Halaman: Pasal 3(20-27)

KEPEMIMPINAN ALAMIAH DAN KEPEMIMPINAN ROHANI

Ketika aku datang kepadamu . . . perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh. I Korintus 2:1,4

KEPEMIMPINAN ADALAH PENGARUH, yaitu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Orang hanya dapat memimpin orang lain sejauh ia dapat mempengaruhi mereka. Kenyataan ini didukung oleh definisi- definisi kepemimpinan yang dirumuskan oleh orang-orang yang mempunyai pengaruh yang besar.

Lord Montgomery mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut: "Kepemimpinan adalah kemampuan dan kehendak untuk mengerahkan orang laki-laki dan perempuan untuk satu tujuan bersama, dan watak yang menimbulkan kepercayaan." Contoh yang menonjol dari sifat ini adalah Sir Winston Churchill, terutama pada masa-masa yang paling sulit dalam Perang Dunia II.

Dr. John R. Mott, seorang pemimpin kaliber dunia di kalangan mahasiswa, memberikan definisi sebagai berikut, "Seorang pemimpin adalah orang yang mengenal jalan, yang dapat terus maju dan yang dapat menarik orang lain mengikuti dia."

Definisi Presiden Truman berbunyi, "Seorang pemimpin adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk membuat orang lain suka melakukan sesuatu yang tadinya mereka tidak suka melakukannya."

Jendral Charles Gordon pernah mengajukan pertanyaan ganda kepada Li Hung Chang, seorang pemimpin Tiongkok yang sudah lanjut usia, demikian: "Apakah kepemimpinan? Dan bagaimana umat manusia dapat digolongkan?" Ia menerima jawaban yang mengandung arti tersembunyi: "Hanya ada tiga macam orang di dunia ini, yaitu mereka yang dapat digerakkan, mereka yang tidak dapat digerakkan dan mereka yang menggerakkan orang-orang itu."

Kepemimpinan rohani merupakan satu campuran antara sifat-sifat alamiah dan rohani. Sifat-sifat alamiah pun bukannya timbul begitu saja, melainkan diberikan oleh Allah, dan oleh karena itu sifat-sifat ini akan mencapai efektivitasnya yang tertinggi, jika digunakan di dalam melayani Allah dan untuk kemuliaan-Nya. Definisi-definisi yang disebutkan tadi adalah mengenai kepemimpinan secara umum. Walaupun kepemimpinan rohani mencakup sifat-sifat ini, masih ada unsur-unsur yang melengkapi dan yang lebih utama daripada sifat-sifat itu. Kepribadian merupakan faktor yang terpenting dalam kepemimpinan alamiah. "Taraf pengaruh seseorang bergantung pada kepribadian orang itu," tulis Lord Montgomery, "pada kekuatan 'daya pijarnya', pada nyala yang ada di dalam dia, dan pada daya tarik yang akan menarik orang-orang lain kepadanya."

Tetapi seorang pemimpin rohani mempengaruhi orang lain bukan dengan kekuatan kepribadiannya sendiri saja, melainkan dengan kepribadian yang diterangi, ditembusi dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Oleh karena ia membiarkan Roh Kudus mengatur hidupnya dengan sepenuhnya, maka kuasa Roh dapat mengalir melalui dia kepada orang lain dengan tidak terhalang.

Kepemimpinan rohani merupakan masalah kuasa rohani yang lebih tinggi nilainya dan yang tidak dapat ditimbulkan sendiri. Tidak ada seorang pun yang menjadi pemimpin rohani atas usaha sendiri. Ia mampu mempengaruhi orang lain secara rohani hanya karena Roh Allah dapat bekerja di dalam dan melalui dia sampai pada taraf yang lebih tinggi daripada orang-orang yang dipimpinnya.

Sudah menjadi satu prinsip umum bahwa kita dapat mempengaruhi dan memimpin orang lain sejauh kita sendiri melangkah. Orang yang akan berhasil adalah orang yang memimpin bukan hanya dengan menunjukkan jalannya saja, tetapi juga dengan menjalaninya sendiri. Kita menjadi pemimpin sejauh kita mengilhami orang lain untuk mengikut kita.

