Godaan Kepemimpinan (II)

[Bagian pertama e-Leadership 130 telah dibahas mengenai 2 hal dominan yang kerap muncul dalam kepemimpinan yaitu kekuasaan dan ego.]

Kemarahan

Seseorang yang saya kenal dekat, suatu kali menyatakan sesuatu yang cukup menantang. Ia berkata, "Jika saya memanggil anak saya dengan cara berteriak, kalian mengatakan saya marah. Padahal bila kalian melakukan hal itu, kalian membenarkan diri dengan mengatakan bahwa tindakan seperti itu merupakan kemarahan yang benar. Lalu di mana letak perbedaannya?"

Pertanyaan senada pernah saya dengar, namun dalam kaitannya dengan tindakan Tuhan Yesus di dalam Bait Allah. Waktu itu, Yesus marah lalu menghamburkan uang para penukar uang, serta membalikkan meja-meja mereka. Kemarahan seperti yang dilakukan Yesus, kita kenal sebagai kemarahan yang benar. Yang jadi persoalan adalah bagaimana membedakan antara kemarahan yang benar dan yang tidak benar.

Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu, kita perlu memerhatikan kembali secara saksama peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut dicatat dalam Injil Yohanes 2:13-16. Walaupun Yohanes tidak menjelaskan bagaimana perasaan Yesus waktu itu, namun dengan jelas kita dapat melihat bahwa Yesus marah.

Di dalam Bait Allah, hari itu Yesus melakukan empat hal: membuat cambuk, mengusir pedagang-pedagang binatang dan penukar uang, menghamburkan uang para penukar uang, dan membalikkan meja-meja penukar uang. Sejak saat itu, kita tidak lagi menemukan Yesus marah seperti itu.

Bila kita ingin mengetahui masalah yang menjadi penyebab sehingga Yesus bertindak seperti itu, kita harus kembali meneliti permulaan adanya kegiatan niaga dalam Bait Allah. Hal itu sebenarnya bermula dari perayaan Paskah. Paskah merupakan hari besar di kalangan masyarakat Yahudi.

Hukum menetapkan bahwa setiap laki-laki Yahudi yang tinggal dalam radius 20 mil dari Yerusalem harus mengikuti perayaan Paskah. Pada abad pertama, orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia biasanya kembali ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Para ahli memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya dua juta orang setiap tahun berkumpul di Yerusalem merayakan Paskah.

Selain itu, hukum juga menetapkan bahwa setiap laki-laki berusia 19 tahun ke atas diwajibkan membayar pajak, agar para imam dapat mempersembahkan korban bakaran dan upacara yang lain di dalam Bait Allah. Uang pembayaran yang digunakan tidak bisa sembarang mata uang. Hanya mata uang Galilea dan mata uang yang telah disucikan dapat digunakan membayar pajak, sebab semua mata uang yang lain dianggap tidak suci. Walaupun banyak mata uang negara lain diterima dalam perdagangan di Yerusalem, namun tidak dapat digunakan sebagai persembahan kepada Tuhan. Karena itu, orang-orang Yahudi yang datang dari seluruh dunia harus menukarkan uang yang akan mereka persembahkan ke dalam mata uang Galilea.

Bila kegiatan tukar-menukar uang tersebut dilakukan dengan jujur, pekerjaan para penukar uang tersebut patut dihargai. Akan tetapi, para penukar uang justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Para ahli memperkirakan sekitar 200.000 dolar dibawa orang masuk ke dalam Bait Allah setiap tahun.

Hukum telah menetapkan bahwa binatang yang akan dipersembahkan tidak boleh cacat, sedangkan ada kalanya binatang yang dibawa tidak dapat diterima. Itu berarti harus ada gantinya. Mereka yang datang dari tempat jauh tidak mungkin membawa binatang persembahan. Kedua hal itu rupanya telah mendorong orang untuk mengadakan jual beli binatang dan penukaran uang. Dalam situasi seperti itu, orang tidak lagi berpikir banyak mengenai harga. Yang penting barang yang diperlukan bisa diperoleh.

Sebenarnya, bila ditinjau dari segi ekonomi hal itu wajar, sebab di mana permintaan naik maka harga akan turut naik. Namun tidak seharusnya hal itu terjadi di Bait Allah. Bagaimana jika ada orang yang hanya membawa uang terbatas sementara binatang yang dibawa tidak bisa diterima? Apakah hanya karena tidak sanggup membayar harga binatang yang memenuhi syarat, ia lalu harus membatalkan niatnya untuk mempersembahkan sesuatu bagi Tuhan.

Melihat keadaan seperti itu Yesus marah. Para pedagang tersebut dianggap telah mencemarkan Bait Allah. Mereka telah mencari keuntungan dengan cara tidak jujur. Sebenarnya, dalam dunia niaga mencari keuntungan bukanlah sesuatu yang salah, selama masih dalam batas yang wajar. Mungkin karena mereka terlalu banyak mengambil untung dari kesulitan orang lain, maka hal itu dianggap keterlaluan.

