Hukum Kehormatan

HUKUM KEHORMATAN

Orang dengan sendirinya mengikuti pemimpin-pemimpin yang lebih kuat daripada dirinya


Jika Anda pernah melihatnya, reaksi pertama Anda mungkin bukan hormat. Ia bukan wanita yang sangat mengesankan - tingginya hanya lima kaki lebih, usianya akhir tiga puluhan, dengan warna kulit gelap. Ia tidak dapat menulis atau membaca. Pakaian yang dikenakannya kasar dan lusuh. Jika ia tersenyum, orang dapat malihat bahwa dua gigi atasnya sudah tanggal.

Ia hidup sendirian. Alkisah, ia meninggalkan suaminya itu. Suatu hari suaminya bangun, dan ternyata ia sudah pergi. Ia hanya bicara satu kali dengan suaminya setelah itu, tidak bertahun-tahun kemudian, dan ia tidak pernah menyebut nama suaminya lagi setelah itu.

Pekerjaannya terputus-putus. Kebanyakan ia bekerja sebagai pembantu di hotel-hotel: menggosok lantai, membereskan kamar, dan memasak. Namun boleh dikata setiap musim semi dan musim gugur ia akan menghilang dari tempat kerjanya, kembali dalam keadaan bokek, dan kembali bekerja untuk mengumpulkan uang sebisanya. Selama bekerja, ia bekerja keras dan tampaknya tangguh secara jasmani, namun ia juga diketahui suka mendadak jatuh tertidur - terkadang ditengah-tengah percakapan. Katanya, itu adalah karena benturan di kepalanya, ketika berkelahi ketika masih remaja.

Siapa yang akan menghormati wanita seperti itu? Jawabannya adalah lebih dari tiga ratus budak yang mengikutinya menuju kebebasan dari Selatan - mereka mengakui serta menghormati kepemimpinannya. Demikian pula boleh dikata semua penentang perbudakan di New England. Tahunnya adalah tahun 1857. Nama wanita ini adalah Harriet Tubman.

SEORANG PEMIMPIN BERNAMA APAPUN

Sementara ia baru berusia tiga puluhan, Harriet Tubman telah disebut sebagai Musa karena kemampuannya untuk masuk ke negeri perbudakan dan mengeluarkan begitu banyak umatnya dari perbudakan. Tubman memulai hidupnya sebagai budak. Ia lahir tahun 1820 dan dibesarkan si Maryland. Ketika berusia tiga belas tahun, kepalanya terbentur, sehingga membawa masalah baginya seumur hidup. Ia sedang berada disebuah toko ketika itu, dan seorang pengawas berkulit putih menuntut bantuannya agar ia dapat memukuli seorang budak yang lari. Ketika ia menolak dan malah menghalangi pengawas tersebut, pria tersebut melempar timbangan seberat dua pon ke kepala Tubman. Ia hampir tewas, dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk pulih.

Di usia dua puluh empat, ia menikah dengan John Tubman, seorang pria berkulit hitam yang bebas. Namun ketika ia berbicara kepada suaminya tentang melarikan diri ke Utara, suaminya tak mau mendengarkannya. Kata suaminya, jika ia mencoba lari, ia akan menyerahkannya kepada yang berwajib. Ketika ia bertekad untuk mencoba keberuntungannya dan pergi ke utara pada tahun 1894, ia melakukannya sendirian, tanpa mengatkan apa pun kepada suaminya. Penulis biografinya yang pertama, Sarah Bradford, mengatakan bahwa Tubman mengatakan kepadanya: "Pikiran saya begini: adalah salah satu hal atas mana saya mempunyai hak, yaitu kemerdekaan atau maut. Jika saya tak dapat memperoleh yang satu, saya akan mengambil yang lainnya, karena tak seorang pun boleh menangkap saya hidup-hidup. Saya harus berjuang demi kemerdekaan sekuat tenaga saya, dan jika tiba saatnya bagi saya untuk pergi, Tuhan akan membiarkan mereka menangkap saya".

