JEMAAT YANG BARU

Nama saya Asar. Beberapa tahun yang lalu saya berniat untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang Yesus. Kehidupan teman saya, Amir, telah berubah secara menakjubkan. Ia menjadi orang yang baik, lebih jujur, dan juga rendah hati. Pada waktu itu saya betul-betul heran melihat dia menjadi berbeda sekali. Ia mengaku kepada saya bahwa ia sudah menjadi orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Ia mengakui Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya pribadi. Amir adalah orang pertama di kota kami yang percaya kepada Yesus. Tak henti-hentinya ia dicemooh karena kepercayaannya itu. Walaupun demikian, ia selalu sabar dan tetap bersikap baik.

Sejak kecil saya dilarang membaca Alkitab, dilarang masuk ke dalam gereja ataupun mempercayai bahwa Yesus adalah Anak Allah, Penebus dosa. Imam-imam mengatakan bahwa Yesus hanyalah seorang nabi. Menurut mereka, orang dungu sajalah yang percaya bahwa Yesus lebih dari seorang nabi. Meskipun demikian, perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan Amir tetap membuat saya ingin tahu lebih banyak lagi tentang ajaran Yesus.

Pada suatu hari saya pergi ke sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggal saya. Di kota itu tidak ada yang kenal saya. Di sana ada gereja. Ketika saya sudah dekat dengan gereja itu, saya melihat ada tanda salib besar berwarna merah di pintunya. Salib itu mengingatkan saya pada Perang Salib yang terjadi berabad-abad yang lalu. Sejak kecil kami sebagai kaum Muslim sudah diberitahu bagaimana pada zaman itu orang-orang Kristen membunuh ribuan nenek moyang kami. Dalam Perang Salib itu orang-orang Kristen mengenakan seragam perang yang ada tanda salibnya. Jadi, setiap kali saya melihat tanda salib, saya merasa terpukul. Akan tetapi, saya mau tahu lebih banyak lagi tentang Yesus. Jadi, saya terus melangkah mendekati pintu itu dan melihat ke dalam gereja.

Ada banyak orang sedang beribadah. Satu hal yang sangat mengejutkan: Tidak ada yang melepaskan sepatunya! Mengapa mereka, yang mengatakan bahwa mereka menyembah Allah Yang Mahakuasa, tidak melepaskan sepatunya waktu beribadah? Itu tidak menghormati Allah. Lagi pula orang-orang itu duduk di kursi, bukan di lantai. Duduk di lantai menunjukkan setiap hormat di hadapan Allah yang memiliki segala kuasa.

Oleh karena saya benar-benar ingin tahu lebih banyak lagi tentang Yesus, saya melepaskan sepatu, masuk, dan duduk. Saya terkejut lagi. Wanita dan pria tidak dipisah. Kaum wanita tidak mengenakan kerudung! Apakah orang-orang Kristen tidak menghormati Allah? Di depan ruangan itu ada meja yang penuh dengan bunga-bunga. Saya berpikir, barangkali orang Kristen memberi sesajen kepada ilah-ilah seperti orang Hindu. Lalu bunyi musik dan lagu memenuhi ruangan. Tidak begitu enak untuk didengar. Kata-katanya dalam bahasa saya, tetapi nada dan iramanya ala Barat. Aneh kedengarannya di telinga saya. Cara mereka berdoa juga aneh. Mereka berdoa di dalam nama Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Saya berpikir, benar juga apa yang dikatakan tentang orang-orang Kristen. Mereka percaya kepada tiga allah. Setelah berdoa, imam mereka berkhotbah. Ia sering menyebut-nyebut "Anak Allah". Rupanya benar juga, orang-orang Kristen percaya bahwa Allah mempunyai hubungan intim dengan Maria, dan bahwa mereka mempunyai anak. Setelah ibadah selesai, ada seorang bapak yang mengundang saya untuk datang lagi pada sore hari Minggu itu.

Jadi, pada sore hari itu saya datang lagi; saya berdiri di depan gereja. Tidak jauh di sebelah sana ada mesjid. Saya berdiri di situ untuk beberapa saat. Lalu saya mulai membanding-bandingkan agama Islam dengan agama Kristen. Orang Kristen tidak melepaskan sepatunya, tidak juga duduk di lantai untuk menunjukkan kerendahan hati. Kaum wanitanya tidak berkerudung; mereka tidak menghormati Allah Yang Mahakuasa. Lagu-lagu gereja aneh kedengarannya, ala Barat, dan tidak enak didengar. Apa yang saya dengar tentang ajaran mereka ternyata benar. Mereka percaya kepada tiga allah, dan bahwa Allah mempunyai anak-anak. Kekristenan memang aneh. Jadi, saya melangkah ke mesjid. Saya menyadari bahwa di mesjid, saya dapat menyembah Allah dengan benar dan bersih. Islam adalah agama yang memuaskan saya.

