PEMIMPIN DAN AROGANSI

"Setelah raja Uzia menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati sehingga ia melakukan hal yang merusak." (2Tawarikh 26:16) Kesombongan bagaikan penyakit yang aneh. Yang menderita bukanlah orang yang mengidap penyakit tersebut, namun orang lain di sekilingnya. Orang yang menderita penyakit ini pada umumnya tidak merasakan gejala apa-apa, namun orang lain yang berinteraksi dengannya merasa mual dan muak.

Penyakit arogansi ini menjangkiti semua orang: kaya dan miskin, bodoh dan pandai, jahat dan baik, ateis dan teis, Injili dan Liberal, Republican dan Democrat, Arminian dan Calvinist, dan seterusnya. Pendek kata, semua orang. Tidak ada yang imun dari penyakit ini.

Yang menarik, penyakit ini dapat menjadi ganas dan menular apabila itu diderita oleh pemimpin, karena pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin. Semakin besar pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin, karena peran atau posisinya, semakin berbahaya apabila ia menjadi sombong.

Pemimpin Tinggi Hati Percaya atau tidak, jenis manusia yang sangat rentan dan mudah terjangkiti penyakit ini adalah pemimpin. Paling tidak ada tiga hal yang dapat menjelaskan hal ini: (1) kuasa, (2) persepsi umum dan perlakuan khusus, dan (3) keberhasilan.

Banyak pemimpin yang pada awal proses kepemimpinannya rendah hati berubah menjadi tinggi hati. Hal ini seringkali terjadi karena kuasa yang dilekatkan pada diri para pemimpin tersebut tatkala mereka diberi kepercayaan untuk memimpin orang lain (mempengaruhi, mengajar, memotivasi, memberdayakan, dan sebagainya).

Kuasa sangat ampuh dalam membentuk dan mengubah karakter pemimpin. Abraham Lincoln, presiden Amerika ke-16 dan seorang pemimpin besar dalam sejarah, pernah mengatakan: "Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power."

Disadari atau tidak, sebutan "hamba Tuhan" mengimplikasikan sebuah persepsi kuasa yang dapat menjebak pemimpin Kristen. "Memang saya hamba, tapi tunggu dulu, saya bukan hamba sembarangan. Saya hamba-nya TUHAN." Konsep diri seperti ini seringkali membuat pemimpin Kristen berlaku seperti Tuhan ketimbang seperti hamba. Karena hamba-nya Tuhan, maka ia merasa statusnya lebih superior dari orang lain dan berhak menjadi tuan atas mereka. Pertanyaannya bagi pemimpin Kristen: mana yang lebih cocok menggambarkan dirinya: hamba atau Tuhan?

Kedua, saat seorang pemimpin menerima legitimasi dari orang lain dan diterima kepemimpinannya, itu berarti ia dipersepsi oleh publik sebagai seorang yang lebih superior ketimbang yang lain, minimal dalam satu hal (kompetensi atau pengalaman, misalnya). Yang menarik, persepsi ini kemudian tidak berlaku hanya dalam satu hal tersebut, namun perlahan-lahan diterapkan dalam berbagai hal. Sehingga yang muncul adalah persepsi bahwa pemimpin memang berstatus lebih superior dibanding orang lain dalam semua hal. Hal ini mudah terjadi khususnya dalam kultur yang paternalistis.

Persepsi ini seringkali disertai dengan perlakuan-perlakuan yang lebih istimewa terhadap pemimpin dibanding non-pemimpin. Kebutuhannya didahulukan dan keinginanannya dinomorsatukan. Orang sangat ingin mendengar pandangan dan pendapat pemimpin, sehingga apa yang ia katakan jauh lebih penting daripada perkataan orang lain.

Persepsi dan perlakuan khusus terhadap pemimpin seringkali tidak dapat dihindari karena terjadi dengan natural. Yang dapat dihindari adalah reaksi atau respon pemimpin terhadapnya. Apabila tidak mawas diri, maka persepsi dan perlakuan istimewa ini menjadi sebuah jebakan yang menjerumuskan karakter pemimpin. Dari rendah hati ke tinggi hati. Kalau hari ini banyak pemimpin yang menderita superiority complex, itu menunjukkan betapa mereka memilih untuk hidup dalam persepsi, bukan realita. Dan memilih untuk terlena dengan berbagai perlakuan khusus tadi.