Tubman pergi ke Philadelphia, Pennsylvania, lewat kereta api bawah tanah, sebuah jaringan rahasia dari orang-orang berkulit hitam yang bebas, orang-orang berkulit putih yang menentang perbudakan, serta Quakers yang menolong melarikan para budak. Walaupun ia sendiri bebas, ia bersumpah akan kembali ke Maryland dan mengeluarkan keluarganya. Pada tahun 1850, ia kembali untuk pertama kalinya sebagai "kondektur" kereta api bawah tanah - seseorang yang melacak serta membimbing para budak ke luar dengan bantuan para simpatisan.

PEMIMPIN BERTEKAD BAJA

Setiap musim panas dan musim dingin, Tubman bekerja sebagai pembantu, mengumpulkan dana yang dibutuhkannya untuk bolak-balik ke selatan. Dan setiap musim semi dan musim gugur, ia merisikokan nyawanya dengan pergi ke selatan dan ke luar dengan lebih banyak orang. Ia tidak kenal takut, dan kepemimpinannya tak tergoyahkan. Itu sungguh upaya yang berbahaya, dan jika orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya goyah, ia sekuat baja. Tubman tahu bahwa para budak yang melarikan diri dan kembali akan dipukuli serta disiksa hingga memberikan informasi tentang mereka yang menolongnya. Maka ia tidak pernah membiarkan orang-orang yang membimbingnya menyerah. "Orang-orang mati takkan bercerita", katanya kepada mereka yang lemah hatinya, sambil menodongkan senjata, "Jalan terus atau mati!"

Antara tahun 1850 hingga tahun 1860, Harriet Tubman membimbing lebih dari tiga ratus orang ke luar dari perbudakan, termasuk banyak anggota keluarganya sendiri. Ia bolak-balik sembilan belas kali dan sangat bangga akan fakta bahwa ia tidak pernah kehilangan satu orang pun yang menjadi tanggung jawabnya. "Saya tidak pernah melarikan kereta saya ke luar jalur", katanya, "dan saya tak pernah kehilangan seorang penumpang". Orang-orang berkulit putih dari selatan menawarkan hadiah $12.000 untuk kepalanya. Orang-orang berkulit hitam dari selatan hanya menyebutnya Musa. Menjelang dimulainya Perang Sipil, ia telah mengeluarkan lebih banyak orang dari perbudakan ketimbang warga Amerika lain yang manapun dalam sejarah - entah berkulit hitam atau berkulit putih, pria ataupun wanita.

KEHORMATAN MENINGKAT

Reputasi Tubman serta pengaruhnya membangkitkan rasa hormat, dan bukan hanya di antara para budak yang bermimpin mendapatkan kebebasan. Warga dari utara yang berpengaruh, baik yang berkulit putih, juga mencarinya. Ia berbicara di berbagai kesempatan dan di rumah-rumah di Philadelphia, Pennsylvania; Boston, Massachusetts; St. Catharines, Canada; dan Auburn, New York, di mana ia akhirnya menetap. Orang-orang terpandang mencarinya, seperti Senator William Seward, yang belakangan menjadi sekretaris negaranya Abraham Lincoln, dan mantan budak yang terang-terangan menentang perbudakan, Freederick Douglass. Nasihat serta kepemimpinan Tubman juga diminta oleh John Brown, penentang perbudakan revolusioner yang terkenal itu. Brown selalu menyebut mantan budak itu "Jendral Tubman", dan ia pernah dikutip mengatakan bahwa Tubman "Adalah pejabat yang lebih baik dari pada kebanyakan yang pernah dijumpainya, dan dapat memimpin sebuah pasukan sama baiknya seperti ia memimpin sejumlah buronannya". Itulah inti dari Hukum Kehormatan.

