Godaan Kepemimpinan (I)

Bila kita membicarakan masalah kepemimpinan, biasanya kita langsung mengaitkannya dengan kedudukan dan kekuasaan. Untuk dapat menjalankan kepemimpinan secara benar, tidak jarang orang menghadapi berbagai rintangan ataupun godaan. Dari sekian banyak rintangan, ada tiga hal dominan yang acap kali muncul dalam kepemimpinan, yakni kekuasaan, ego, dan kemarahan. Kegagalan dalam mengatasi ketiga hal itu, tidak jarang membuat roda kepemimpinan tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Karena itu, diperlukan kesungguhan hati dan kiat tertentu dalam mengatasinya.

Kekuasaan

Pada waktu Yesus hidup di dunia, rupanya tindakan Yesus dianggap sebagai ancaman bagi kedudukan dan wibawa yang dimiliki para pemimpin agama saat itu. Mereka begitu antipati sehingga tidak ada satu pun tindakan Yesus yang benar dalam anggapan mereka. Meskipun begitu, mereka tidak dapat menunjukkan satu kesalahan pun yang dapat dituduhkan terhadap Yesus.

Kekuasaan itu sendiri ada dua macam. Pertama, kekuasaan yang diperoleh karena kedudukan. Kekuasaan seperti itu sifatnya rapuh. Bila orang yang bersangkutan tidak bijaksana dalam menggunakannya, akibatnya bisa fatal. Mungkin sepintas lalu orang kelihatan taat kepada kemauannya, tetapi di belakangnya kita tidak tahu. Sering kali orang taat secara terpaksa karena takut konduitenya rusak.

Kedua, kekuasaan yang diperoleh dari dalam. Kekuasaan jenis ini memiliki sifat agak lain. Kekuasaan tersebut lebih permanen dan tetap ada kendati pun yang bersangkutan tidak lagi memiliki kedudukan. Salah seorang tokoh yang memiliki kuasa atau karisma seperti itu adalah Perdana Menteri Winston Churchill. Melalui karisma yang dimilikinya, Churchill berhasil memimpin rakyat Inggris melewati masa yang sukar selama Perang Dunia II. Di tengah-tengah situasi yang cukup berat tersebut, ia mampu memberikan motivasi kepada rakyat Inggris. Tokoh lain yang memiliki karisma seperti itu adalah Presiden Franklin Roosevelt. Dalam kondisi ekonomi yang berat, ia mampu membawa negara Amerika Serikat melaluinya dengan mulus.

Bila kita melihat kedua tokoh berkarisma tersebut, kita sangat kagum. Namun perlu diingat bahwa betapa pun hebatnya karisma yang kita miliki, bila penggunaannya salah, akibatnya bisa lain. Sebagai contoh Jim Jones di Guyana. Ia mampu meyakinkan orang bahwa ia dapat membuat kehidupan para pengikutnya lebih berarti daripada kehidupan mereka selama ini. Pendekatan yang dilakukan Jim Jones terasa logis, mengandung fakta-fakta yang benar dan cukup beralasan. Penyimpangan yang dilakukannya sulit diduga sebelumnya. Hal itu baru diketahui melalui kejadian yang akhirnya Jim Jones mati bunuh diri bersama sebagian besar pengikutnya.

Jim Jones memang licik sekali. Dengan cerdik ia mengarahkan pikiran para pengikutnya, sehingga mereka mau melakukan apa saja yang dia minta. Mereka tidak dapat berpikir kritis, sebab mereka sudah terlanjur memercayai sepenuhnya ucapan Jim Jones.

Jawaban Yesus Terhadap Masalah Kekuasaan

Seorang filsuf Italia bernama Niccolo Machiavelli pernah mempersoalkan kekuasaan mutlak. Ia mempertanyakan mana yang lebih baik antara hubungan yang dilandasi kasih dengan hubungan yang dilandasi dengan ketakutan (sebagaimana hubungan antara bawahan dan atasan yang berkuasa penuh).

Di akhir penyelidikannya, akhirnya ia menyatakan bahwa kedua hal itu sebaiknya ada dan dilakukan secara bersamaan. Namun bila kedua hal itu tidak ada, lebih baik kita berusaha menjangkau pilihan kedua, yakni mendasarkan hubungan atas dasar jabatan yang kita miliki. Dengan demikian, wibawa kita bisa terus bertahan sampai masa jabatan habis.

Bila kita menerapkan hubungan berdasarkan kasih, namun tidak memiliki karisma, hal itu berbahaya sebab jika orang tidak lagi merasa segan terhadap kita, maka wibawa kita pun ikut lenyap bersamanya. Karena itu, lebih aman bila kita menjaga jarak dan menerapkan peraturan secara tegas, sehingga orang tetap segan selama kita menduduki kursi kepemimpinan.

Prinsip Machiavelli ini rupanya banyak dilakukan orang. Kepemimpinan Yesus tidaklah seperti itu. Ia lebih banyak menekankan unsur kasih. Pada malam sebelum Yesus dikhianati dan diserahkan untuk disalib, Ia berkata kepada murid-murid-Nya untuk saling mengasihi (Yohanes 13:34-35). Dalam surat 1 Yohanes, Rasul Yohanes menulis hubungan antara kasih dan ketakutan (baca 1 Yohanes 4:16-18).

Kekuasaan yang dimiliki Yesus berasal dari Allah dan Ia menjalankannya melalui kasih. Ia memperagakan kuasa yang dimiliki-Nya dengan hati-hati, agar murid-murid-Nya tidak salah mengerti. Karena itu, Ia memerintahkan murid-murid-Nya untuk saling mengasihi.

Bila sebagai pemimpin kita mengasihi orang-orang yang kita pimpin, tentu kita tidak akan melakukan sesuatu yang dapat menyesatkan mereka atau memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi. Sebaliknya, kita akan berusaha memenuhi apa yang mereka perlukan dan memberikan yang terbaik bagi mereka.

Dua simbol yang baik sekali dijadikan lambang kekristenan adalah handuk dan salib. Handuk merupakan simbol pelayanan, sebab Tuhan Yesus sendiri memberi contoh kepada kita dalam melayani dengan membasuh kaki murid-murid-Nya. Sedangkan salib merupakan lambang ketaatan. Kedua hal itu merupakan ciri khas dari kepemimpinan Kristen, sebab kepemimpinan Yesus pun diwarnai oleh kedua hal itu.

Murid-murid sering kali dilibatkan dalam pekerjaan yang dilakukan-Nya. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa kepemimpinan yang diperagakan Yesus adalah kepemimpinan yang tidak mencari kepentingan pribadi. Hanya dengan cara seperti itu, firman Tuhan menjadi tampak dalam ucapan dan tingkah laku kita, sehingga orang lain merasa senang bergaul dengan kita dan mereka dapat mulai diperkenalkan kepada berita Injil.

Ego

Pada suatu hari, seorang pembicara terkenal acara televisi diundang membawakan ceramah pada pertemuan tahunan sebuah organisasi. Jauh sebelum pertemuan itu, pembicara telah dihubungi melalui telepon maupun surat oleh pemimpin pertemuan, yang intinya setiap peserta mengharap kedatangannya. Para peserta dalam pertemuan itu ingin berjumpa dan mendengar langsung orang yang selama ini hanya dapat mereka kenal melalui acara televisi.

Hari yang ditentukan pun tiba. Pembicara telah sampai di tempat seminar sebelum acara dimulai. Namun, orang-orang tidak begitu mengenalnya sehingga ia diperlakukan sama seperti peserta lainnya. Acara sudah hampir mulai, namun sang pembicara terlihat gelisah. Tidak lama kemudian, ia datang menemui salah seorang panitia dan berkata bahwa perasaannya terluka karena tidak mendapatkan sambutan sebagai pembicara.

Sebagai manusia, Yesus juga memiliki Ego. Namun, arah dan motivasi dari ego-Nya lain. Oleh sebab itu, kalau orang tidak begitu memerhatikan-Nya, Ia tidak merasa kecil hati. Yesus bahkan sering kali menghindar dari kegiatan-kegiatan yang akan semakin membuat-Nya dikenal masyarakat luas.

Salah satu contoh mengenai hal tersebut terdapat dalam Injil Yohanes mengenai penyataan sikap Natanael yang meragukan penglihatan Filipus, yang juga menyangsikan Yesus Kristus (baca Yohanes 1:45-46). Namun, Yesus tidak tersinggung dan marah. Sebaliknya, Ia berusaha meyakinkan Natanael tentang keberadaan diri-Nya. Setelah Yesus berbicara secara langsung kepada Natanael, akhirnya Natanael berkata, "Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" (Yohanes 1:49)

Dalam pembicaraan-Nya, sering kali Yesus menyatakan bahwa Dia adalah Mesias. Mungkin kita berpikir bahwa pernyataan-Nya baru akan didengar orang jika disertai dengan tanda-tanda mukjizat. Namun Yesus tidak melakukan hal itu. Sebagai seorang pemimpin, Yesus lebih memusatkan perhatian-Nya kepada misi utama-Nya di dunia ini. Penampilan dan sikap Yesus tidak pernah berubah. Ia tidak berusaha bersembunyi di balik topeng yang indah-indah, agar kesan orang terhadap-Nya baik. Karena itu, Ia tidak takut identitas pribadi-Nya dikenal orang.

Ke mana pun Yesus pergi, Dia tidak mengharapkan sambutan atau penghormatan istimewa. Tujuan kedatangan-Nya ke dalam dunia bukan untuk mencari penghormatan manusia (Yohanes 5:41). Ia datang dengan misi menyelamatkan manusia dari dosa, bukan untuk merampas kedudukan orang lain (baca Yohanes 4:31-34).

Kalau Yesus menyatakan seperti itu, bukan berarti Yesus tidak pernah merasa lapar, tetapi segala sesuatu yang diperlukan dan diingini-Nya selalu dihubungkan dengan tujuan-Nya datang ke dunia. Itulah sebabnya, Ia juga melatih murid-murid-Nya dalam hal kepemimpinan, agar kelak mereka dapat meneruskan pekerjaan yang telah dimulai-Nya.

Sekarang ini, kita jarang menjumpai kepemimpinan seperti itu. Kalau dalam kehidupan masyarakat, kita bertugas sebagai pemimpin, hendaknya kita belajar dari teladan Yesus. Seorang pemimpin yang disegani akan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, hasil kerja yang dicapai juga memuaskan.

Secara umum, seseorang biasanya mengharapkan penghargaan atau pengakuan atas pekerjaan yang telah dilakukannya dengan susah payah. Karena itu, wajar kalau orang bisa marah atau kecewa bila pekerjaan yang telah dilakukan dengan susah payah tersebut, tidak diperhatikan atau kurang mendapat penghargaan. Kalau kita dapat belajar dari contoh yang diperagakan Yesus, tentu kita tidak akan bersikap seperti itu.

Pemimpin yang benar tidak terlalu memikirkan keuntungan yang mungkin diperoleh untuk diri sendiri, tetapi lebih memusatkan diri pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Pemimpin yang baik biasanya mampu melihat dan menghargai kelebihan yang ada pada orang lain. Mereka tidak akan memanfaatkan kelebihan orang lain untuk keuntungan diri sendiri. Bila orang lain memuji keberhasilannya dalam menyelesaikan satu tugas tertentu, maka dengan rendah hati ia akan berkata bahwa hal itu bukan hasil pekerjaannya sendiri, melainkan hasil kerja sama dengan orang lain.

Pemimpin yang benar menyadari bahwa ia merupakan bagian dari suatu tim. Karena itu kalau ada sesuatu yang baik, tidak langsung diambil untuk diri sendiri. Ia juga tidak akan takut menampakkan diri sebagaimana adanya. Seorang pemimpin yang bijaksana pernah berkata, "Apabila saya dapat melakukan suatu pekerjaan dengan baik, saya sadar akan hal itu. Itu sebabnya, kalau orang lain memuji dan menghargai karya saya, saya menerima. Namun, saya bekerja bukan untuk mendapat pujian. Yang penting saya telah melakukan yang terbaik. Selebihnya, saya serahkan kepada Tuhan."

Apa pun model kepemimpinan yang kita lakukan, lakukanlah semuanya dengan kesadaran bahwa semua itu pada akhirnya harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Yesus berkata bahwa bila kita mencari pujian manusia, maka kita tidak akan mendapatkan upah dari Tuhan. Dan orang yang bekerja dengan tujuan untuk mendapatkan pujian, biasanya kerjanya tidak benar.

Adalah sesuatu yang wajar, bila dalam pekerjaannya seseorang membutuhkan pengakuan dan pujian atas hasil pekerjaan yang memang baik. Jika seseorang telah bekerja dengan baik namun orang tidak melihat, apa yang akan terjadi? Atau orang lain melihat pekerjaannya, tetapi tidak menghargainya, apakah orang tersebut akan tetap melanjutkan pekerjaannya? Kalau orang itu Yesus, kita dapat menjawab "ya". Akan tetapi bila orang itu bukan Yesus, kita tidak dapat menjawab dengan pasti. Bagaimanapun, tidak semua orang dapat melakukan sesuatu tanpa pengakuan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menjumpai bahwa pujian manusia merupakan sesuatu yang besar artinya.

Pemimpin-pemimpin Kristen terkemuka yang banyak kita kenal, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mengabdikan diri bagi tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Biasanya faktor kemampuan tidak selalu mutlak jadi ukuran. Orang yang kemampuan pribadinya tidak terlalu menonjol, tetapi memiliki kesetiaan dan kejujuran justru sering kali menjadi pemimpin yang berhasil (1 Korintus 4:2).

Pemimpin yang benar mengenal kemampuan dirinya. Mereka tidak takut kehilangan jabatan. Mereka tidak merasa khawatir dikhianati oleh orang yang mengingini jabatannya, sebab mereka telah belajar menyerahkan kekhawatiran mereka kepada Tuhan. Rasul Paulus menasihatkan, "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus" (Filipi 4:6-7).

Sumber: Disadur dari "Leadership Style Of Yesus", Oleh Michael Youssef

[Bersambung ke edisi 131]

Diambil dan disunting dari:

Judul majalah: Sahabat Gembala, Oktober 1994
Penulis : BS
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1994
Halaman : 10 -- 16
Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar