Kepemimpinan yang Efektif dalam Pelayanan (Sebuah Pendekatan Holistik Alkitabiah)

Kepemimpinan yang Efektif dalam Pelayanan (Sebuah Pendekatan Holistik-Alkitabiah)

Pendahuluan

"Jika nafiri tidak mengeluarkan bunyi yang terang, siapakah yang menyiapkan diri untuk berperang?" (I Korintus 14:8)

"99 persen orang di dunia ingin diberitahu apa yang harus dilakukan. jadilah bagian kelompok yang 1 persen." (John A. Patton)

Kepemimpinan telah ada sejak manusia hidup berkelompok dan peristiwa-peristiwa sejarah banyak dipengaruhi oleh persoalan gaya kepemimpinan. Tetapi pengertian kepemimpinan belum seragam. Hal itu adalah wajar, karena memang kepemimpinan memunyai berbagai aspek dan orang dapat meninjaunya dari aspek-aspek yang berbeda itu. Jadi pengertian kepemimpinan itu sangat tergantung pada cara pendekatannya. Dalam era globalisasi yang makin mementingkan keterbukaan seperti sekarang, selain perlu mengetahui berbagai cara pendekatan yang ada, seyogianya kita memahami pula cara pendekatan yang di satu pihak harus alkitabiah, tetapi di pihak lainnya perlu memperhatikan perubahan-perubahan mendasar yang sedang terjadi di seluruh dunia yang tentunya akan membawa dampak (baik positif maupun negatif) dalam pelayanan gereja dan organisasi Kristen. Pada akhirnya memang perlu diperhatikan pesan Alkitab tentang kepemimpinan, tetapi pesan Alkitab tersebut harus dipahami secara baru dengan memperhitungkan sejumlah variabel pengaruh yang turut menentukan keefektifan kepemimpinan. Bagaimana berbagai variabel yang turut mempengaruhi keefektifan kepemimpinan itu dipahami secara tepat, sangat bergantung pada cara pendekatan atau ancangan yang dipakai. Berikut ini adalah catatan sangat ringkas mengenai beberapa cara pendekatan yang lazim digunakan.

  1. Sampai dengan tahun 50-an pembahasan tentang kepemimpinan pada umumnya menggunakan teori sifat. Persoalannya, cara pendekatan yang digunakan terlalu bersifat deterministis; asumsi dasarnya: seorang pemimpin yang (dianggap) memiliki sifat-sifat yang baik, yang dinilai lebih unggul daripada orang-orang lain, dengan sendirinya akan menjadi pemimpin yang baik. Padahal fakta empirik menunjukkan, bahwa asumsi itu tidak selalu benar. Dalam pengalaman banyak pemimpin yang baik tidak selalu efektif dalam kepemimpinan mereka.
  2. Karena itu muncul cara pendekatan baru yang didasarkan pada sikap dan perilaku pemimpin. Cara pendekatan ini mencoba mengidentifikasi kadar orientasi pemimpin, baik terhadap usaha-usaha pencapaian tujuan organisasi maupun terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Tetapi cara pendekatan sikap dan perilaku ini tetap saja berpusat pada pemimpin. Faktor pemimpin dalam hal ini merupakan determinan keefektifan. Dalam pengalaman, ternyata masih ada determinan-determinan lainnya yang turut menentukan keefektifan kepemimpinan, misalnya peran-serta orang-orang yang dipimpin. Jadi, sikap dan perilaku pemimpin tidak dengan sendirinya berkorelasi positif (atau negatif) dengan keefektifan kepemimpinan.
  3. Teori kontingensi, yang dikembangkan oleh Fred E. Fiedler mendalilkan adanya dua gaya kepemimpinan baku. Pertama, gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tujuan dan kedua, gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan. Keefektifan kedua gaya itu ditentukan oleh korelasi yang tepat dengan kombinasi dari beberapa variabel, yaitu:
    1. Hubungan antara pemimpinan dan orang-orang yang dipimpinnya. Hubungan itu baik atau tidak baik, ditentukan oleh seberapa jauh anggota kelompok menerima, menyukai, mempercayai, mendukung dan rela mengikuti seorang pemimpin.
    2. Struktur tugas orang-orang yang dipimpin. Suatu tugas dikatakan terstruktur atau tidak terstruktur, ditentukan oleh sejauh manakah ada kejelasan mengenai tugas orang-orang yang dipimpin, sehingga mereka dapat berprestasi.
    3. Wewenang seorang pemimpin atas dasar posisi yang dipercayakan kepadanya. Wewenang itu dapat kuat atau lemah bergantung kepada berapa besar wewenang formal seorang pemimpin sebagai akibat dari posisinya dalam organisasi. Organisasilah yang menyediakan wewenang formal itu. Adanya kejelasan mengenai posisi dan wewenang formal seorang pemimpin sangat mendukung kepemimpinannya. Dengan demikian, maka menurut teori Kontingensi, seorang pemimpin jemaat yang gaya kepemimpinannya cenderung berorientasi pada tujuan, akan efektif dalam sebuah jemaat yang hubungan antar pribadi anggota-anggotanya berlangsung sehat, struktur tugas fungsionarisnya jelas, dan wewenang pimpinan cukup kuat.