UJIAN TERHADAP KEPEMIMPINAN

Harriet Tubman tampaknya tidak cocok sebagai calon pemimpin karena banyak keterbatasannya. Ia tdak berpendidikan. Ia hidup dalam kebudayaan yang tidak menghormati warga Amerika keturunan Afrika. Dan ia bekerja di sebuah negara di mana ketika itu wanita belum punya hak pilih. Terlepas dari keadaan-keadaannya, ia menjadi pemimpin yang luar biasa. Alasannya sederhana: orang dengan sendirinya mengikuti pemimpin-pemimpin yang lebih kuat dari pada mereka. Semua orang yang pernah berhubungan dengan Tubman menyadari kemampuan memimpinnya yang kuat dan merasa terdorong untuk mengikutinya. Itulah cara kerja Hukum Kehormatan.

INI BUKAN MAIN TERKA-TERKAAN

Orang tidak mengikuti orang lain karena kebetulan. Mereka mengikuti individu-individu yang kepemimpinannya mereka hormati. Seseorang yang kepemimpinannya bernilai 8 (pada skala dari 1 sampai 10) tidaklah mencari-mencari seseorang yang nilai kepemimpinannya 6 untuk diikutinya - dengan sendirinya ia akan mengikuti mereka yagn kepemimpinannya bernilai 9 atau 10. Yang kurang terampil akan mengikuti yang lebih terampil serta berbakat. Sesekali, seorang pemimpin yang kuat mungkin juga mengikuti seseorang yang lebih lemah dari pada dirinya. Namun jika hal itu terjadi, itu pasti ada alasannya. Umpamanya, pemimpin yang lebih kuat itu mungkin melakukannya karena rasa hormatnya terhadap prestasi orang tersebut di masa lalu. Atau mungkin ia mengikuti rantai komandonya. Namun secara umum, para pengikut akan tertarik kepada orang-orang yang lebih baik kepemimpinannya dari pada dirinya sendiri. Itulah Hukum Kehormatan.

Jika orang berkumpul untuk pertama kalinya dalam sebuah kelompok, lihatlah apa yang terjadi. Sementara mereka mulai berinteraksi, para pemimpin dalam kelompok tersebut akan segera mengambil inisiatif. Mereka berpikir menurut arah yang ingin mereka setujui dan siapa yang ingin mereka bawa serta. Pada mulanya, orang mungkin akan coba-coba ke arah-arah yang berbeda-beda, namun setelah mereka saling kenal, tidak lama lagi juga mereka akan tidak lama lagi juga mereka akan mengenali pemimpin yang paling kuat dan mengikutinya.

Biasanya, semakin besar kemampuan memimpin seseorang, semakin cepat ia mengenali kepemimpinan - atau tiadanya kepemimpinan - dalam diri orang lain. Pada waktunya, orang dalam sebuah kelompok akan mengikuti pemimpin yang paling kuat. Atau, mereka akan meninggalkan kelompok tersebut dan mengejar kepentingannya sendiri.

Saya ingat pernah mendengar kisah yang menunjukkan bagaimana orang akhirnya mengikuti pemimpin yang lebih kuat. Itu terjadi pada tahun 1970-an ketika pemain tengah basket yang dikategorikan dalam Hall of Fame (semacam penghargaan karena prestasinya), Bill Walton, bergabung dengan tim UCLA nya pelatih John Wooden. Ketika masih muda, Walton berjanggut. Katanya, pelatih memberitahukannya bahwa pemain dilarang berjanggut. Walton, yang ingin bebas, mengatakan bahwa ia tidak mau mencukur janggutnya. Jawaban Wooden ketika itu adalah, "Sampai jumpa Bill". Mau tidak mau, Walton mencukur janggutnya.