Kisah di atas ini dapat fiktif belaka, tetapi dapat juga benar-benar terjadi. Saya tidak tahu. Yang saya tahu: Saya mempunyai teman Muslim yang juga mempunyai kesan serupa ketika ia menghadiri kebaktian bersama saya. Mungkin Saudara juga mempunyai teman Muslim yang mendapat kesan serupa itu. Pertanyaan yang penting untuk diselidiki ialah: Mengapa orang-orang seperti Asar merasa asing sewaktu menghadiri kebaktian di gereja? Apakah yang mereka tolak adalah Injil atau hal-hal lainnya? Kita mengetahui bahwa inti Injil adalah salib Yesus Kristus. Salib menjadi batu sandungan bagi mereka yang tidak mau percaya. Tetapi bagaimana dengan Asar? Apakah yang menjadi batu sandungan baginya ialah fakta bahwa Kristus mati di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia ataukah cara orang Kristen menyatakan imannya tentang hal itu? Tidak jarang, yang menjadi batu sandungan ialah cara kita menyatakan pengertian kita tentang iman kepada Yesus, bukan salib Injil itu sendiri.

Mari kita menyelidiki pertanyaan lainnya. Bagaimana bentuk sebuah gereja? Biasanya bentuknya seperti yang Asar lihat. Satu ruangan besar dipenuhi dengan kursi atau bangku panjang. Pada setiap hari Minggu orang-orang duduk di situ menghadap mimbar. Dari mimbar itu pengkhotbah atau pemimpin jemaat berbicara. Biasanya ada tanda salib di mimbar itu. Acara ibadah mencakup doa, lagu, khotbah atau pengajaran dari Alkitab. Lagu-lagu biasanya diiringi dengan piano, organ key board, atau gitar. Dari buku nyanyian atau dari proyektor, jemaat bersama-sama menyanyikan lagu-lagu tentang Allah. Pak Pendeta biasanya memakai dasi, jas, dan ia duduk di depan, di dekat mimbar. Jemaat akan duduk dan berdiri sesuai dengan petunjuk dari pemimpin acara kebaktian. Yang berbicara di mimbar memakai alat pengeras suara supaya semua orang dapat mendengar. Persembahan biasanya dikumpulkan dengan jalan mengedarkan keranjang atau kantung dari kain. Paduan suara menyanyikan lagu khusus sebelum Pak Pendeta berkhotbah. Di akhir kebaktian, pendeta menaikkan doa penutup, yaitu doa berkat. Orang-orang bersalaman dan saling menyapa sementara mereka melangkah keluar gedung gereja.

Begitulah gambaran tentang apa yang akan Saudara lihat di gereja saya. Mungkin gereja Saudara juga serupa itu, tetapi mungkin juga tidak. Ada gereja yang memakai lilin dan kemenyan. Ada juga yang memakai air suci; jemaatnya membuat tanda salib sebelum dan sesudah beribadah. Juga ada yang dengan tenang berdoa sambil berlutut. Akan tetapi, ada juga yang mengangkat tangan kepada Allah dan berdoa bersama-sama dengan bersemangat dan dengan suara keras. Sarana pengungkapan iman kepada Allah, yaitu musik, lagu-lagu, tata cara ibadah, sistem organisasi, gaya arsitektur dan unsur-unsur lainnya berbeda-beda dari zaman ke zaman dan dari setiap kebudayaan. Hal itu memperkaya cara kita menyembah Allah yang benar, yang dinyatakan kepada kita melalui Yesus Kristus.

Para pengamat Alkitab mengatakan bahwa ada tiga unsur penting yang membentuk sebuah gereja: Roh Allah, firman Allah, dan umat Allah. Tanpa ketiga unsur itu sebuah gereja tidak dapat dikatakan gereja yang sejati. Kalau ada hal-hal lain yang dianggap penting untuk ditambahkan kepada ketiga unsur tersebut, itu tidak sejalan dengan ajaran Alkitab. Saya mengetahui ada sebuah jemaat kecil yang terdiri atas orang-orang percaya dari latar belakang Islam. Mereka memuji Allah dalam ibadah mereka dengan cara yang kita pandang baru. Lalu gereja induk dari jemaat itu meminta agar dalam ibadah jemaat kecil itu hanya dipakai buku nyanyian yang sudah ditentukan oleh gereja induk. Kebanyakan lagu-lagu rohani dari buku nyanyian itu lagu-lagu dari negara-negara Barat, dan harus diiringi dengan piano. Apakah sesuai dengan Alkitab kalau gereja induk meminta jemaat kecil itu memakai buku nyanyian rohani yang sudah ditentukan oleh mereka? Apakah itu penting bagi jemaat yang baru itu? Saya pikir, tidak. Dalam kasus ini gereja induk seakan-akan memaksa jemaat baru itu menuruti suatu pola yang asing bagi mereka, yang tidak sesuai dengan latar belakang kebudayaan mereka.