  4. Teori situasional yang diperkenalkan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard menekankan pentingnya seorang pemimpin menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan berbagai variabel situasional yang ada, sehingga kepemimpinannya dapat efektif. Variabel situasional yang sangat penting menurut Hersey dan Blanchard, adalah tingkat kedewasaan orang-orang yang dipimpin. Karena itu, seorang pemimpin harus menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda terhadap orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai situasi yang berhubungan dengan tingkat kedewasaan yang berbeda. Secara umum, teori situasional menyarankan agar pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan yang instruksional kepada orang-orang (yang dipimpin) yang masih berada pada tingkat kedewasaan yang rendah; kemudian pemimpin itu perlu mengubah gaya kepemimpinannya sesuai dengan meningkatnya kedewasaan orang-orang yang dipimpinnya: gaya kepemimpinan koordinatif, gaya kepemimpinan partisipatif-kolaboratif dan akhirnya gaya kepemimpinan delegatif.

  1. PENDEKATAN HOLISTIK-ALKITABIAH
  2. Dari uraian singkat di atas, tampaklah bahwa evaluasi terhadap teori kepemimpinan yang ada perlu dilakukan atas dasar kriteria keefektifan. Keefektifan kepemimpinan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Pertama, apakah seorang pemimpin memiliki kemampuan (yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku) yang dapat mempengaruhi perilaku orang-orang yang dipimpinnya, sehingga mereka rela memikul tanggung jawab dan bersedia melakukan tugas-tugas tertentu. Kedua, apakah dengan melakukan tugas-tugas tersebut, tujuan bersama dapat dicapai. Ketiga, dalam memikul tanggung jawab dan tugas-tugas untuk mencapai tujuan bersama itu, apakah interaksi antarpribadi dibangun atas dasar hubungan-hubungan yang baik dan menyenangkan. Keempat, apakah pemimpin mampu menempatkan organisasi dan orang-orang yang dipimpinnya dalam relasi dengan konteks yang ada sedemikian rupa, sehingga setiap peluang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan bersama; demikian pula setiap kendala dapat ditransformasi menjadi peluang atau sekurang-kurangnya dapat dinetralisasi.

    Persoalannya, bagaimanakah kita memahami aspek-aspek keefektifan di atas dalam terang firman Tuhan, atau sekurang-kurangnya menarik manfaat dari berbagai cara pendekatan yang ada, untuk mengadakan pemahaman secara baru terhadap pesan Alkitab mengenai kepemimpinan yang baik. Kalau dahulu kepemimpinan yang baik seakan-akan ditentukan hanya oleh sifat-sifat yang baik yang dimiliki seorang pemimpin, maka sekarang orang menyadari bahwa kepemimpinan yang baik (baca: efektif) itu tidak hanya tergantung pada pemimpin yang baik. Dalam kenyataannya, banyak pemimpin yang (dianggap) baik tidak dengan sendirinya memiliki kepemimpinan yang efektif. Karena itu sebaiknya digunakan cara pendekatan holistik berdasarkan pesan Alkitab.

  3. VARIABEL-VARIABEL KEPEMIMPINAN
  4. Salah satu bagian Alkitab yang sangat jelas pesannya mengenai beberapa variabel kepemimpinan, adalah Efesus 4:1-16. Menurut ayat-ayat ini, persekutuan orang-orang Kristen (jemaat, organisasi Kristen) merupakan "tubuh yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota." Dengan demikian, persekutuan itu "menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya di dalam kasih."

    Berdasarkan pesan ini, maka keefektifan kepemimpinan tidak bergantung semata-mata kepada pemimpin saja, tetapi bergantung pada faktor-faktor penting, yaitu:

    1. Sifat, sikap, dan perilaku pemimpin (4:1-11).
    2. Tingkat kedewasaan (rohani dan pelayanan) orang-orang yang dipimpin (4:12-15).
    3. Suasana kasih yang terbina di dalam persekutuan (jemaat atau organisasi) (4:16).
    4. Namun masih ada faktor lainnya yang perlu diperhitungkan pula, karena sifatnya yang turut mempengaruhi keefektifan kepemimpinan. Di dalam Yohanes 17:14-18, jelas dikatakan bahwa gereja memang bukan dari dunia, tetapi diutus oleh Kristus ke dalam dunia. Dan dunia itu sering tidak bersababat. Karena itu, Tuhan Yesus sendiri mengingatkan, "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati" (Matius 10:16). Pengertian ini mengandung implikasi relasional dan kontekstual. Dalam hubungan dengan kepemimpinan dalam pelayanan, relasi antara gereja (termasuk di dalamnya jemaat-jemaat dan organisasi Kristen) dengan konteks tempat gereja melayani yang sering dirumuskan sebagai konteks ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya) merupakan faktor yang penting dalam menentukan keefektifan kepemimpinan tersebut. Faktor ini dapat disebut sebagai:

    5. Relasi antara pemimpin (dan orang-orang yang dipimpinnya) dengan konteks yang ada (Yohanes 17:14-18; Matius 10:16).

    Keempat faktor di atas merupakan variabel situasional yang saling berinteraksi. Interaksi antara keempat variabel inilah yang menentukan keefektifan kepemimpinan. Sifat interaksi itu adalah sebagai berikut: kepemimpinan merupakan variabel terpengaruh yang nilainya ditentukan oleh empat variabel pengaruh, yaitu pemimpin, orang-orang yang dipimpin, suasana kasih dan relasi dengan konteks yang ada. Hubungan variabel-variabel ini bersifat multivariat, yang kalau dijabarkan dalam model matematis, terlihat sebagai berikut:

    K = f (P,O,S,R/K) dengan notasi:

  • K = kepemimpinan (variabel terpengaruh)
  • f = fungsi, yang menunjukkan hubungan antar variabel
  • P = pemimpin (variabel pengaruh-1)
  • O = orang-orang yang dipimpin (variabel pengaruh-2)
  • S = suasana kasih (variabel pengaruh-3)
  • R/K = relasi dengan konteks yang ada (variabel pengaruh-4)

Dengan demikian, maka kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai "keseluruhan sikap, tingkah laku dan tindakan seorang pemimpin untuk mempengaruhi perilaku orang-orang lain dalam situasi tertentu, sehingga mereka rela melaksanakan tugas dan memikul tanggungjawab demi mencapai tujuan bersama."

2.1 Variabel P: faktor Pemimpin. Dengan pengertian kepemimpinan seperti di atas, maka pemimpin adalah seorang pribadi yang memunyai tujuan yang jelas (yaitu tujuan dari Allah) dan mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas demi mencapai tujuan tersebut, dalam situasi tertentu (dalam hal ini situasi yang membangun suasana kasih).