Hal ketiga yang barangkali paling fatal adalah keberhasilan seorang pemimpin. Banyak pemimpin yang efektif menjadi gagal karena keberhasilannya. Kutipan ayat di awal tulisan ini menceritakan tentang raja Uzia yang jatuh justru karena karir politiknya yang sukses. Ada motto yang mengatakan "Success breeds success". Namun realitanya, "Success also breeds failure". Karena kesuksesan dapat menjelma menjadi penjara yang membelenggu dan membesarkan ego pemimpin.

Dalam 2Tawarikh 26, kita membaca bagaimana raja Uzia memulai peran dan posisinya sebagai pemimpin dengan sangat baik. Ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan (ay. 4), dan Allah menyertainya dalam berbagai usahanya. Namanya menjadi terkenal sampai ke negeri jauh. Meskipun bukan karena kehebatannya sendiri melainkan karena ia "ditolong dengan ajaib" (ay. 15). Inilah klimaks dari pelayanannya sebagai pemimpin, karena setelah itu ia lupa diri.

Ia menganggap dirinya hebat dan merasa tidak lagi perlu tunduk kepada Tuhan. Ia lupa ia hanyalah hamba-Nya, alat-Nya. Ia malah mencoba menjadi allah kecil. Alhasil, bukan saja kepemimpinannya hancur, namun hidupnya berakhir dengan tragis. Ia terkena penyakit kusta secara instan di dalam bait Tuhan (ay. 19-21) dan diasingkan seumur hidup sampai saat kematiannya.

Natur Kesombongan Kesombongan adalah dosa yang sangat serius dan sentral. C.S. Lewis menguraikan hal ini dengan menggarisbawahi natur dari kesombongan, yaitu kompetisi.

Kita umumnya berpikir bahwa seseorang menjadi sombong karena ia kaya, pandai, cantik/tampan, berpengalaman, atau berkuasa. Persepsi ini keliru. Yang membuat seseorang sombong adalah perbandingan yang ia lakukan terhadap orang lain. Seseorang menjadi sombong karena ia lebih kaya, lebih pandai, lebih cantik/tampan, lebih berpengalaman, atau lebih berkuasa dibanding orang lain. Karena jika semua orang lain menjadi sama kaya, sama pandai, sama cantik/tampan, sama berpengalaman, sama berkuasa, maka tidak ada lagi hal yang ia dapat sombongkan.

Kesombongan mengalami kepuasan bukan karena memiliki sesuatu, namun karena memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain. Hal ini dilukiskan Yesus secara gamblang dalam diri orang Farisi yang bersama-sama seorang pemungut cukai berdoa di Bait Allah. Orang Farisi itu mengucapkan doa demikian dalam hatinya: "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini." (Lukas 18:11) Orang Farisi tersebut arogan karena ia membandingkan dirinya dengan orang lain, khususnya dengan si pemungut cukai yang berada didekatnya. Ia merasa lebih superior dan memiliki hak untuk bermegah dalam dirinya sendiri.

Yang menarik untuk dicermati adalah frase "dalam hatinya". Inilah yang menyebabkan kesombongan itu menjadi dosa yang "subtle", begitu sulit terdeteksi. Karena dosa tersebut tidak perlu terungkap keluar secara verbal. Cukup berada dalam hati. Tanpa refleksi yang sungguh- sungguh, sulit untuk memeriksa, menerima, apalagi mengakui bahwa kita sombong.

Superioritas Pemimpin Setelah menggumuli hal-hal di atas, terlintas sebuah pertanyaan di benak saya. Bukankah memang seorang pemimpin itu lebih superior dibanding orang yang dipimpin, minimal dalam satu hal? Kalaupun ia tidak lebih superior dalam kompetensi atau pengalaman, ia superior karena ia mendapat panggilan Allah sementara yang lain tidak (lihat para pemimpin di Alkitab yang Allah panggil). Jadi bagaimana menjaga agar seorang pemimpin tidak berubah sombong dalam superioritas-nya?

Salah satu kuncinya saya pikir adalah menaruh superioritas itu pada konteks yang tepat. Superioritas di sini harus dimengerti bukan sebagai status, namun sebagai fungsi. Pemimpin lebih superior dibanding non-pemimpin dalam menjalankan beberapa fungsi tertentu, seperti menangkap visi, memotivasi, menangani konflik, dan seterusnya. Namun itu tidak lalu berarti ia memiliki status lebih superior dibanding orang lain. Karena pemimpin tetap orang berdosa dan hidup dalam tubuh yang fana, sehingga bisa salah atau jatuh.