Pertimbangkanlah contoh lainnya ini. Untuk dapat dikatakan gereja yang sejati, apakah gereja itu harus mempunyai seorang pendeta? Saya tahu ada satu gereja yang tidak mempunyai pendeta selama lima tahun. Gereja ini gereja yang dewasa dan tetap melaksanakan pelayanannya tanpa gangguan. Apakah gereja itu bukan lagi gereja yang sejati karena tidak mempunyai pendeta? Tentu tidak demikian. Adalah baik bila sebuah gereja mempunyai seorang pendeta, tetapi itu tidak mutlak harus begitu. Coba pikirkanlah. Kegiatan-kegiatan gereja dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, tetapi gereja yang sejati hanyalah gereja yang terdiri atas Roh Allah, firman-Nya, dan umat-Nya. Jadi, gereja yang sejati mempunyai kebebasan untuk menentukan polanya sendiri -- besar dan banyak tata caranya atau kecil dan sederhana tata caranya.

Dari Alkitab dapat terlihat bahwa pertanyaan "harus seperti apakah sebuah gereja" timbul sesudah Injil mulai tersebar kepada orang-orang yang bukan Yahudi. Orang-orang Yahudi yang percaya kepada Kristus melakukan segala sesuatu menurut cara orang Yahudi. Mereka pergi ke rumah ibadah untuk berdoa. Mereka tidak makan makanan tertentu. Lebih penting lagi, mereka harus disunat. Akan tetapi, kebudayaan orang-orang Yunani yang percaya kepada Kristus tidak seperti kebudayaan orang-orang Yahudi. Tidak lama kemudian timbullah konflik antara orang-orang percaya yang berkebangsaan Yahudi dan Yunani. Kedua kebudayaan yang sangat berlainan itu mempunyai cara yang berbeda-beda dalam melakukan segala sesuatu. Jadi, cara mereka mengungkapkan imannya pun berbeda. Apakah iman kepada Tuhan Yesus hanya dapat diungkapkan dengan cara orang Yahudi?

Injil tersebar dari Yerusalem sampai ke Antiokia dan ke tempat-tempat yang lebih jauh lagi. Antara pusat keagamaan kaum Yahudi dan lokasi orang-orang Kristen Yunani terbentang jarak yang cukup jauh. Orang-orang Kristen Yunani tidak tahu banyak mengenai tata cara agama Yahudi. Yang mereka cari adalah kehidupan kekal di dalam Yesus, bukan agama Yahudi. Mereka tidak merasa perlu untuk terus melakukan tradisi kaum Yahudi. Akan tetapi, sebagian jemaat gereja Yerusalem tidak mau mengizinkan orang-orang Yunani di Antiokia mempunyai kebebasan untuk melaksanakan tata cara ibadah yang berbeda dari pola kaum Yahudi. Syukurlah, dalam Kisah Para Rasul 15 kita melihat hikmat Roh Kudus meniadakan larangan tersebut. Perjuangan demi terwujudnya keanekaragaman tata cara ibadah membuahkan hasil. Tata cara ibadah tidak hanya terbatas pada satu macam saja. Orang-orang Kristen Yunani diperbolehkan melaksanakan ibadah dengan tata cara mereka sendiri asal tidak bertentangan dengan kebenaran firman Allah. Ada lagi hal lainnya yang perlu kita pahami. Dalam memberitakan Injil hendaknya kita mengikuti teladan Tuhan Yesus. Kita hendaknya pergi kepada orang-orang yang hendak kita jangkau, bukannya menunggu mereka datang kepada kita. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasul Paulus, kita menjangkau orang-orang dengan jalan menjadi seperti mereka sejauh yang dapat kita lakukan (1 Korintus 9:19-23). Lalu kalau ada yang sudah siap untuk menerima Tuhan Yesus sebagai jalan keselamatan, kita membawa orang itu ke gereja kita supaya imannya dapat bertumbuh. Tetapi bagaimana kalau orang itu berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda? Bagaimana kalau tata cara ibadah di gereja kita berbeda sekali dengan kebudayaannya sehingga ia merasa asing dan tidak betah? Seperti Asar, mungkin ia tidak mengerti apa yang sedang berlangsung di gereja.

Alkitab menyatakan bahwa orang-orang yang baru menjadi percaya harus diperbolehkan beribadah dan mengikut Tuhan Yesus dengan cara yang cocok dengan kebudayaan mereka sendiri. Itulah sebabnya Rasul Paulus mengatakan sampai tiga kali bahwa orang-orang percaya hendaknya tetap "hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya" (1 Korintus 7:17-24). Dengan jelas sekali Rasul Paulus menolak peraturan bahwa orang Kristen non Yahudi harus disunat -- tanda bahwa orang itu menerima kebudayaan Yahudi. Orang-orang non Yahudi yang baru percaya tidak perlu mengganti kebudayaannya.