Dengan definisi seperti di atas, maka seorang pemimpin harus memiliki ciri-ciri trirangkai yang mencakup kepribadian, tujuan dan hubungan dengan orang-orang yang dipimpinnya.

Identifikasi sifat-sifat pemimpin dengan ciri-ciri kepribadian, ciri-ciri tujuan dan ciri-ciri hubungan dengan orang-orang yang dipimpin menurut model-alkitabiah, antara lain dapat dijabarkan sbb.:

  1. Sifat pemimpin sebagai seorang pribadi (ciri-ciri kepribadian):

    1. Yakin akan panggilan Tuhan
    2. Dipenuhi Roh Kudus dan menampakkan buah Roh dalam kepemimpinannya (c) Hidup berdasarkan firman Tuhan
    3. (Ia adalah) "manusia doa"
    4. Memiliki integritas pribadi (jujur, suci, dapat dipercayai)
    5. Penuh disiplin
    6. Takut akan Tuhan
    7. Memiliki beranian yang suci
    8. Mempertahankan kebenaran
    9. Sedia menyangkali diri (tidak egoistis)
  2. Sifat pemimpin dalam hubungan dengan tujuan (ciri-ciri tujuan):

    1. Memiliki tujuan dari Allah
    2. Mempunyai visi yang jelas dan iman yang teguh
    3. Mampu menjabarkan tujuan ke dalam program
    4. Mengutamakan prioritas
    5. Kreatif
    6. Penuh dedikasi
    7. Memiliki daya tahan (fisik dan mental)
    8. Mampu membuat keputusan (strategic decision)
    9. Berusaha mencapai ekselensi
    10. Sedia bekerjasama berdasarkan prinsip "synergisme"

  3. Sifat pemimpin dalam hubungan dengan orang-orang yang dipimpin (ciri-ciri hubungan):
    1. Menjadi pelayan
    2. Menjadi teladan
    3. Menyelimuti orang yang dipimpin dengan kasih
    4. Peka terhadap kebutuhan orang lain
    5. Mampu mengidentifikasi "talenta" orang
    6. "Developer" (mampu mengembangkan potensi orang yang dipimpin)
    7. (Ia adalah) seorang Motivator
    8. (Ia adalah) seorang Komunikator
    9. Menguasai "seni" mengenal orang (lain)
    10. Mampu mengatasi konflik

2.2 Variabel 0: faktor orang-orang yang dipimpin. Walaupun seorang pemimpin memiliki sifat-sifat yang baik, tetapi keefektifan kepemimpinannya belum terjamin benar karena ada faktor lain yang turut mempengaruhi keefektifan tersebut. Yang dimaksudkan adalah faktor orang-orang yang dipimpin, sebagai variabel pengaruh yang kedua. Kepemimpinan akan efektif, kalau ditunjang oleh kedewasaan orang-orang yang dipimpin.

Dalam hubungan ini, perlu diperhatikan penegasan Paulus dalam Efesus 4:12-13, bahwa tugas kepemimpinan yang terutama adalah "... memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai (kita) semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus." Di dalam pelayanan, kedewasaan itu meliputi aspek-aspek:

Pertama, kedewasaan rohani, yang bersangkut-paut dengan sikap hati untuk melayani sebagai hamba. Aspek ini berhubungan dengan kemauan dan kerelaan. Orang yang memiliki kedewasaan rohani mau melakukan tugasnya dengan penuh keyakinan dan komitmen yang tinggi.

Kedua, kedewasaan pelayanan, yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan, sehingga sanggup melayani dengan sebaik-baiknya. Aspek ini berhubungan dengan kemampuan. Orang yang memiliki kedewasaan pelayanan, mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Dengan menggunakan model Hersey-Blanchard, seorang pemimpin perlu menyesuaikan gaya-gaya kepemimpinannya dengan tingkat-tingkat kedewasaan orang yang dipimpinnya. Berdasarkan asumsi, bahwa seorang pemimpin dapat menerapkan perilaku tugas dan perilaku dukungan yang tinggi atau rendah dalam situasi yang berbeda-beda, maka ada empat gaya dasar yang dapat diterapkan, yaitu: G-1: Gaya Instruksi; G-2: Gaya Koordinasi; G-3: Gaya Partisipasi dan G-4: Gaya Delegasi.