Melalui tindakan-Nya, mungkin Yesus juga hendak menunjukkan bahwa binatang-binatang yang dipersembahkan tersebut tidak lagi menyenangkan Tuhan. Kita dapat membaca bagaimana Tuhan memandang hal tersebut dalam Kitab Yesaya 1:11,13. Hal yang sama juga dicatat dalam Yeremia 7:21-22.

Pada hari itu Yesus marah. Akan tetapi kemarahan yang benar, bukan pelampiasan perasaan. Ada kejadian lain dalam kehidupan Yesus di mana dengan jelas kita dapat melihat kemarahan-Nya. Waktu itu hari Sabat. Yesus masuk ke dalam rumah ibadat dan di sana Ia menjumpai seseorang yang mati sebelah tangannya. Melihat Yesus datang, orang-orang Farisi mengamati apakah Yesus akan menyembuhkan orang sakit itu. Bila Yesus menyembuhkan orang sakit itu, berarti Ia melanggar hukum Taurat dan mereka memunyai alasan untuk mempersalahkan-Nya (Markus 3:4-5).

Sekarang bagaimana dengan penilaian atau pendapat kita tentang kemarahan Yesus? Berkenankah hal tersebut kepada Bapa-Nya? Adakah dicatat dalam Alkitab bahwa Tuhan menghukum seseorang semata-mata karena kemarahan? Kalaupun Dia menghukum, hal itu bukan karena kemarahan, melainkan menghukum tindakan yang dilakukan karena kemarahan.

Memang tidak mudah untuk melihat perbedaan nyata antara kemarahan dan tindakan kemarahan. Ketika seseorang marah, biasanya ekspresi wajah atau perkataannya menjadi kaku dan keras, namun kalau bisa menahan diri, tidak akan keluar ucapan yang kasar dan tajam. Demikian juga dengan tindakan kemarahan. Ketika seseorang marah, kadang-kadang diperlukan pelampiasan dan biasanya yang jadi sasaran adalah objek yang membuatnya marah.

Untuk mengatasi hal itu diperlukan penguasaan diri. Jadi, bisa saja kita marah, tetapi tidak berbuat dosa. Dan, kemarahan seperti itu baru bisa terjadi kalau sejak awal motivasi kita memang benar, dan bukan hanya untuk melampiaskan kejengkelan. Oleh sebab itu, tidak usah kaget bila kita menjumpai firman Tuhan yang mengungkapkan perihal kemarahan Tuhan. Hal itu serba mungkin terjadi dan biasanya kitalah yang jadi pangkal kemarahan-Nya.

Dalam Perjanjian Lama, beberapa kali dicatat kemarahan Tuhan. Di antaranya terdapat dalam Ulangan 1:37; 4:21; 9:8, 20:1; Raja-raja 9:46; Mazmur 2:12; 79:5; 85:5; Yesaya 21:1. Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus mencoba memisahkan antara kemarahan dan dosa. Di sana dikatakan, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa; janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu." (Efesus 4:26)

Di mana pun dalam Alkitab, kita tidak melihat Tuhan menentang kemarahan selama kemarahan tersebut benar. Namun, itu bukan berarti kita dapat membenarkan diri bila selama ini kita sering kali marah. Kalau kita bisa menahan diri dan tidak menjadi marah ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, jelas lebih baik. Bagaimanapun kita harus menjaga kesaksian hidup kita terhadap tetangga di sekitar kita.

Karena itu, dalam suratnya kepada Titus, Paulus menasihatkan agar dalam memilih penatua sebaiknya bukan seorang pemarah (Titus 1:7).

Kemarahan hendaknya hanya dilakukan sebagai jalan terakhir dalam mengatasi suatu masalah. Kalau masih bisa mengatasi suatu masalah tanpa harus marah-marah, untuk apa kita marah. Namun kalaupun harus marah, marahlah secara benar. Seorang teman saya pernah berkata, "Hanya dua kelompok manusia yang tidak pernah marah, yaitu mereka yang mati secara jasmani dan mati secara kejiwaan."

Kemarahan yang Sehat

Kemarahan yang sehat biasanya bukan ditujukan hanya untuk melampiaskan perasaan, melainkan sebagai ungkapan tidak setuju terhadap ketidakadilan, perbuatan yang keliru, atau tindakan yang mengarah kepada kejahatan.

Banyak pembaruan dimulai karena kemarahan yang membangun. Tidak jarang kita menjumpai kekeliruan yang sudah terlanjur dianggap benar. Untuk memperbaiki keadaan seperti itu, kadang-kadang tidak cukup hanya dinasihati. Untuk memperbaiki keadaan seperti itu, kadang-kadang diperlukan tindakan keras, yaitu melalui kemarahan yang membangun.

