MEMIMPIN DI TENGAH KONFLIK
Diringkas oleh: Puji Arya Yanti

Ada yang unik dan berbeda dalam edisi tutup tahun majalah Time 2002. Tahun-tahun sebelumnya mereka memilih satu orang untuk tampil di halaman utama sebagai Person of the Year, tapi kali ini tiga orang sekaligus. Semuanya wanita dan kisah mereka sarat dengan pelajaran kepemimpinan tentang konflik.

Orang pertama, Coleen Rowley, staf pengacara FBI yang mengirim memo sensasional kepada Direktur FBI. Dia menjelaskan bahwa biro bergengsi itu tidak menggubris surat dari kantornya di Minneapolis sebelum 11 September untuk menginvestigasi Zacarias Moussaoui, yang akhirnya diseret ke meja hijau sebagai salah seorang konspirator aksi teroris tersebut.

Orang kedua, Sherron Watkins, Wakil Presiden Enron, perusahaan terbesar ke-7 di Amerika yang bergerak di bidang energi, yang menulis surat ke Pemimpin Enron dan melaporkan penyelewengan metode akuntansi perusahaan tersebut. Penyelewengan itu menutup-nutupi utang perusahaan milyaran dolar dengan skenario kontrak kerja sama yang mencurigakan, sementara eksekutif elit Enron meraup keuntungan pribadi dengan stock option mereka.

Orang ketiga, Cynthia Cooper, Wakil Kepala Divisi Internal Audit WorldCom, perusahaan multinasional terbesar ke-25 di Amerika. Ia memberitahu dewan WorldCom tentang adanya upaya sistematis untuk menutup-nutupi kerugian perusahan sebesar 3,8 triliun dolar Amerika melalui taktik akuntansi yang kreatif. Akhirnya, CEO WorldCom yang sebenarnya sangat dihormati di Amerika terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama enam puluh lima tahun.

Ketiga wanita itu disebut "whistle-blowers", suatu ungkapan bagi individu yang menyingkap suatu hal yang sensitif dan disembunyikan, sebagaimana definisi kamus Merriam-Webster. Dan dari kisah mereka, ada pelajaran kepemimpinan dalam menghadapi konflik yang terlalu berharga untuk tidak dihiraukan.

Konflik Internal: Penjara Ketakutan

Sebenarnya Rowley, Watkins, dan Cooper takut dengan konsekuensi yang akan diterima setelah aksi mereka, namum mereka akhirnya memilih untuk menyuarakan kebenaran. Mereka memutuskan untuk mendengarkan dan menaati hati nurani daripada dipenjara oleh ketakutan mereka sendiri. Meskipun untuk itu mereka harus membayar harga yang mahal, seperti mengorbankan pekerjaan, kesehatan, privasi, dan keseharian hidup mereka.

Pertanyaan utama bagi kita, apakah kita akan berdiam diri saja atau menyuarakan kebenaran dengan hikmat bijaksana? Seperti apa yang ditulis Martin Luther King, Jr., "Our lives begin to end the day we become silent about things that matter."

Anda akan berempati dengan dilema yang dihadapi Rowley, Watkins, dan Cooper bila Anda pernah berada dalam posisi mereka. Sungguh tidak mudah, karena kita dipaksa untuk berhadapan dengan diri kita sendiri. Bukan dengan "diri" yang kita proyeksikan di umum, namun "diri" apa adanya. Hal itulah yang membedakan pemimpin dengan nonpemimpin: reaksi terhadap konflik internal dalam diri kita. Reaksi terhadap ketakutan. Meskipun demikian, bukan berarti pemimpin tidak boleh memiliki rasa takut. Ketiga pemimpin di atas juga ketakutan. Namun bedanya di sini, pemimpin bergelut dengan rasa takut tersebut dan memilih untuk tidak tunduk padanya.

Hal tersebut seharusnya juga berlaku khususnya bagi pemimpin Kristen karena ia tahu hidupnya ada di tangan Tuhan yang telah mati dan bangkit baginya. Dan karena Allah berdaulat mutlak, maka tidak akan ada sehelai rambut yang akan lepas dari kepala kita tanpa sepengetahuan dan seizin Allah. Dalam pledoi yang dibacakan Romo Sandyawan di depan majelis hakim berkaitan dengan keberpihakan dan perjuangannya membela para korban kasus Mei 1998 dan mencari keadilan di tengah rezim pemerintahan yang begitu korup, ia mengucapkan kalimat-kalimat berikut:

"... maka kalau memang semua (penderitaan) ini merupakan konsekuensi perwujudan iman saya ... dan sekarang itu berarti secara nyata saya akan dilemparkan ke balik jeruji penjara, menjadi bagian dari tumpukan para korban, saya siaga dan ikhlas. Memang saya merasa lemah, namun saya tak sudi tunduk mengabdi kepada ketakutan ...."