Dalam satu pertemuan besar badan-badan Utusan Injil Protestan di Tiongkok, dibahas masalah mengenai syarat-syarat kepemimpinan. Ada perdebatan yang seru mengenai masalah tersebut. D.E.Hoste, Direktur Jendral The China Inland Mission duduk dengan tenang mendengarkan sampai ketua bertanya kepadanya apakah ia akan mengemukakan sesuatu mengenai masalah itu. Semua hadirin dalam aula itu bergumam menyatakan persetujuannya atas permohonan itu, karena sumbangannya kepada tiap pembicaraan selalu didengar dengan minat yang lebih besar dari biasanya.

Dengan mata yang bersinar-sinar ia berkata dengan nada tinggi yang agak mengherankan: "Saya kira, barangkali ujian yang terbaik untuk mengetahui apakah ia seorang pemimpin yang memenuhi syarat ialah menyelidiki apakah ada orang yang mengikut dia."

Kepemimpinan alamiah dan kepemimpinan rohani mempunyai banyak segi persamaan, tetapi dalam beberapa hal nampak ada pertentangan. Ini dapat dilihat, apabila kita membandingkan sifat-sifatnya yang menonjol.

ALAMIAHROHANI
Percaya kepada diri sendiri Mengenal orang Mengambil keputusan- keputusan sendiri Ambisius Menciptakan cara-caranya sendiri Suka menyuruh orang lain Didorong oleh pertimbangan- pertimbangan pribadi Berdiri sendiri Percaya kepada Allah Juga mengenal Allah Berusaha mencari kehendak Allah Tidak menonjolkan diri sendiri Mencari dan mengikuti cara Allah Suka mentaati Allah Didorong oleh kasih kepada Allah dan manusia Bergantung pada Allah

Pertobatan biasanya tidak membuat orang menjadi pemimpin, walaupun tanpa pertobatan orang tidak dapat menjadi pemimpin, namun sejarah Gereja menunjukkan bahwa pada saat orang berserah dengan sepenuhnya, kadang-kadang Roh Kudus memberikan karunia-karunia dan sifat-sifat yang selama itu terpendam dan tidak aktif. Hanya Roh Kuduslah yang mempunyai hak istimewa untuk melimpahkan karunia-karunia rohani yang menambah besarnya potensi kepemimpinan bagi penerimanya.

Inilah keyakinan Dr. A.W. Tozer:

Seorang pemimpin yang benar dan dapat dipercaya mungkin sekali adalah orang yang tidak ingin memimpin, tetapi dipaksa memegang pimpinan oleh dorongan Roh Kudus dari dalam dan tekanan keadaan dari luar. Orang-orang seperti itu adalah Musa dan Daud dan para nabi dalam Perjanjian Lama. Saya kira, sejak Paulus sampai sekarang, boleh dikata tidak ada pemimpin besar yang tidak dipanggil oleh Roh Kudus untuk tugas itu, dan ditugaskan oleh Tuhan yang mengepalai Gereja untuk menempati satu kedudukan yang tidak begitu disukainya. Saya percaya bahwa umumnya orang yang ambisius untuk memimpin biasanya tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Seorang pemimpin sejati tidak mempunyai keinginan untuk berkuasa atas milik Allah, melainkan ia akan rendah hati, lembut, penuh pengorbanan dan bersedia memimpin, dan apabila Roh menyatakan dengan jelas bahwa ada orang yang lebih bijaksana dan berbakat daripada dirinya sendiri, ia juga rela untuk menjadi pengikut.

Di dalam riwayat hidup William E. Sangster, setelah kematiannya ditemukan naskah pribadi yang menggambarkan pendiriannya. Ia menulis mengenai pertumbuhan keyakinannya bahwa ia seharusnya mengambil bagian lebih banyak di dalam kepemimpinan Gereja Metodis di Inggris.