SEORANG PEMIMPIN TERHORMAT MELETAKKAN JABATANNYA

Pada bulan Oktober tahun 1997, dunia basket kampus menyaksikan pensiunnya satu lagi pemimpin besar, seseorang yang dihormati karena telalh menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun hidupnya melayani orang lain. Namanya adalah Dean Smith, dan ia adalah pelatih kepala dari Unversity of North Carolina. Ia mengumpulkan prestasi segudang ketika memipin Tar Heels dan dianggap sebagai salah seorang pelatih terbaik pada segala tingkatan. Dalam tiga puluh dua tahunnya sebagai pelatih kepala di North Carolina, ia memenangkan 879 pertandingan, lebih dari pelatih manapun dalam sejarah dunia basket kampus. Timnya mencatat 20 kali kemenangan berturut-turut dalam 27 musim bertanding. Mereka memenangkan tiga belas gelar Atlantic Coast Conference, bermain dalam sebelas Perempat Final, dan memenangkan dua kejuaraan nasional.

Kehormatan yang telah diraih Smith di antara para rekannya sungguh luar biasa. Ketika ia menjadwalkan konferensi pers untuk mengumumkan pensiunnya, orang-orang seperti John Thomson, pelatih kepala dari Georgetown, yang dikalahkan oleh Smith dalam dalam kejuaraan nasional pada tahun 1982, serta mantan pemain, Larry Brown, yang sekarang melatih tim Philadelphia 76 ers, datang untuk memberikan dukungan. Michael Hooker, pemimpin University of North Carolina, memberikan undangan terbuka kepada Smith untuk melakukan apa pun yang diinginkannya di sekolah tersebut di tahun-tahun mendatang. Bahkan presiden Amerika Serikat menelpon untuk memberikan kehormatan kepada Smith.

MEREKA YANG PALING DEKAT DENGANNYALAH YANG PALING MENGHORMATINYA

Namun Hukum Kehormatan paling dapat dilihat dalam karir Smith dengan melihat cara para pemain berinteraksi dengannya. Mereka hormat kepadanya karena banyak alasan. Ia diajarkan begitu banyak kepada mereka, tentang basket maupun tentang kehidupan. Ia mendorong mereka untuk meraih prestasi akademik, dengan hampir setiap pemainnya meraih gelar. Ia dijadikan mereka pemenang. Dan ia perlihatkan kepada mereka loyalitas serta kehormatan yang luar biasa. Charlie Scott, yang bermain bagi Smith dan lulus dari North Carolina pada tahun 1970, maju ke basket pro dan kemudian bekerja sebagai direktur pemasaran untuk Champion Products. Menyangkut waktunya bersama Smith, Scott mengatakan,

Sebagai salah satu atlet kampus berkulit hitam pertama dalam ACC, saya mengalami banyak saat sulit selama di North Carolina, namun Pelatih Smith selalu mendampingi saya. Pada suatu kesempatan, ketika kami berjalan ke luar lapangan setelah suatu pertandingan di South Carolina, salah seorang penggemar mereka memanggil saya "baboon hitam". Dua asisten harus memegangi Pelatih Smith agar tidak mengejar orang itu. Itulah pertama kalinya saya melihat Pelatih Smith benar-benar marah, dan saya terkejut. Namun lebih dari segalanya, saya bangga terhadapnya.

Selama jabatannya di North Carolina, Smith memberikan dampak yang luar biasa. Kepemimpinannya tidak saja memenangkan pertandingan dan rasa hormat dari para pemainnya, melainkan juga membantu menghasilkan empat puluh sembilan pria yangmelanjutkan karirnya ke basket pro. Termasuk Bob McAdoo, James Worthy, dan tentunya, Michael Jordan - bukan saja salah seorang pemain terbaik dalam hal mendribel, melainkan juga seorang pemimpin yang baik.