"Saya tak sudi tunduk mengabdi kepada ketakutan." Kiranya kalimat kristalisasi iman ini menguatkan kita dalam melakukan tugas kepemimpinan yang kita emban.

Konflik Eksternal: Intimidasi dan Pengkhianatan

Ketabahan dan ketegaran menghadapi konsekuensi dari aksi pribadi mereka adalah pelajaran kedua dari Rowley, Watkins, dan Cooper. Awalnya mereka mencoba mengangkat kejanggalan dan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi, mereka diminta membatalkan niat tersebut oleh atasan, bahkan diperingatkan akan risikonya terhadap masa depan karier mereka dan implikasinya terhadap keuangan mereka.

Kepemimpinan memang identik dengan konflik. Memilih menjadi pemimpin sama juga memilih untuk mengakrabi konflik. Karena pemimpin pada esensinya memobilisasi orang lain untuk berubah atau bergerak dari "status quo" menuju ke suatu tujuan yang lebih ideal. Perubahan yang nyata selalu mengundang konflik, baik konflik internal maupun eksternal. Inilah sebabnya mengapa kepemimpinan identik dengan konflik.

Itu sekaligus menjelaskan mengapa jalan seorang pemimpin adalah jalan yang sepi. "Leadership path is a lonely one." Semakin besar tanggung jawab seorang pemimpin, semakin sepi jalan yang harus ia lalui. Dan ketika ia mengambilnya sebagai tanggung jawab pribadi, tindakan menyuarakan kebenaran seperti ketiga wanita di atas, hampir pasti memunculkan resistensi.

Watkins menceritakan bahwa banyak orang yang mulai menjauhi dan meninggalkannya. Dia merasa dikhianati. Perasaan tersebut memang menyakitkan. Seorang penyanyi Kristen, dalam lirik lagunya tentang pengkhianatan Yudas menulis, "Only a friend can betray a friend. Strangers have nothing to lose." Hanya seorang sahabat yang dapat melakukan pengkhianatan. Semakin dekat persahabatan tersebut, semakin tajam pisau pengkhianatan menusuk ulu hati.

Tatkala Anda berpikir sedang memerjuangkan suatu kebenaran dan patut mendapat dukungan moral, namun malah dikhianati, Anda pasti mengalami bagaimana pergumulan yang menghasilkan keberanian tersebut seketika hilang. Anda pun kembali dari titik awal dengan diselimuti keragu-raguan. Apakah kebenaran ini cukup berharga untuk diperjuangkan? Apalagi kalau ada banyak yang menjadi taruhannya.

Momen-momen penting di dalam konflik seperti di atas itulah yang membentuk seorang pemimpin. Momen-momen tersebut kritis karena menyentuh dan menguji fondasi karakter dan sistem nilai kita. Tanpa melalui momen-momen tersebut, pemimpin tidak akan pernah teruji dengan baik.

Respons Yesus terhadap pengkhianatan Yudas adalah respons yang sangat luar biasa. Hal itu juga menjadi perbedaan signifikan yang membedakan Yesus dengan ketiga wanita tersebut. Yesus mengetahui sejak semula bahwa Yudas akan berkhianat, sementara Rowley, Watkins, dan Cooper tidak pernah menyangka sahabat dan koleganya akan mengkhianatinya. Meskipun Yesus tahu akan dikhianati, Ia tetap melayani Yudas, membasuh kakinya, dan mengeringkannya dengan penuh kasih. Kita patut bersyukur dengan teladan tersebut.

Ketiga wanita yang menjadi Persons of the Year tersebut tidak pernah menyebut diri mereka sebagai pemimpin. Mereka juga tidak pernah berambisi menjadi seorang publik figur -- kemunculan mereka ke mata publik disebabkan apa yang mereka lakukan bocor ke tangan media. Namun, apa yang telah mereka lakukan membuat mereka pantas menyandang gelar pemimpin. Mereka bukan saja Persons of the Year, tetapi juga Leaders of the Year.

Diringkas dari:

Judul buku : Kepemimpinan Konsep Karakter Kompetensi Kristen
Judul artikel: Memimpin di Tengah Konflik
Penulis : Sendjaya
Penerbit : Kairos Books, Yogyakarta 2004
Halaman : 149 -- 155