Pemimpin menjadi pemimpin karena Allah yang mengijinkan, karena Allah yang memberi panggilan, karena Allah yang memberi kemampuan. Dengan kata lain, karena anugerah. Jadi tidak ada alasan untuk menjadi tinggi hati.

Saat pemimpin sadar bahwa ia adalah bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan yang adalah segalanya, di sana ia memiliki kerendahan hati. Kerendahan hati hanya dapat dimiliki apabila seorang pemimpin tahu jelas siapa Allah dan siapa dirinya di hadapan-Nya.

Tapi bolehkah pemimpin menerima pujian dari orang lain dan bersenang hati karenanya? Saya kira sah-sah saja, karena itu adalah buah dari apa yang sudah ia kerjakan dalam rangka menjalankan peran dan tugasnya sebagai pemimpin. Masalahnya datang tatkala dalam menikmati pujian tersebut, si pemimpin lalu mulai berpikir, "Hmm, ternyata jelek-jelek begini saya hebat juga." Pergeseran tersebut mencuri kredit dari Allah dan merancukan konsep diri pemimpin.

Allah dan Manusia Sombong Jika saya seorang yang sombong, maka selama ada satu orang saja di dunia yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pandai, maka dia adalah saingan saya, musuh saya. Jadi arogansi yang ada dalam diri saya selalu berkompetisi dengan arogansi yang ada dalam diri orang lain. Itu sebab mengapa semakin saya sombong, semakin saya membenci orang yang sombong. Orang yang suka mencari perhatian akan segera merasa tersaingi apabila ada orang yang juga suka mencari perhatian di dekatnya.

Ketika seseorang berhadapan dengan Allah, maka ia berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih superior dibanding dirinya dalam aspek apapun. Tanpa kesadaran dan pengakuan ini, tidak mungkin ia dapat mengalami perjumpaan yang sejati dengan Allah. Di sinilah orang sombong, khususnya pemimpin yang congkak, mengalami masalah. Jika ia menganggap orang yang lebih superior adalah saingan dan musuhnya, maka ia akan kesulitan untuk benar-benar menaklukkan diri di bawah Allah. Dalam kalimat C.S. Lewis, "A proud man is always looking down on things and people, and, of course, as long as you are looking down, you cannot see something that is above you."

Yang paling menakutkan dari kesombongan adalah bahwa Allah bukan saja membenci dosa tersebut, namun secara aktif menentangnya. Ia tidak berdiam diri terhadap orang sombong, namun berinisiatif melawannya. "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (1Petrus 5:5) "Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan, sungguh ia tidak akan luput dari hukuman." (Amsal 16:5)

Saya pikir hal yang paling mengerikan yang dapat dialami oleh orang Kristen adalah berhadapan dengan Allah sebagai musuh-Nya. Tidak ada lagi yang lebih menakutkan.

Yang menarik dari tulisan-tulisan C.S. Lewis, Andrew Murray, dan Jeremy Taylor tentang kesombongan hati adalah mereka secara harmonis menyuarakan dengan keras bahwa kesombongan adalah dosa yang terbesar dan tersulit dikalahkan. Dan semakin saya merefleksikan mengapa demikian, semakin saya setuju dengan mereka. Contohnya sederhana saja.

Dengan mencantumkan ketiga nama terkenal tersebut, saya bisa saja ingin menunjukkan kepada pembaca tulisan ini bahwa saya sudah membaca dan mengerti topik ini dengan baik, paling tidak dibanding dengan banyak orang lain. Atau saya mungkin ingin membuktikan bahwa saya membaca banyak buku yang berbobot. Percikan kesombongan ini belum tentu tertangkap oleh orang lain, namun hati nurani saya tidak bisa tutup mulut tentang hal ini.

Bahkan yang lebih subtle lagi adalah proses berikut. Karena telah mengerti bahaya kesombongan, maka saya merasa ditegur dan mulai berubah untuk rendah hati. Lalu saya bercerita kepada orang lain bahwa saya telah belajar dan berhasil menjadi orang rendah hati. Orang tersebut menjadi kagum terhadap perubahan yang fantastis tersebut. Sementara hati kecil saya berteriak mengatakan bahwa saya telah menyombongkan kerendah-hatian saya. Sungguh sebuah skandal internal yang canggih!

Itu sebab langkah pertama untuk mengalahkan kesombongan adalah mengakui bahwa kita adalah orang sombong! Entah apa langkah yang terakhir, saya tidak tahu. Yang penting jangan sampai kita harus berhadapan dengan Allah sebagai musuh gara-gara masalah ini.