Bila kita mengamati gereja-gereja di Indonesia dewasa ini, maka akan terlihat bahwa tata cara ibadahnya berbau Barat. Gaya arsitektur, lagu-lagu rohani, susunan acara, bahkan sampai pada pakaian -- semuanya dipengaruhi kebudayaan Barat. Ini tidak mengherankan karena Injil mulanya memang disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Barat. Orang-orang di Indonesia yang baru menjadi percaya meniru orang-orang yang memberitakan Tuhan Yesus kepada mereka. Pada zaman itu para pemberita Injil adalah orang-orang Barat. Menurut Saudara, bagaimana bentuk dan tata cara ibadah gereja di Indonesia seandainya yang mulanya menyebarkan Injil di negara ini adalah orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen Siria Ortodoks atau orang-orang Kristen India? Pasti akan berbeda sekali, tetapi selama sebuah gereja terdiri atas Roh Allah, firman-Nya, dan umat-Nya, itu adalah gereja.

Pengamatan tentang kehidupan orang-orang Kristen pada umumnya di Indonesia menunjukkan bahwa mereka seakan-akan mempunyai kebudayaan tersendiri dalam budaya negaranya. Kehidupan mereka terpisah dari orang-orang yang beragama lain, terutama dari orang-orang Muslim. Mereka mempunyai tata cara kehidupan sendiri. Mereka mempunyai kosa kata kalangan sendiri. Mereka lebih banyak mempunyai kemiripan dengan unsur-unsur dari kebudayaan Barat daripada dengan mayoritas penduduk negaranya. Perbedaan-perbedaan ini banyak yang tidak alkitabiah. Oleh karenanya orang Muslim seperti Asar, yang tertarik kepada Kristus, malah sering merasa syak bila melihat cara-cara orang Kristen beribadah. Apa yang dapat kita lakukan? Apakah Asar harus mengatasi persoalan ini dengan jalan membiasakan diri beribadah dengan cara orang-orang Kristen Indonesia beribadah? Atau adakah kemungkinan bahwa Roh Allah membimbing kita untuk mengizinkan mereka beribadah dengan cara yang lebih cocok dengan latar belakang kebudayaan mereka?

Akan bagaimana jadinya? Mungkin jemaat dapat melepaskan sepatunya dan duduk di lantai. Kaum wanitanya dapat memakai kerudung, kaum pria dapat memakai topi khusus untuk berdoa. Mungkin ayat-ayat dari Alkitab dapat diucapkan bersama-sama, selain dinyanyikan. Mungkin ungkapan-ungkapan yang bercorak Arab dapat lebih banyak dipakai daripada yang bercorak Inggris atau Latin. Pemakaian ungkapan bercorak Arab bukannya tidak alkitabiah, hanya berbeda dari yang biasa kita dengar. Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan orang-orang Kristen Barat, saya tidak berwewenang untuk menentukan dengan cara bagaimana pengikut Almasih yang latar belakangnya Muslim harus beribadah. Akan tetapi, saya tahu bahwa gereja-gereja yang bercorak lain seperti itu sudah ada dan sedang berkembang. Kalau gereja semacam itu menolong banyak orang Muslim seperti Asar datang mengenal Kristus, tidakkah Saudara pikir kita harus memberi kebebasan kepada mereka untuk beribadah dengan cara mereka sendiri? Hendaknya kita tidak membuat jalan ke surga bertambah sempit daripada yang sudah Tuhan tetapkan.

Akhirnya kita juga harus ingat bahwa Allah berdaulat penuh dan berkuasa. Orang yang dipilih-Nya untuk diselamatkan tidak akan menolak kebenaran firman Allah hanya karena Pak Pendeta memakai dasi, bukannya memakai peci, atau karena orang-orang Kristen berkata "haleluya", bukannya "alhamdullilah". Injil jauh lebih dalam daripada unsur-unsur kebudayaan. Masalahnya, banyak orang Islam tidak pernah mendapat kesempatan untuk sepenuhnya mendengar kebenaran tentang makna salib Kristus. Mereka belum benar-benar mengerti. Mereka sudah terlebih dahulu dibuat mundur oleh cara kita yang berbeda dalam melakukan banyak hal, dan oleh sikap kita yang ada kalanya tidak peka terhadap mereka. Maka dari itulah mereka belum sempat mendengar berita Injil. Mungkin mereka akan lebih terbuka terhadap Injil kalau ada kesempatan untuk beribadah dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan mereka. Mungkin inilah cara Allah akan membuka gereja-Nya bagi banyak orang Islam, lebih banyak daripada sebelumnya.