Inilah kehendak Allah bagi saya. Saya tidak memilihnya. Saya berusaha untuk mengelakkan, tetapi kehendak Allah telah terjadi pada saya.
Hal lain yang juga telah terjadi pada saya ialah keyakinan bahwa Allah tidak hanya menghendaki saya sebagai seorang pengkhotbah. Ia juga menghendaki saya menjadi seorang pemimpin, yaitu pemimpin aliran Metodis.
Saya merasa ditugaskan untuk bekerja dengan pimpinan Allah untuk menghidupkan kembali cabang Gereja-Nya ini, tanpa menghiraukan nama baik saya; tanpa mempedulikan komentar orang-orang yang lebih tua dan yang iri hati.
Saya berumur tiga puluh enam tahun. Jika saya harus melayani Tuhan dengan cara seperti ini, saya tidak boleh menghindari tugas itu dan harus melakukannya.
Saya telah memeriksa hati saya kalau-kalau ada ambisi. Saya yakin tidak ada. Saya benci terhadap kritik yang akan timbul dan omongan orang yang menyakitkan. Hidup menyepi, membaca buku-buku, dan pelayanan terhadap orang-orang sederhana, adalah selera saya -- tetapi karena kehendak Allah, maka inilah tugas saya. Kiranya Allah menolong saya!
Dalam keadaan bingung dan tidak percaya, saya mendengar suara Allah yang berkata kepada saya, "Aku akan menyampaikan pesan dengan perantaraan engkau." Ya Allah, pernahkah ada seorang rasul yang lebih keras usahanya untuk mengelakkan tugasnya? Saya tidak berani berkata, "Tidak," tetapi seperti Yunus, saya lebih suka melarikan diri.
Bahwa kepemimpinan dan kekuasaan rohani tidak dapat dijelaskan semata- mata atas dasar kemampuan alamiah, dinyatakan dengan jelas sekali dalam kehidupan Santo Fransiskus dari Asisi. Pada suatu waktu Bruder Masseo menatap Fransiskus, dan berkata, "Mengapa justru anda? Mengapa justru anda?" Ia mengulanginya berkali-kali, seolah-olah mengejek dia.

"Apa yang anda katakan?" teriak Fransiskus pada akhirnya.

"Aku katakan bahwa setiap orang mengikut anda, setiap orang ingin melihat anda, ingin mendengar anda, ingin menurut anda, padahal anda tidak tampan, tidak terpelajar, dan bukan berasal dari keluarga bangsawan. Apa sebabnya, maka harus anda yang diikuti oleh dunia?"

Ketika Fransiskus mendengar perkataan ini, hatinya penuh sukacita, matanya memandang ke sorga dan setelah beberapa waktu lamanya termenung, ia berlutut sambil mengucap syukur dan memuji Allah dengan penuh semangat. Kemudian ia berpaling kepada Bruder Masseo:

"Anda ingin tahu? Ini disebabkan karena mata Yang Mahatinggi menghendaki demikian. Ia terus-menerus memperhatikan orang-orang yang benar dan yang jahat, dan pada waktu mataNya yang suci tidak menemukan orang yang lebih kecil di antara orang-orang berdosa, atau yang lebih tidak layak dan berdosa, maka itulah sebabnya Ia telah memilih aku untuk menyelesaikan pekerjaan yang mengherankan, yang diberikan oleh Allah; Ia memilih Aku karena ia tidak dapat menemukan orang yang lebih tidak berharga, dan Ia ingin membingungkan kaum bangsawan dan orang- orang besar, orang-orang kuat, orang-orang tampan, dan orang-orang terpelajar di dunia ini."

Banyak hal dapat dipelajari dari hikmat orang yang telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin. Dua orang yang dikutip berikut ini mengadakan beberapa test untuk memastikan potensi kepemimpinan orang- orang yang mereka wawancarai.

Lord Montgomery menyatakan dengan jelas tujuh unsur yang perlu bagi seorang pemimpin di dalam peperangan, dan ketujuh unsur itu cocok untuk pertempuran rohani: (1) Ia harus dapat menarik diri dan tidak menceburkan diri dalam persoalan-persoalan kecil. (2) Ia tidak boleh berpikiran picik. (3) Ia tidak boleh sombong. (4) Ia harus pandai memilih orang. (5) Ia harus menaruh kepercayaan kepada orang-orang bawahannya, dan membiarkan mereka melakukan tugasnya tanpa dicampuri. (6) Ia harus mampu mengambil keputusan dengan tegas. (7) Ia harus memperoleh kepercayaan orang.

Dr. John R. Mott bergerak di bidang mahasiswa dan test yang diajukan olehnya mencakup bidang yang berlainan: (1) Apakah ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil dengan baik? (2) Apakah ia telah mempelajari arti prioritas? (3) Bagaimana ia memakai waktu senggangnya? (4) Apakah ia bersemangat? (5) Apakah ia telah belajar memanfaatkan kesempatan? (6) Apakah ia mempunyai kekuatan untuk bertumbuh? (7) Bagaimana sikapnya jika ia putus asa? (8) Bagaimana ia menghadapi jalan buntu? (9) Apakah titik-titik kelemahannya?

Oleh karena kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, maka perlu dipertimbangkan kemungkinan- kemungkinan yang tidak terhingga untuk mempengaruhi orang lain -- pengaruh-pengaruh yang baik maupun yang buruk. Baik Kitab Suci maupun pengalaman menguatkan bahwa tidak seorang pun dapat bersikap netral, baik secara moral maupun rohani. Dalam kehidupan orang-orang yang kita pengaruhi, kita meninggalkan kesan yang tidak dapat dihilangkan, apakah kita menyadari hal itu atau tidak. Dr. John Geddie, misalnya, pergi ke Aneityum pada tahun 1848 dan bekerja untuk Allah di sana selama dua puluh empat tahun. Pada sebuah tugu yang didirikan untuk mengenang dia tertulis kata-kata ini:

Ketika ia datang pada tahun 1848, belum ada orang Kristen.
Ketika ia pergi pada tahun 1872, tidak ada lagi orang kafir.

Pada waktu semangat gereja rasuli yang berkobar-kobar menghasilkan petobat-petobat yang berlipat ganda secara luar biasa, maka Roh Kudus mengajarkan satu pelajaran yang luar biasa mengenai hakekat kepemimpinan rohani. Para rasul menghadapi tuntutan-tuntutan pekerjaan yang terlampau berat bagi mereka, sehingga perlu diciptakan suatu eselon kepemimpinan di bawah mereka untuk memperhatikan orang-orang miskin dan para janda yang terlantar. Orang-orang ini harus dipilih dengan hati-hati, oleh sebab itu para rasul menetapkan macam orang yang harus dipilih, "Karena itu saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu" (Kis 6:3).

Perlu kita perhatikan bahwa syarat utama yang dikemukakan ialah bahwa mereka harus "dipenuhi dengan Roh Kudus", meskipun pelayanan yang akan mereka lakukan bukan pelayanan rohani. Mereka haruslah orang-orang yang tulus hati, yang terkenal baik, yang bijaksana, yang penuh hikmat, yang rohani, yang penuh dengan Roh. Sifat rohani tidak mudah didefinisikan, tetapi ada atau tidak adanya sifat ini mudah sekali dilihat. Sifat ini bagaikan bau-bauan yang harum semerbak di kebun Tuhan. Orang yang penuh dengan Roh dapat mengubah suasana melalui kehadirannya, karena ia mempunyai pengaruh yang tidak disadari, yang menyebabkan Kristus dan hal-hal rohani menjadi nyata untuk banyak orang.

Jika ini merupakan ukuran bagi mereka yang memegang jabatan pada tingkat yang lebih rendah di gereja, apalagi bagi mereka yang bercita- cita untuk memegang jabatan yang lebih tinggi. Tujuan-tujuan rohani hanya dapat dicapai oleh orang-orang rohani yang memakai cara-cara rohani. Betapa besar perubahan yang dapat dihasilkan di dalam gereja- gereja dan organisasi-organisasi Kristen kita, jika prioritas ini dilaksanakan dengan teliti! Orang-orang dunia, walaupun sangat berbakat dan memiliki kepribadian yang menarik, tidak mempunyai tempat di dalam kepemimpinan gereja, meskipun dalam persoalan-persoalan yang tidak bersifat rohani.

Gagasan-gagasan yang terpenting mengenai kepemimpinan rohani yang benar disimpulkan oleh John R. Mott dalam kata-kata ini:

Yang saya pikirkan ialah arti kata kepemimpinan yang pasti ada pada pikiran Tuhan Yesus, ketika Ia berkata, "Barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya", yaitu kepemimpinan dalam arti memberikan pelayanan yang sebesar-besarnya; kepemimpinan yang sama sekali tidak mementingkan diri sendiri; yang tidak mengenal lelah dan terus-menerus memusatkan perhatian pada pekerjaan yang terbesar di dunia, yaitu pekerjaan membangun kerajaan Tuhan kita Yesus Kristus.