Mencari Fondasi bagi Kepemimpinan yang Efektif

"Langkah pertama untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif adalah dengan bercermin. Kuasailah keterampilan dalam memimpin diri sendiri, dengan demikian Anda akan meletakkan dasar untuk membantu orang lain agar melakukan hal yang sama."
- Charles C. Manz -

Hukum Pengaruh dari John C. Maxwell menyebutkan bahwa, "Kepemimpinan adalah pengaruh, tidak lebih dan tidak kurang". Apa yang dikatakan Maxwell benar. Terlepas dari apakah itu bersifat positif maupun negatif, seorang pemimpin dituntut untuk bisa memberikan pengaruh yang bisa menggerakkan setiap obyek yang dipimpinnya untuk bergerak, berubah mengikuti arah tertentu yang menjadi tujuan dan visi dari kepemimpinannya. Seorang pemimpin akan membawa orang yang dipimpinnya berangkat dari satu titik ke titik lainnya, atau dari satu kondisi ke kondisi yang dituju. Tapi darimana sumber kekuatan pengaruh itu bisa diperoleh? Apakah dengan kharisma atau materi yang dimilikinya, melalui otoritas jabatan, atau dengan intimidasi? Cara- cara di atas mungkin bisa berhasil digunakan dalam jangka pendek. Namun semua itu tidak akan menjadikan landasan yang kuat untuk kepemimpinan yang efektif. Apalagi jika area kepemimpinan kita adalah organisasi yang bersifat sukarela. Hal ini disebabkan karena cara-cara di atas cenderung akan memunculkan gerakan/respon yang tidak murni dari obyek kepemimpinan itu sendiri, yang menghasilkan fondasi kepemimpinan yang rapuh.

Dalam bukunya yang berjudul "Leadership Wisdom of Jesus", Charles C. Manz mencoba menjelaskan bagaimana membangun fondasi kepemimpinan yang kokoh, melalui ajaran Yesus di bawah ini:

"Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok di matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." (Matius 7:3-5)

Ayat di atas mengemukakan pandangan yang berbeda dari Yesus tentang bagaimana seharusnya pendekatan seorang pemimpin terhadap obyek kepemimpinan. Yaitu terlebih dahulu pemimpin ditantang untuk mencermati dan memperbaiki diri mereka sendiri. Inilah yang sering tidak disadari oleh para pemimpin. Banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa untuk memimpin orang lain, seseorang terlebih dahulu harus terampil dalam memimpin diri sendiri. Kepemimpinan terhadap orang lain harus datang dari suatu ekspresi yang jujur terhadap kelemahan diri sendiri. Carol A. Connor dalam bukunya "Leadership in A Week" mengungkapkan bahwa "Pemahaman diri bagi seorang pemimpin bisa dijadikan dasar untuk memperbaiki kinerja maupun untuk meningkatkan kepercayaan diri, dan pemahamannya terhadap orang lain". Dari sini jelas bahwa penting bagi seorang pemimpin untuk mendedikasikan waktunya untuk belajar memahami orang lain melalui pemahaman atas diri mereka sendiri. Pemahaman ini meliputi: semua aspek dan nilai-nilai moral yang dianutnya, kelemahan dan kelebihan, serta tujuan hidup dan visi yang sedang diperjuangkannya. Pendekatan melalui empati ini dikenal dengan istilah "Golden Rule", seperti yang dituliskan dalam Injil Matius, yang demikian bunyinya:

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12)

Ayat ini menjadi salah satu alasan yang juga mendasari pendapat mengapa seorang pemimpin harus terlebih dahulu bisa memimpin dirinya sebelum dia berusaha untuk memimpin orang lain. Seorang pemimpin harus belajar untuk peka terhadap reaksi orang-orang di sekitarnya terhadap sikap, tindakan dan ucapan mereka, karena tindakan orang lain terhadap kita, umumnya merupakan cerminan dari tindakan kita kepada mereka.

"Cara kita memperlakukan orang lain dapat menjadikan bentuk pemenuhan diri. Sebagai seorang pemimpin Anda akan menemukan yang Anda cari dalam diri orang lain. Mereka akan melakukannya sama seperti atau kurang dari pengharapan Anda."
- Charles C. Manz -

Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa landasan yang kuat bagi seorang pemimpin adalah ketika pemimpin tersebut bisa membentuk sebuah model keteladanan (tentu saja dalam hal ini adalah keteladanan yang bernilai positif). Keteladanan akan menjadi kekuatan yang mampu mempengaruhi tanpa harus menggurui dan memaksa. Keteladanan akan memunculkan sikap hormat dan penghargaan yang tulus yang akan menggerakkan orang lain dengan sukarela. Dengan menjadi model keteladanan, seorang pemimpin dimampukan untuk bisa memberikan dampak bagi lingkungannya, sekaligus menunjukkan kepada obyek yang dipimpinnya bagaimana cara melakukan pelayanan mengembangkan orang lain menjadi pribadi yang efektif, berkualitas dan berkarakter Kristus.

Jadi jika Anda ingin menjadi seorang pemimpin yang efektif, mulailah dengan belajar menguasai keterampilan dalam memimpin diri sendiri. Biarkan orang lain melihat karakter dan kualitas hidup Anda. Dengan demikian Anda akan meletakkan dasar yang kokoh bagi kepemimpinan Anda.

[Oleh: Kristian dari berbagai sumber]

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 

Komentar