Kemarahan yang Tidak Sehat

Sebenarnya, banyak di antara kita yang tidak suka marah, sebab kemarahan biasanya dianggap sebagai tanda tidak senang. Mungkin saja kita marah dengan maksud baik, namun ungkapan kita melalui kemarahan biasanya sulit diterima apalagi dimengerti. Beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang marah:

  1. Frustrasi Bila seseorang menghadapi situasi sulit dan tak mampu diatasi, biasanya muncul perasaan frustrasi. Bila frustrasi tersebut berkepanjangan, maka akan timbul dorongan untuk marah.

  2. Cemas Karena sering kali mengalami kegagalan, timbul perasaan benci kepada diri sendiri. Sebagai kompensasi, kita kemudian berusaha tampil seperti orang lain. Kalau hal ini masih tetap gagal, maka akan muncul perasaan cemas dan depresi. Bila depresi ini berkepanjangan, dapat timbul dorongan untuk marah.

  3. Khawatir Karena melihat tantangan yang berat sedangkan kemampuan pas-pasan, muncul perasaan khawatir. Hal ini dapat menjadi penyebab kemarahan.

  4. Perlakuan Tidak Adil Tidak seorang pun yang mau diperlakukan secara tidak adil. Bila seseorang harus menanggung akibat lebih besar dari kesalahan yang dilakukannya, tentu sulit bagi orang tersebut menerimanya. Yang lebih repot kalau orang dipersalahkan untuk hal yang tidak dilakukannya. Tentu orang itu akan menolak dengan keras tuduhan tersebut.

Banyak di antara kita yang masih bergumul mengatasi kemarahan. Namun, kemampuan setiap orang tidaklah sama. Karena itu, ada orang yang relatif cepat menguasai diri dan lambat marah, tetapi ada juga yang sulit sekali membendung kemarahan.

Dalam beberapa hal, kemarahan sebenarnya dapat disamakan dengan api. Kalau masih kecil, mudah diatasi. Akan tetapi bila sudah besar, sulit bagi kita menguasainya. Oleh sebab itu, bagaimanapun sulitnya, kita harus belajar mengatasi kemarahan, sebab hal itu menyangkut kesaksian hidup kita. Apalagi kalau kita memiliki jabatan pemimpin. Jagalah agar kemarahan kita membangun orang lain dan bukan menimbulkan akar pahit.

Kalau timbul dorongan untuk marah, cobalah sedikit ditahan, lalu berpikir sejenak menimbang untung ruginya. Bila dalam waktu singkat itu, kita masih dapat berpikir jernih dan yakin bahwa kemarahan itu merupakan satu-satunya jalan, maka kemarahan dapat dilakukan. Meskipun begitu, kita harus tetap memerhatikan cara kita marah, sebab bagaimanapun baiknya motivasi bila caranya salah, maka hasil akhirnya jauh dari yang kita harapkan.

Mengatasi Kemarahan

Langkah pertama yang perlu diambil untuk mengatasi kemarahan adalah mengerti bahwa di dalam diri kita ada kecenderungan untuk marah. Janganlah kita menganggap sepele sikap seperti ini, sebab kesadaran akan keberadaan diri sendiri, memampukan kita memahami reaksi yang akan timbul pada saat menghadapi situasi tertentu. Dengan memahami kecenderungan yang ada, kita akan mampu mengendalikan kemarahan yang timbul.

Langkah kedua adalah mengerti akibat dari kemarahan. Bila kita marah di dalam tubuh kita terjadi sesuatu. Tekanan darah akan naik, denyut jantung lebih cepat, dan biasanya sulit bagi kita untuk mengontrol diri.

Langkah ketiga adalah memikirkan kembali kisah penyucian Bait Allah yang dilakukan oleh Yesus. Yesus memang marah, namun Ia dapat mengontrol diri, sebab kemarahannya bukan tanpa tujuan. Kemarahan seperti itulah kemarahan yang benar.

Hal lain yang juga menjadi ciri kemarahan yang benar adalah tidak adanya unsur benci. Ketika Yesus membersihkan Bait Allah, tindakan yang dilakukan-Nya memang cukup keras, namun kita tidak melihat adanya kebencian di sana.

Dan yang terakhir, kemarahan yang benar bertujuan membangun, bukan menghancurkan. Mungkin kita pernah mendengar pernyataan, "Bencilah dosa, tetapi jangan membenci orangnya". Seperti itulah kira-kira kemarahan yang benar. Kemarahan yang benar tidak menyerang pribadi, tetapi tindakan yang dilakukannya.

Sebagai kesimpulan, hendaklah kita berusaha mengatasi setiap masalah dengan pemikiran yang tenang. Mintalah pertolongan Tuhan untuk mengendalikan kemarahan. Dengan demikian, kita dapat mengontrol reaksi yang timbul. Dengan adanya kemampuan tersebut, kesaksian hidup kita menjadi lebih baik dan efektif.

Sumber: Disadur dari "Leadership Style Of Yesus", Oleh Michael Youssef

Diambil dan disunting dari:

Judul majalah : Sahabat Gembala, Oktober 1994
Penulis : BS
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1994
Halaman : 16 -- 21
Kategori Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar