarti Membandingkan

Di dalam kehidupan ini, sering kali kita diperhadapkan dengan penilaian. Ketika kita masuk sekolah, baik dari tingkat yang terkecil seperti TK sampai tingkat tertinggi di universitas, kita akan menerima hasil penilaian dari orang tertentu. Kita akan dibandingkan dengan standar yang ada atau orang-orang yang bersaing dengan kita. Kita pun cenderung melakukan penilaian dalam kehidupan kita. Kita membandingkan anak kita dengan anak tetangga kita. Dan kita pun mulai berujar, "Mengapa anak saya bodoh?"

Sebagai pemimpin, bisa jadi kita tergoda untuk memberikan penilaian. Kita memperlihatkan standar kerja ke orang yang kita pimpin. Lalu kita pun tergoda untuk mengatakan bahwa mereka bukan anak buah yang baik. Sebenarnya hal yang sama pun terjadi di lingkungan orang yang kita pimpin. Mereka juga menilai kepemimpinan kita dan memberikan komentar, apakah kita pemimpin yang baik atau bukan. Sekali lagi, kita akan membandingkan dengan orang lain.

Penilaian sering terjadi, dan menurut saya, penilaian bukanlah hal yansg salah. Kita pernah mendengar Tuhan mengutarakan kekecewaan-Nya ketika melihat hamba-Nya tidak melakukan tugasnya dengan baik. Kita juga pernah membaca Tuhan kecewa terhadap imam Eli dan memilih penggantinya karena nilai yang tidak bagus. Anak-anak imam Eli tidak melakukan apa yang benar di hadapan Allah. Nah, bagaimana cara Tuhan memberikan penilaian?

Saya tidak menemukan Tuhan membandingkan hamba-Nya dengan orang lain. Dia membandingkan hamba-Nya dengan hamba itu sendiri. Adam misalnya, ketidaktaatannya dibandingkan dengan Adam yang seharusnya. Kemudian Elia, ketika ia lari karena ketakutan, Tuhan hadir dan menyadarkan Elia akan Elia yang Tuhan kenal. Lalu Daud, dosa yang dia lakukan dinilai, dan sekali lagi, Tuhan membandingkan Daud dengan Daud yang seharusnya. Yesus pun melakukan hal yang sama. Hal ini terjadi ketika Marta protes dan meminta penilaian dari Yesus. Marta merasa sudah sangat rajin melayani Yesus dan membandingkan diri dengan Maria. Namun, Yesus tidak terjebak dengan penilaian tersebut. Dia tidak membandingkan Maria dengan Marta, melainkan memberi tahu bahwa Maria sudah mengambil pilihan yang baik. Petrus, yang sudah mengkhianati Yesus, tidak dibandingkan dengan Yohanes atau murid lainnya. Yesus justru memberikan Petrus kekuatan untuk menjadi dirinya yang sesungguhnya.

Buat saya, itulah inti penilaian. Membandingkan diri mereka sendiri dengan diri mereka yang seharusnya. Anak yang sudah belajar giat tetapi tetap mendapatkan nilai yang buruk, perlu kita beri ucapan selamat. Karena mereka sudah bisa mencapai hasil maksimal yang bisa mereka capai. Anak yang sangat pintar, yang setiap hari hanya santai-santai tapi mendapatkan nilai yang bagus, perlu kita tegur karena mereka seharusnya bisa mencapai lebih dari yang saat ini mereka capai.

Penilaian kita bukan lagi berdasarkan hasil, tetapi usaha mereka. Peringkat di kelas tidak lagi berdasarkan rata-rata hasil ujian, melainkan seberapa keras mereka belajar. Kinerja kita dinilai bukan berdasarkan prestasi diri kita -- seberapa banyak kita bisa menjual produk, merekrut orang, dsb. -- melainkan sejauh mana kita berusaha. Kita bandingkan dengan diri kita sendiri.

Jika kita memang mampu mendapatkan nilai 10 dan kita hanya mendapatkan nilai 9, maka kita mendapatkan penilaian yang kurang bagus. Sedangkan jika kita memang hanya mampu mendapatkan nilai 7 tetapi kita mendapatkan nilai 8, maka kita akan dinilai sangat bagus. Adilkah hal ini? Kita melihat konsep yang sama dalam perumpamaan talenta. Satu orang diberi satu talenta, yang lain dua, dan lainnya lima. Tuhan tidak membedakan antara orang yang memberikan hasil dua dan lima talenta. Mereka mendapatkan penghargaan yang sama. Bukankah kita akan lebih menghargai yang menghasilkan lima dibandingkan dua? Tetapi Tuhan memperlakukan mereka dengan cara yang sama. Penilaian Tuhan tidak berdasarkan hasil yang mereka capai, melainkan usaha mereka, sesuatu yang mereka lakukan.

Ditulis oleh: Sri Libe Suryopusoro

File: 

Komentar