Sedangkan perkembangan kedewasaan orang-orang yang dipimpin dipandang sebagai suatu kontinum yang pada tingkat-tingkat tertentu dapat diberi notasi: D-1: Kemampuan atau kedewasaan pelayanan (pengetahuan dan ketrampilan) masih kecil, sedangkan kemauan atau kedewasaan rohaninya masih lemah. Ia jarang mau. Tetapi tingkat kedewasaan orang yang dipimpin akan bertambah seperti ditunjukkan oleh notasi D-2, D-3 dan akhirnya D-4: ia mampu (memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan) dan mau (memiliki sikap hati yang positif dan keterikatan yang tinggi). Pada tingkat ini, ia mencapai kedewasaan penuh.

Penyesuaian gaya kepemimpinan dengan tingkat kedewasaan dilakukan oleh pemimpin dengan cara mengurangi arahan dan menambah dukungan (G-1 dan G-2), serta mengurangi arahan dan mengurangi dukungan (G-3 dan G-4). Hal itu dilakukan tahap demi tahap sesuai dengan kontinum kedewasaan orang yang dipimpin dan hasilnya akan tampak sebagai kurva-preskriptif.

Gambar

(Diadaptasi dari Model Hersey - Blanchard)

Penyesuaian gaya kepemimpinan dengan tingkat kedewasaan adalah sbb.:

  1. G-1 berkorelasi dengan D-1. Seorang pemimpin harus menggunakan banyak instruksi untuk orang-orang yang dipimpinnya ketika orang-orang yang dipimpinnya itu belum dewasa. Dalam hal ini ia harus memberikan arahan yang tinggi. Sementara itu dukungannya rendah, artinya keterlibatan sosio-emosionalnya masih sangat terbatas. Dalam gaya ini pemimpin perlu "menjadi teladan" bagi orang yang dipimpinnya.

  2. G-2 berkorelasi dengan D-2. Apabila orang-orang yang dipimpin mulai dewasa, pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinannya: arahan agak tinggi, tetapi dukungan pun tinggi; artinya, walaupun masih agak tinggi, namun arahan mulai dikurangi, sedangkan dukungan dan keterlibatan sosio-emosionalnya lebih banyak pada tahap ini. Namun ia masih terus "menjadi teladan" bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dalam hal ini ia lebih banyak melakukan koordinasi.

  3. G-3 berkorelasi dengan D-3. Pada waktu orang-orang yang dipimpin lebih dewasa lagi, pemimpin harus terus menjadi teladan sambil mengurangi arahannya, sedangkan dukungan masih tinggi. Gaya ini melihat kepemimpinan sebagai partisipasi pemimpin bersama-sama dengan orang yang dipimpin. Gaya ini menekankan kolaborasi (kerja sama) antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya.

  4. G-4 berkorelasi dengan D-4. Ketika orang-orang yang dipimpin berada pada tingkat kedewasaan penuh, maka pemimpin terus mengurangi arahan dan dukungan. Pada tingkat kedewasaan ini, pemimpin dapat mengadakan pendelegasian tugas, tanggung jawab dan wewenang. Pada akhirnya pendelegasian dapat bersifat final, ketika seorang pemimpin diganti oleh penerusnya (pemimpin baru).

2.3 Variabel S (faktor Suasana Kasih). Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap keefektifan kepemimpinan adalah suasana yang melingkupi hubungan antar pribadi. Dalam persekutuan (jemaat atau organisasi Kristen) suasana kasih merupakan syarat mutlak. Seperti dikatakan oleh Paulus, "... di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Daripada-Nyalah seluruh tubuh yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya di dalam kasih" (Efesus 4:15-16). Menarik sekali, bahwa kasih yang disebutkan di sini adalah agape, yaitu kasih yang bersifat supra natural, kasih yang rela berkorban, kasih Allah sendiri.

Dalam hal ini Tuhan Yesus memberikan teladan. Ia mengajarkan prinsip mengasihi, mendemonstrasikan prinsip itu dalam praktek, lalu pada akhirnya membuat kesimpulan.

Untuk memahami hal ini secara lebih mendalam, adakan PA (Penelaahan Alkitab) berdasarkan: Markus 10:35-45; Lukas 22:24-27; Yohanes 13: 1-17; 31-35.

Pertanyaan-pertanyaan sebagai acuan PA:

  1. Apakah yang menjadi ambisi murid-murid dalam mengikuti Tuhan Yesus?
  2. Menurut Tuhan Yesus, apakah artinya "menjadi pemimpin" itu?
  3. Apakah refleksi pribadi Saudara tentang peristiwa Tuhan Yesus mencuci kaki murid-murid-Nya?
  4. Catatlah cara-cara praktis bagaimana Saudara melingkupi orang-orang lain, dengan kasih seperti yang didemonstrasikan oleh Tuhan Yesus ("rela mencuci kaki").

2.4 Variabel R/K (faktor Relasi dengan Konteks). Faktor keempat yang menentukan keefektifan kepemimpinan dalam pelayanan, adalah sejauh manakah pemimpin bersama-sama dengan orang-orang yang dipimpinnya memahami dan menerapkan secara tepat relasinya dengan konteks yang ada. Di Indonesia, konteks itu sangat khas, yang dapat disebutkan sebagai kemajemukan (dalam arti ras, suku, agama, pandangan politik dan lain-lain). Dalam pengalaman, semua percaturan ipoleksosbud yang berlangsung tidak terlepas dari konteks kemajemukan ini.

Sehubungan dengan kepemimpinan dalam pelayanan, seorang pemimpin perlu memahami secara cermat relasi antara kondisi internal gereja (termasuk jemaat-jemaat dan organisasi Kristen) dengan situasi eksternal (konteks kemajemukan) yang mengitari gereja. Pemahaman secara cermat itu dapat dilakukan melalui metode Analisis S-W-O-T (Strength-Weakness-Opportunity-Threat).

Jasa Analisis S-W-O-T adalah, agar pemimpin dan unsur-unsur pimpinan lainnya (Majelis Jemaat dan satuan-satuan fungsional dalam jemaat) memahami:

  1. Kondisi (internal) jemaat sendiri. Mereka perlu meneliti:

    1. Apakah jemaat memunyai acuan atau petunjuk-petunjuk tertentu yang telah dirumuskan dalam perangkat konstitusional gereja, yaitu Tata Gereja (kadang-kadang disebut Tata Dasar atau Anggaran Dasar). Periksa juga, sekiranya ada Anggaran Rumah Tangga, Peraturan Pelaksanaan atau Tata Tertib.

    2. Apakah misi pokok gereja telah dirumuskan dalam Tata Gereja, atau harus dirumuskan berdasarkan Tata Gereja yang ada.

    3. Apakah ada potensi jemaat yang dapat dimanfaatkan dalam bidang daya, sarana dan dana; lalu bagaimana caranya menggali dan mengembangkan potensi tersebut, serta memanfaatkannya secara efisien.

    4. Apakah ada sumber data dan studi kelayakan tentang jemaat yang dapat dimanfaatkan, seperti hasil sensus dan hasil penelitian lainnya tentang jemaat itu (termasuk skripsi, tesis dan disertasi).

  2. Situasi (eksternal) yang mengitari jemaat. Pimpinan jemaat harus pula memperhatikan faktor-faktor berikut:

    1. Keadaan ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya) dalam masyarakat yang mengitari jemaat dan sejauh manakah pengaruh positif dan negatifnya terhadap pelayanan.
    2. Situasi dan kondisi masyarakat, baik lokal, regional, maupun nasional.

    3. Percaturan nilai-nilai dalam masyarakat yang menuntut gereja menentukan sikap, misalnya bagaimana gereja (baca: pemimpin gereja) menghadapi arus modernisasi dan globalisasi yang sedang melanda dengan segala dampak positif dan negatifnya. Bagaimana anggota-anggota jemaat dipersiapkan untuk mengambil keputusan etis berdasarkan iman Kristen dan nilai-nilai tradisional yang dimilikinya di tengah-tengah masyarakat yang makin bersikap permissive (serba boleh).

    4. Tuntutan dan harapan pihak luar, misalnya harapan pemerintah, agar senantiasa terjamin kerukunan antara umat beragama dan kerukunan antara pemerintah dan umat beragama. Sejauh manakah tuntutan dan harapan ini berpengaruh terhadap pelayanan jemaat, termasuk metode PI yang dilakukan oleh jemaat, misalnya.

    5. Perkembangan "iptek" dan dampaknya terhadap pelayanan jemaat. Sejauh manakah anggota-anggota jemaat perlu mewaspadai implikasi-implikasi etis berbagai siaran TV dan sebaliknya bagaimana pulakah jemaat dapat memanfaatkan video, misalnya untuk melayani dan bersaksi.

  3. Baik kondisi (internal), maupun situasi (eksternal) di luar jemaat perlu dianalisis berdasarkan metode Analisis S-W-O-T, sehingga pimpinan jemaat dapat mengetahui, apakah kekuatan,(strength) jemaat dalam bidang daya, sarana, dan dana, serta bagaimana cara menggali, mengembangkan dan memanfaatkannya. Sebaliknya perlu diperhatikan pula kelemahan (weakness) yang ada di dalam jemaat, misalnya anggota-anggota jemaat yang tidak/kurang terlatih, sehingga mereka tidak dapat berperan serta dalam pelayanan jemaat. Pimpinan jemaat perlu mengatasi kelemahan ini, misalnya dengan melatih anggota-anggota jemaat, dsb. Analisis S-W-O-T juga akan menyebabkan pimpinan jemaat melihat peluang (opportunity) yang tersedia bagi jemaat untuk melayani. Misalnya, sejumlah besar keluarga muda di daerah real estate, memerlukan pelayanan rohani. Sebaliknya pimpinan jemaat pun harus waspada menghadapi berbagai kendala (threat), umpamanya rasa antipati (kalau ada) terhadap persekutuan-persekutuan yang diselenggarakan di rumah-rumah keluarga Kristen. Pimpinan jemaat perlu menanggulangi kendala yang demikian, misalnya melalui pendekatan-pendekatan kekeluargaan dengan anggota-anggota masyarakat setempat.

  4. Melalui metode Analisis S-W-O-T, seorang pemimpin dapat memahami secara jernih dan objektif keadaan atau kondisi internal jemaat, serta relasinya dengan konteks yang ada. Seperti yang tampak dari hasil Analisis S-W-O-T itu kondisi internal (keadaan di dalam) jemaat selalu dapat dicirikan sebagai kekuatan dan kelemahan. Sedangkan situasi luar yang mengitari atau konteks di manajemaat berada dapat dicirikan sebagai peluang dan kendala. Persoalan yang timbul, adalah di satu pihak banyak sekali kelemahan'di dalam gereja atau jemaat, sedangkan di pihak lainnya kendala (bahkan ancaman) yang dihadapi makin lama makin berat. Keadaan seperti ini dapat mendorong pelayanan gereja terjebak (secara tidak sadar) ke dalam "moratorium" atau bahkan "quietism." Sesungguhnya hal itu tidak perlu terjadi. Alkitab penuh dengan deskripsi tentang kelemahan umat Tuhan di satu pihak, serta kendala, tantangan dan ancaman yang timbul dari konteks di mana mereka berada.