James Jordan, Ayah Michael, mengatakan bahwa Smith serta kepemimpinannya itu sangat berjasa pada sukses puteranya. Sebelum suatu pertandingan ulang di Chicago pada tahun 1993, Ayah Michael menyimpulkan:

Orang-orang meremehkan program yang dijalankan oleh Dean Smith. Ia membantu Michael menyadari kemampuan atletiknya dan mengasahnya. Namun yang lebih penting, ia membangun karakter dalam diri Michael yang sangat bermanfaat dalam karirnya. Saya rasa Michael tidak lebih diistimewakan dibandingkan dengan siapa pun. Ia memiliki kepribadian yang dapat diajar, dan di Carolina ia dapat memadukan keduanya. Itulah satu-satunya cara saya memandangnya, dan saya rasa itulah yang menjadikan Michael pemain seperti sekarang.

Di tahun-tahun belakangan ini, Michael Jordan keras kepala dalam hasratnya untuk bermain hanya di bawah seorang pelatih - yaitu Phil Jackson, pria yang dianggapnya yang terbaik dalam hal ini. Ini masuk akal. Seorang pemimpin seperti Jordan ingin mengikuti pemimpin yang lebih kuat. Itulah Hukum Kehormatan. Mungkin saja hasrat Jordan ini tumbuh ketika masih dikembangkan di bawah kepemimpinan serta bimbingan pelatihnya yang kuat, Dean Smith.

BERAPA BANYAK YANG AKAN MENGIKUTI?

Ada banyak cara untuk mengukur rasa hormat seoarng pengikut terhadap pemimpinnya, namun mungkin ujian terbesar terhadap kehormatan adalah ketika seorang pemimpin mengadakan perubahan besar dalam organisasinya. Saya sendiri mengalami ujian ini pada tahun 1997 ketika saya pindahkan perusahaan saya, INJOY, dari San Diego, Califonia, ke Atlantic, Georgia. Saya mengambil keputusan untuk pindah di awal tahun 1996 ketika saya sedang berlayar di Cina bersama isteri saya, Margaret. Sementara kami mendiskusikan kepindahan kami serta ekspektasi kami, saya mulai menimbang pengaruh sata terhadap para pemimpin inti saya. Setelah mengenang sejarah pribadi saya terhadap mereka, saya perkirakan 50 persen dari mereka akan bersedia pindah bersama kami. Dan Margaret sependapat dengan penilaian saya itu.

Beberapa bulan kemudian, setelah presiden INJOY, yaitu Dick Peterson, dan saya menyelesaikan segala persiapan awal untuk kepindahan tersebut, saya mulai tugas mendekati para pemimpin saya satu per satu untuk menceritakan tentang keputusan kami untuk pindah ke Atlanta. Dan satu per satu, para pemimpin saya mengatakan ingin ikut. Sebenarnya saya mengantisipasikan separuhnya akan menolak ikut. Bayangkan betapa gembiranya saya ketika ternyata 100 persen pemimpin inti saya itu bersedia ikut.

Kira-kira satu tahun telah berlalu sejak kami pindah, dan semua pemimpin top itu masih bekerja sama dengan saya di Atlanta. Mengapakah demikian banyak yang mau ikut? Saya tahu bahwa salah satu alasannya adalah karena para pemimpin saya itu adalah pembuat perbedaan dan ingin menjadi bagian dari visi organisasi kami. Alasan lainnya adalah karena saya telah menanamkan banyak waktu dan energi dalam hubungan saya dengan mereka, memberikan nilai tambah kepada hidup mereka. Namun ada lagi alasan yang lebih penting. Alasan-alasan diatas takkan cukup seandainya saya adalah pemimpin yang lebih lemah selama ini. Karena saya telah menghabiskan seluruh hidup saya mengembangkan keterampilan memimpin saya, saya jadi mungkin memimpin pemimpin kuat lainnya. Orang yang bernilai 9 dan 10 tidak akan mengikuti pemimpin yang nilai 7. Itulah cara kerja kepemimpinan. Itulah rahasia Hukum Kehormatan

Kategori Bahan Indo Lead: 
Jenis Bahan Indo Lead: 
File: 
AttachmentSize
hukum_kehormatan.doc69 KB
hukum_kehormatan.htm16 KB

Komentar