Perhatikan dalam hubungan ini kepemimpinan Nehemia. Dalam Nehemia 1-6, kita dapat mengidentifikasi:

  1. Beban dan doa Nehemiah (1-2).
  2. Langkah-langkah pendekatan yang dilakukannya (2:7-9).
  3. Tujuannya untuk membangun (2:11-20).
  4. "Natural Grouping" dan fungsionalisasi orang-orang yang dipimpinnya (3: 1-32).
  5. Kendala, tantangan dan ancaman yang di hadapi (4:1-8).
  6. Cara Nehemia menghadapi kendala, tantangan dan ancaman tersebut melalui doa, kewaspadaan dan penjagaan (4:9-13).
  7. Identifikasi kelemahan-kelemahan internal dan koreksi yang diadakan (5: 1-13).
  8. Keteladanan Nehemia sebagai pemimpin (5:14-19).
  9. Hasil-hasil pembangunan dan konsolidasinya dalam berbagai dimensi: rohani, sosial, ekonomi, politik dan kepastian hukum (6-13).

Kepemimpinan Yosua adalah unik, khususnya dalam rangka pemahaman mengenai Analisis S-W-0-T:

  1. Tragedi Kadesy-Barnea (Bilangan 13-14).
  2. Hasil Analisis S-W-O-T versi 10 orang dan pengaruh negatifnya terhadap kepemimpinan Musa dan umat Tuhan (13-14:5).
  3. Hasil Analisis S-W-O-T versi Yosua dan Kaleb (14:6-10).
  4. Hukuman Tuhan atas ketidakpercayaan umat-Nya (14:11-36).
  5. Penghargaan Tuhan atas iman Yosua dan Kaleb (14:30,38).
  6. Setelah tragedi Kadesy-Barnea itu, empat puluh tahun kemudian sebagai pemimpin umat Tuhan, Yosua mengirim dua orang untuk kembali "mengintai" Tanah Perjanjian. Hasilnya:

  7. Walaupun keadaan objektif Tanah Perjanjian itu bertambah sulit, tantangan makin besar, tetapi analisis S-W-O-T mereka tepat sama dengan analisis S-W-O-T Yosua dan Kaleb 40 tahun yang lalu, seperti diungkapkan dalas Yosua 2:24, "Kata mereka kepada Yosua, Tuhan telah menyerahkan seluruh negeri ini ke dalam tangan kita, bahkan seluruh penduduk negeri ini gemetar menghadapi kita."
  8. Seperti Yosua dan Kaleb, kedua orang ini memiliki iman: walaupun mereka lemah, sedangkan tantangan yang dihadapi sangat besar, namun Tuhan, Allah mereka, adalah Allah yang Mahakuasa. Karena itu, melalui tantangan mereka melihat peluang, di dalam kelemahan, mereka mengandalkan kekuatan Allah yang tidak terbatas.

    Refleksi alkitabiah di atas mengandung implikasi penting bagi kepemimpinan di dalam pelayanan. Hasil Analisis S-W-O-T memang menolong pemimpin-pemimpin untuk memahami faktor-faktor internal dan eksternal secara jernih dan objektif, sehingga mereka mampu merencanakan dan melaksanakan pelayanan dengan sebaik-baiknya, tetapi hasil akhir ditentukan oleh iman dan ketergantungan yang mutlak kepada Tuhan yang tidak terbatas kekuasaan-Nya!

Referensi:

  • Blake, Robert R. and Jane S. Mouton, 1985: Managerial Grids III. Houston, Gulf Publishing Co.
  • Hersey, Paul and Kenneth H. Blanchard (Terj. Agus Dharma), 1986: Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta, Penerbit Erlangga.
  • Koonzt, Harold and Heinz Weihrich, 1990: Essentials of Management. Singapore, McGraw-Hill.
  • Lay, Agus B., 1988: Manajemen Pelayanan. Jakarta, LPMI.
  • Stoner, James A.F./Charles Wankel (Terj. W.W. Bakowatun), 1986: Manajemen. Jakarta, C.V. Intermedia.

Diambil dari :
Judul artikel : Kepemimpinan yang Efektif dalam Pelayanan
Penulis artikel : Pdt. Drs. Agus B. Lay
Judul buku : Konsultasi Pelayanan
Pencetak : Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia
Halaman : 59--68
Jenis Bahan Indo Lead: 
Kategori Bahan Indo Lead: 

Komentar